Oleh: Robert Bala
Asal Paroki Lerek – Lembata
Penulis buku: Inspirasi Hidup, Pengalaman Kecil Sarat Makna (Penerbit Kanisius, Jogyakarta)
Setelah 15 tahun berada di satu paroki yang sama yang dikenal sebagai ‘medan yang berat’ (karena umatnya ‘kepala batu’, tentu saja judul tulisan ini tidak diterima. Bagaimana seseorang yang sudah begitu lama mengabdi di satu tempat, tidak ‘digoyang’, sementara pastor paroki lain sudah mengalami perpidahan 2 – 3 tahun (kalau penempatan 5 tahun), bisa disebut demikian? Mengapa disebut tidak mengumat padahal sukses menaklukkan paroki yang dikenal sebagai tempat buangan?

Bila ditinjau dari definisi gembala mengumat seperti dikutip dari Liahona, Juli 2001, maka judul di atas tentu saja ditolak. Seorang gembala yang mengumat diartikan sebagai orang yang memiliki kedekatan dan empati, kepemimpinan yang rendah hati, menjaga, dan melindungi. Gembala yang mengumat juga diartikan memiliki kesiapsediaan dan kehadiran yang selalu di tengah umat. Sang gembal juga selalu menjaga komunitas dan kesatuan umat.
Kalau sudah memenuhi semua kriteria di atas, mengapa ‘Rompi’ (nama manis dari Romi Pius Laba Buri) masih disebut ‘tidak mengumat?’ Penjelasannya bisa diangkat dari konsep ‘peran gembala’ yang keliru dan dipahami secara pincang.
Gembala sering hadir sebagai ‘bos’ atau ‘penguasa’. Oleh keunggulan ilmu yang ada padanya dan penguasaan atas aturan baik yang berasal dari hukum kanonik maupun kebiasaan yang dari ‘doeloe’ dan sudah diterapkan di banyak tempat, dan kembali diulangi di tempat lain. Kondisi umat yang berbeda dari tempat ke tempat tidak digubris. Sang gembala dengan ‘pedenya’ yakin bahwa dengan memerintah, mengatur, dan mengendalikan hidup umat, program itu akan terlaksana.
Sebagai ‘bos’, seorang pastor tidak dianjurkan (dan dia sendiri tidak mau) terlibat dalam kehidupan riil umat. Ia tidak perlu teribat dalam berkebun atau beternak yang merupakan ‘medan’ hidup umat. Ia perlu ambil jarak dengan hal yang bernuansa mengotorkan kerah baju.
Ada gembala juga yang sebatas menjadi ‘penjual firman’. Ia menyampaikan ajaran tetapi tidak terlibat dalam kehidupan umat sehari-hari. Ia perlu mengambil jarak karena ada pembagian kerja yang jelas antara sang gembala yang ‘berfirman’ dan dan umat yang melaksanakan.
Gembala juga dipahami hanya sekadar ‘pemadam kebakaran’. Ini tentu bukan saja salah sang gembala tetapi juga karena pemahaman umat (yang terbatas). Mereka memahami bahwa sang gembala hanya untuk menyelesaikan masalah atau memberikan solusi ketika ada masalah. Kalau tidak ada masalah maka semuanya aman sambi menunggu kalau ada masalah.
Pada akhirnya gembala yang mengumat dipahami keliru sebagai ‘orang hebat’. Sebagai orang hebat, ia tidak perlu dijaga (termasuk dalam hal keuangan) karena dari ‘sononya’ pasti jujur. Tetapi di sinilah yang kadang membuat banyak orang yang ‘terlalu pede’ dengan hal keuangan, dengan akibatnya mengecewakan umat. Memang uang tidak mengenal saudara dan tidak tahu apakah umat atau imamnya.
Berbau Domba
Kalau beberapa indikator ‘mengumat’ yang dipahami secara keliru pada Romo Pius Laba Buri, Pr maka jelas ia bukan gembala yang mengumat. Artinya ia menghidupi model ‘kegembalaan’ yang dalam arti tertentu berbeda dengan praksis kebanyakan pastor dan jauh melampaui apa yang dipahami umat.
Pertama, Pius Laba Buri tidak menghadirkan diri sebagai penguasa atau ‘bos’. Ia mengidentikkan diri dengan umat. Bila umat punya kebun kacang atau kebun singkong, maka Pius Laba juga punya. Bila umat punya ternak (babi dan kambing) dan menderita karena virus sehingga jerih lelah tidak terbayarkan, maka ia juga rasakan. Pagi hari dengan jubah imam sambil mengendara motor untuk merayakan misa pagi di stasi terdekat, ia tidak lupa membawa makanan ternak bersamanya. Ia tidak saja mengotorkan baju tetapi juga jubahnya. Ini bisa disebut ‘tidak mengumat’ seperti yang digambarkan oleh konsep keliru. Ia punya praksis lain yang beda dan malah melewati pandangan yang keliru.

Kedua, ‘Rompi’ ri bukan ‘penjual firman’. Meski berada di tengah umat yang punya tingkat pendidikan ‘di bawah standar’, tetapi jarang pernah berkhotbah secara spontan. Segala sesuatu disiapkan, dengan pilihan diksi yang tepat. Kalau pun terpaksa disebut ‘penjual firman’, itu dilakukan karena umat harus bisa memilih ‘jualan’ dan tidak saja dilemparkan kata-kata tanpa makna. Homili Romo Pius yang terkenal tentang ‘Tena Laga Doni’ menjadi contoh bagaimana Pius sangat kenal budaya setempat dan mengelaborasinya dengan sangat cerdas dan cermat. Bila ditinjau dari sisi ini, Pius tidak mengumat karena menghidupi sebuah model yang melampaui malah kadang bertentangan dengan apa yang biasa dihidupi.
Ketiga, Pius tidak sekadar memadamkan api tetapi mengantisipasi agar tidak terjadi kebakaran. Hal ini terjawab dalam sebuah ‘obrolan tidak resmi’. Pius tahu kapan menyapa dengan manis dan penuh kasih, memeluk, menepuk pundak memberi semangat. Tetapi Pius juga tahu kapan harus menempeleng bahkan kapan harus menendang umat yang keliru. Segala sesuatu ada waktunya. Semuanya dilaksanakan secara antisipatif. Ia tidak menggeneralisir untuk memberikan pelayanan ‘apa adanya’ sekadar menyelesaikan masalah tetapi ia tahu kapan semuanya diberikan. Konsep seperti ini menjadikan Pius ‘Tidak mengumat’ karena tidak melakukan hal yang biasa-biasa saja.
Keempat, Pius tidak hadir sebagai orang hebat atau superman. Ia tahu, keuangan adalah hal yang menggoda juga untuk para pastor. Karena itu sebuah kepercayaan selalu ia berikan kepada pastor rekan untuk ‘memegang kas’. Ia sendiri memantau dan memberikan arahan bila mana perlu. Ia juga terbuka untuk dikoreksi dan segera mengubah pola pengelolaan yang tidak sesuai harapan.
Terakhir, Pius bisa disebut tidak mengumat karena melaksanakan model pastoral yang berbeda dari biasanya. Ketika ada pembangunan gereja, pastoran, tempat ziarah, para pastor di banyak paroki segera menggunakan kemiskinan umat sebagai ‘nilai jual’. Dengan mudah banyak pastor paroki yang segera berangkat ke Jakarta atau kota besar lainnya untuk ‘memaparkan kemiskinan umat’ dan mengetuk para donatur untuk memberi. Dengan cepat bangunannya akan selesai.
Pius justru tidak mengumat. Ia melawan dan ‘kekeh’ dengan kata-katanya: “Ini rumah kamu, bukan rumah saya. Saya hanya berkarya di sini beberapa saat dan kemudian akan berangkat. Karena itu saya tidak akan pergi ke Jakarta hanya untuk jual kemiskinan umat. Kita yang harus bangun dengan kekuatan sendiri”. Kata-kata yang pedas tetapi kemudian baru disadari bahwa banyak kali ‘mengumat’ dipahami secara keliru.
Praksis pastoral yang ‘tidak mengumat’ ternyata positif. Tidak mengikuti (atau ikut-ikutan) dengan paham yang keliru tetapi secara konsisten. Minimal mengikuti apa yang diharapkan oleh Paus Fransisikus yang menekankan agar para gembala: Be ‘shepherd with ‘the smell of the sheep'”! (jadilah gembala berbau domba). Berbau domba adalah contoh mengumat yang sebenarnya sementara ‘mengumat’ yang keliru itulah yang perlu dikoreksi. (*)