Aksinews.id/Lewoleba – Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) menyelenggarakan Workshop Penguatan Kualitas Pekerja Migran dalam Proses Politik dan Perencanaan Kebijakan Pembangunan bertempat di Hotel Annisa, Lewoleba, Kamis (18/9). Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Advokasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia asal Lembata.

Workshop menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Petrus Bala Wukak (politisi dan praktisi), In Wangge (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Lembata), dan Hubert Holo Kedang (Kepala Bidang Pemdes Dinas PMD Lembata), dengan moderator Elyas Keluli Making.
Dalam pemaparannya, Petrus Bala Wukak menekankan bahwa pekerja migran memiliki kontribusi nyata melalui remitansi yang menopang pembangunan rumah tangga, pendidikan, serta ekonomi lokal. Ia juga mengingatkan bahwa negara, melalui pemerintah daerah, wajib menghadirkan skema perlindungan dan pemberdayaan yang berkelanjutan. “Pekerja migran harus menjadi subyek dalam perencanaan pembangunan, bukan sekadar obyek. Perda Perlindungan Migran No. 20 Tahun 2015 dan Perbup No. 03 Tahun 2017 adalah capaian penting, namun implementasinya masih perlu diperkuat,” tegasnya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata yang digawangi Bupati Kanis Tuak dan Wakil Bupati Hj Muhamad Nazir Laode dalam Visi dan Misi mereka telah menaruh kepedulian dalam segmen Pelindungan Pekerja Migran Indonesia asal Lembata. Hal ini ditunjukkan dalam program Bapa Pulang Mama Senang. Menjadi pertanyaan, sejauh mana program ini menyasar pada komunitas pekerja migran purna di Tingkat Desa.
Demikian juga, bagaimana proses perencanaan di Tingkat Desa yang kemudian menciptakan ruang perencanaan dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat secara umum dan secara khusus komunitas migran purna yang ada di Desa yang kemudian menjadi subyek dalam perencanaan di Tingkat desa.
Sementara itu, In Wangge menyoroti pentingnya akses politik dan perlindungan bagi perempuan pekerja migran. Ia menyesalkan hingga kini belum ada keterwakilan perempuan di DPRD Lembata. “Perempuan memiliki potensi luar biasa, tetapi masih banyak yang tidak percaya diri tampil di ruang publik. Padahal, partisipasi perempuan sangat penting, termasuk dalam memperjuangkan hak-hak PMI. Perempuan sendiri secara politik belum berpihak pada Perempuan. Jika mau jujur maka Perempuan mesti pilih Perempuan biar ada keterwakilannya di ruang politik DPRD Lembata. ujarnya. Ia juga menekankan perlunya reintegrasi pekerja migran purna melalui transfer pengetahuan, penguatan ekonomi, serta perhatian khusus bagi anak-anak PMI yang rentan terhadap kekerasan.
In Wangge juga menyoroti tentang kasus kekerasan terhadap anak-anak dimana korbannya terbanyak anak-anak usia 15 tahun ke atas. Tingkat kejahatan seksual terhadap anaka-anak semakin marak di Kabupaten ini. Betapa tidak, ada modus anak-anak menjual temannya yang juga anak-anak kepada lelaki hidung belang. Ini terlihat dari semakin meningkatnya kasus-kasus seksual yang menimpa anak-anak. Skema kejahatan semakin tinggi dan semakin memprihatinkan. Karena itu, pihaknya menggugat para orang tua untuk senantiasa melindungi anak-anaknya dan mengedukasi mereka secara baik.
Dari sisi kebijakan desa, Hubert Holo Kedang menjelaskan bahwa regulasi sebenarnya telah membuka ruang bagi PMI purna dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. “Dana Desa dapat digunakan untuk program pemberdayaan PMI purna. Tinggal bagaimana pemerintah desa mampu mengintegrasikan kebutuhan tersebut ke dalam prioritas RKPDes dan APBDes,” jelasnya.
Dalam dialog bersama peserta menegaskan bahwa kesadaran pekerja migran dalam pengurusan dokumen legal masih perlu ditingkatkan, partisipasi perempuan dalam politik perlu diperjuangkan, serta mekanisme pengelolaan anggaran desa harus lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan komunitas PMI.
Kegiatan ini menegaskan pentingnya kehadiran negara dalam setiap aspek perlindungan PMI, penguatan ekonomi keluarga migran, serta kolaborasi multipihak untuk pengentasan kemiskinan berbasis komunitas migran. (*/AN-01)