
Yurgo Purab
Jurnalis, Alumnus SMA Seminari San Dominggo Hokeng
“Seandainya Allah tidak bisa diharapkan lagi untuk menyelamatkan para pengungsi itu, mungkin aku sendiri bisa menyelamatkan mereka,” begitu isi batin Sr. Marilyn Lacey ketika menghadapi para pengungsi Afrika.
Sebagai seorang jurnalis yang hampir setiap hari melipir ke pengungsian erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), saya mendapati situasi batas di mana antara harapan untuk hidup aman serta membangun kembali masa depan menjadi sebuah jawaban yang terus dipikirkan para pengungsi sepanjang erupsi terus menyembur dari puncak Lewotobi.
Sepanjang jalan, saya mendapati pepohonan dan rumput yang dulu merindang di punggung gunung itu, kini jadi arang setelah terbakar awan panas dan lava. Hokeng dan sekitarnya yang dulu ibarat surga seketika berubah jadi onggokan abu yang menempel tebal di atap seng, jalan, dan juga pepohonan sekitarnya. Desa-desa di lereng gunung itu seketika jadi sepi, gelap dan tanpa penghuni. Tak ada raung suara motor yang mondar-mandir seperti biasanya di Desa Klatanlo, Padang Pasir dan sekitarnya. Yang ada hanya bunyi cerecit burung yang kadang berteduh di pohon rambutan dan mangga yang terombang-ambing angin.
Saya sempat berpikir mengapa Allah begitu kejam sehingga mengusir umatnya ke tempat pengungsian? Pertanyaanku ini beralasan ketika saya mendapati ratusan warga yang tidur beratapkan terpal pemberian BNPB serta beralaskan tanah lapang. Mata saya sempat menangkap rasa getir dan onak dalam dada orang-orang tua yang duduk sembari menatap puncak gunung seakan berharap erupsi cepat berlalu.
Bahkan, lembaga pendidikan Calon imam dan susteran, yang bekerja untuk Tuhan juga diusir dari tempat mereka mengabdi. Kini hanya tersisa gedung-gedung peninggalan misionaris barat itu berdiri sendiri, tanpa penghuni. Pernah saya menangkap doa seorang pastor di Seminari begini: “Tuhan tidak mungkin merusak tempat ini, puluhan tahun anak-anaknya lahir dan bekerja untuk Tuhan”. Namun kenyataannya segalanya tetap terjadi.
Saya sempat berdiri di atas ketinggian menatap kepundan gunung dari Desa Dulipali. Saya melihat sendiri waktu gunung erupsi dan memuntahkan kolom abu dahsyat. Rekaman handphone saya kala itu, juga menjadi trauma bagi saya. Sebab, antara memotret dan lari dua-duanya harus seimbang. Apalagi ini momentum wartawan yang jarang diliput. Meski saya tahu, Desa Dulipali juga masuk radius zona merah Gunung Lewotobi.
Dalam situasi batas itu, kadang orang sepikir dengan Martin Buber, seorang filsuf dan penulis terkemuka Yahudi abad 20. Ia mengatakan bahwa kesuksesan terjadi bukan karena Allah. Artinya, apa yang kita alami karena keberuntungan, hidup dan segalanya itu karena hasil usaha manusia bukan campur tangan Tuhan.
Pernyataan Martin agak tendensius dan sangat mengkhawatirkan saya dan juga siapa saja yang percaya bahwa garis hidupnya ditopang oleh Allah.
Setelah membaca dan berefleksi cukup lama, saya percaya dengan kata-kata David Steindl Rast, seorang biarawan Benediktin, yang mengatakan nama yang paling benar untuk Allah adalah kejutan.
“Kita tak pernah merengkuh Allah atau memahami secara utuh siapa Dia sesungguhnya, Dia adalah misteri yang tetap tidak bisa disingkap. Allah selalu menjadi yang lain,” tulisnya.
Setelah merenung cukup dalam saya memahami bahwa Allah terlibat aktif dalam penderitaan manusia. Dia tidak meninggalkan manusia berjalan sendiri, dia berjalan bersama para pengungsi, dia menjamah mereka satu persatu, menyapa mereka. Dia meyakinkan penderitaan yang kita alami tak sebanding dengan kebesaran Tuhan.
Allah tidak hadir dalam teks-teks teologi yang baku, tetapi Ia hadir dalam wajah manusia yang lain; pemerintah, LSM, Pos Pengamatan Gunung Api, Para Pastor, jurnalis dan juga pemerhati. Allah tahu, situasi batas manusia, Dia ingin kita melihat wajah anak-anak pengungsi sebagai wajah kita yang polos yang mencari Tuhan. Allah ingin wajah sesama yang saling tegur sapa di tenda pengungsian. Meski selama ini ada yang tak saling tegur dan berbagi duka dan suka.
Allah ingin kita merasakan betapa hangatnya cinta kasih sesama di antara kita, dan Allah mau kita selalu mencari dan menyerahkan diri kepada-Nya. Toh, kita bukan siapa-siapa, kita adalah peziarah yang terlempar dari surga ke bumi dilahirkan untuk memuji keagungan-Nya.
Akhirnya, kita sependapat dengan Mahatma Gandhi “tujuan terakhir manusia adalah kesadaran bahwa semua aktivitasnya, sosial, politik, religius harus diarahkan pada tujuan akhir yakni untuk memandang Tuhan”. (*)