
Oleh: Arnoldus Paulus Sewa
Germas PMKRI Yogyakarta
Pada hari Selasa, 18 November 2025, DPR RI mengesahkan Undang-Undang KUHAP yang baru. Selain UU baru ini juga membuka babak baru penindasan yang dilakukan negara melalui aparat penegak hukum, seolah menegaskan bahwa kekuasaan kini memiliki instrumen yang semakin kuat untuk menekan suara-suara yang berbeda.
Dalam situasi seperti ini, siapa pun dapat menjadi korban, baik masyarakat biasa maupun kelompok kritis.
Dalam UU KUHAP yang baru disahkan tersebut, terdapat sejumlah pasal yang memperluas kewenangan aparat penegak hukum, antara lain Pasal 16; Pasal 5; Pasal 90 dan 93; Pasal 105, 112A, 132A, dan 124; Pasal 74; Pasal 7 dan 8; serta Pasal 137 KUHAP.
Rangkaian pasal tersebut memberikan ruang gerak yang jauh lebih luas bagi aparat, namun tanpa diimbangi mekanisme pengawasan yang layak.
Kondisi ini menciptakan peluang besar terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berani menyuarakan keadilan.
Aturan seharusnya berfungsi sebagai pagar perlindungan, bukan justru menjadi instrumen pembungkaman terhadap masyarakat kritis.
Bagi saya, disahkannya UU KUHAP yang baru merupakan bentuk atau cara pembungkaman terhadap masyarakat, terutama mahasiswa atau siapa pun yang berani bersikap kritis.
Alih-alih memperkuat perlindungan hukum, regulasi ini justru berpotensi digunakan sebagai alat untuk membungkam suara yang mempertanyakan kekuasaan.
Di sinilah letak ancamannya: kritik dipersempit, keberanian disudutkan, dan kebenaran dipaksa bungkam.
Tidak hanya lewat aturan-aturannya, upaya pembungkaman juga tampak dari tindakan DPR RI yang “mengklaim” sejumlah nama mulai dari aktivis HAM Delpedro Marhaen hingga kelompok mahasiswa seperti BEM Undip, seolah-olah mereka turut terlibat dalam penyusunan draf RKUHAP.
Bagi saya, mencantumkan nama-nama tersebut tanpa persetujuan adalah bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan: tindakan manipulatif yang bertujuan memberikan legitimasi palsu terhadap regulasi yang sarat kritik.
Lalu, bagaimana dengan RUU Perampasan Aset? Ironisnya, regulasi yang sangat dibutuhkan untuk memberantas korupsi dan mengembalikan aset negara justru tak kunjung disahkan. Ketika aturan yang berpihak pada kepentingan publik dibiarkan tertunda, sementara aturan yang berpotensi membungkam masyarakat dipercepat, pertanyaan ini menjadi tak terelakkan: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi oleh negara? (*)
























