Oleh: Anselmus DW Atasoge
STIPAR Ende
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) merupakan forum reflektif dan deliberatif yang diselenggarakan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) setiap lima tahun. SAGKI 2025 yang berlangsung pada 3–7 November 2025 di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta mengangkat tema “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan,” mencerminkan intensi Gereja untuk memperkuat sinodalitas sebagai cara hidup umat Allah dalam menghadapi kompleksitas zaman. Tema ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang relevan dengan dinamika masyarakat Indonesia yang plural dan terus berubah.
Dalam perspektif sosiologi agama, SAGKI dapat dicermati sebagai ‘media’ yang berfungsi sebagai mekanisme sosial yang mempertemukan aktor-aktor religius dari berbagai keuskupan untuk membangun konsensus moral dan spiritual. Di sini, Gereja tampil sebagai komunitas yang berperan aktif dalam membentuk struktur sosial, bukan sebagai entitas yang terpisah dari realitas umat. Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, menyatakan bahwa “Gereja sinodal merupakan cara hidup umat Allah yang berjalan bersama dalam komunio.” Pernyataan ini mengandung makna sosiologis yang mendalam. Bahwasanya, Gereja menghidupi relasi sosial yang bersifat partisipatif, inklusif, dan transformatif. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, sinodalitas menjadi strategi sosial untuk merawat kohesi dan menghindari fragmentasi identitas.
SAGKI juga menjadi ruang artikulasi harapan kolektif umat. Proses pra-SAGKI yang melibatkan umat dari 38 keuskupan menunjukkan bahwa Gereja mendengarkan realitas konkret yang dihadapi masyarakat. Uskup Agung Semarang yang juga adalah Ketua KWI, Mgr. Robertus Rubiyatmoko, menegaskan bahwa suara umat dari berbagai provinsi gerejawi telah menjadi bahan refleksi bersama yang memperkaya arah pastoral Gereja ke depan. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa Gereja menjalankan fungsi komunikatif yang mempertemukan narasi lokal dengan visi nasional, serta memperkuat peranannya sebagai komunitas yang berakar pada pengalaman umat.
Dalam diskursus sosiologi agama, SAGKI dapat dipahami sebagai bentuk “ritual kolektif” yang memperkuat identitas dan memperbarui komitmen sosial Gereja. Kehadiran para uskup, imam, biarawan-biarawati, dan umat awam dalam satu forum nasional menunjukkan bahwa Gereja sedang membangun konsensus moral yang bersifat lintas kelas dan lintas budaya. Gereja tidak hanya menyatukan umat dalam iman, tetapi juga dalam tanggung jawab sosial yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, refleksi dari Dr. Agustinus Prasetyantoko, ekonom dan mantan Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menjadi relevan. Menurutnya, rasionalitas demokrasi dan keadilan sosial harus menjadi fondasi kehidupan beriman dan berbangsa. Pandangan ini mempertegas bahwa Gereja memiliki tanggung jawab etis terhadap kehidupan sosial, dan tidak bersifat apolitis. Gereja dipanggil untuk menjadi suara kenabian yang menyuarakan keadilan, merawat martabat manusia, dan membangun solidaritas lintas batas.
SAGKI 2025 memperlihatkan bahwa Gereja Katolik Indonesia sedang menjalankan fungsi profetiknya. Gereja menyuarakan harapan, mengkritisi ketimpangan, dan membangun solidaritas dalam kerangka kehidupan sosial yang kompleks. Dalam perspektif sosiologi agama, ini merupakan bentuk aktualisasi dari peran agama sebagai ‘kekuatan sosial’ yang mampu membentuk arah perubahan masyarakat secara konstruktif dan berkelanjutan.
Dengan demikian, SAGKI 2025 merefleksikan transformasi Gereja Katolik Indonesia sebagai komunitas religius yang terlibat aktif dalam membentuk struktur sosial. Gereja hadir sebagai kekuatan moral yang meneguhkan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan partisipasi di tengah masyarakat yang terus berubah. Melalui proses sinodal yang melibatkan seluruh unsur umat Allah, Gereja memperlihatkan kemampuannya untuk membaca tanda-tanda zaman dan meresponsnya dengan kebijaksanaan pastoral yang kontekstual.
Sidang Agung ini memperkuat kesadaran bahwa spiritualitas dan tanggung jawab sosial bukan dua kutub yang terpisah, melainkan satu kesatuan dalam praksis iman yang hidup. Gereja yang berjalan bersama umat dalam mendengarkan, berdiskusi, dan merumuskan arah pastoral menjadi saksi harapan di tengah dunia yang diliputi ketidakpastian. Dalam ruang perjumpaan ini, altar dan jalan raya saling menyapa; liturgi dan kehidupan sosial saling meneguhkan. Gereja tampil sebagai komunitas yang mengakar dalam iman, sekaligus terbuka terhadap realitas sosial yang menuntut kehadiran dan keterlibatan.
SAGKI 2025 menjadi nyala lentera dalam peziarahan sejarah bangsa. Ia mengingatkan bahwa Gereja bukan menara gading yang menjulang di atas penderitaan umat, melainkan tenda perjumpaan yang terbuka bagi semua. Dalam gema langkah para peziarah iman, terdengar bisikan Roh yang mengajak untuk terus melangkah, meski jalan berliku dan cakrawala belum tampak. Sebab Gereja yang berjalan bersama adalah Gereja yang percaya: bahwa dalam setiap langkah kecil menuju sesama, di sanalah harapan dilahirkan, dan di sanalah Kerajaan Allah mulai bertumbuh. Diam-diam, namun pasti! (*)
























