Aksinews.id/Maumere – Aktivis HAM dan kemanusiaan di Sikka, Anton Yohanis Bala, SH melaporkan tiga akun facebook ke Polres Sikka dengan tuduhan melakukan pencemasan nama baik dan penghinaan melalui media elektronik.
Langkah hukum ini dilakukan guna memulihkan kehormatan pribadi sekaligus melawan upaya sistematis yang bertujuan merusak reputasinya di ruang publik digital.

Ikhwal soalnya, berawal dari dua unggahan di akun Facebook pribadi miliknya bernama John Bala—masing-masing pada tanggal 15 dan 16 Juni 2025. Jhon Bala mengaku menjadi sasaran komentar-komentar yang bukan saja menyakitkan, tapi juga bernada tuduhan serius, menyangkut moralitas dan integritas pribadinya.
Pada unggahan pertama, akun “Papo Belang” menuliskan komentar menyindir bahwa seorang advokat dan pejuang HAM tidak seharusnya “meniduri wanita adat yang sudah berkeluarga”.
Komentar tersebut, yang menurut Jhon Bala sangat tidak berhubungan dengan isi postingannya, dengan cepat memancing respons dari beberapa akun lain yang memperkeruh suasana, termasuk akun Sensilius dan Simone Welano.
Namun, yang paling mencolok adalah komentar dari akun Yustina Yusmiani pada unggahan berikutnya. Dalam tulisannya, akun ini secara eksplisit menuduh Jhon Bala telah memperlakukannya secara tidak pantas dan bahkan menyamakan dirinya dengan binatang yang bisa diperlakukan seenaknya.
Tuduhan tersebut tidak hanya menyerang karakter Jhon Bala sebagai individu, tetapi juga mencemarkan martabatnya sebagai figur publik dan pejuang keadilan.
Komentar lainnya dari Sensilius mempertegas serangan terhadap Jhon Bala, menyebutnya sebagai “manusia biadab” yang menurutnya tidak pantas disebut sebagai pejuang HAM.
Kepada media, Jhon Bala menduga serangan terhadap dirinya kemungkinan berkaitan erat dengan konflik yang lebih besar, yakni sengketa agraria antara masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut melawan perusahaan perkebunan PT Krisrama yang didukung oleh Keuskupan Maumere.
Jhon Bala memang berada di garis depan membela hak-hak masyarakat adat yang menolak penguasaan lahan oleh korporasi tersebut. Ia menyebut para pelaku yang menyerangnya melalui media sosial adalah individu-individu yang secara terbuka berada di pihak yang berseberangan dalam konflik ini.
“Mereka ingin membalas saya dengan cara paling keji—bukan melalui argumen, tapi dengan fitnah pribadi yang menyentuh harga diri saya sebagai manusia,” ujar Jhon Bala.
Ia juga menyatakan bahwa setiap postingan yang ia buat di Facebook, selalu diikuti komentar-komentar yang tidak berkaitan dengan isi tulisan, namun justru menjurus ke serangan pribadi, insinuasi seksual, dan penghinaan.
Merasa dirugikan secara moral, psikologis, dan sosial, Jhon Bala akhirnya memilih untuk menempuh jalur hukum. Ia melaporkan akun Yustina Yusmiani, Papo Belang, dan Sensilius ke Polres Sikka dengan tuduhan pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.
Jhon Bala meminta pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, termasuk menelusuri jejak digital dari akun-akun yang bersangkutan, serta memanggil saksi-saksi yang mengetahui baik hubungan antara dirinya dengan para terlapor, maupun konteks konflik agraria yang tengah berlangsung.
“Langkah ini saya tempuh bukan sekadar membela diri. Ini adalah pesan bahwa ruang digital tidak boleh menjadi tempat bebas untuk melampiaskan kebencian dan menyebarkan kebohongan. Saya percaya pada supremasi hukum dan keadilan yang adil,” tegasnya.
Sebagai seorang advokat dan pejuang HAM, Jhon Bala menyadari bahwa perjuangannya di jalur hukum tidak selalu mudah, terlebih ketika yang diserang bukan hanya argumen, tapi juga martabat diri. Namun, ia berkomitmen untuk menghadapi proses ini dengan terbuka dan menjunjung tinggi kebenaran.
Kepada media dan publik, Jhon Bala berharap kasus ini dapat menjadi perhatian bersama akan pentingnya etika bermedia sosial, serta perlindungan hukum bagi siapa saja yang menjadi korban ujaran kebencian dan fitnah di ruang digital. (Rinto Jaga/MoF)