Komunitas Petani di kampung Lamakukung Desa Dawataa, Kecamatan Adonara Timur mengenal tradisi syukuran hasil panen untuk satu musim tanam petani, yakni Hoko Lewo Gitu Geta.
Gitu Geta atau tihik, tewang, dalam bahasa melayu disebut memanen, memungut hasil kebun padi dan jagung, jewawut, jagung solor, kacang-kacangan. Ya panen hasil tanaman tanaman palawija.
Gitu Geta adalah juga puncak perayaan satu musim tanam. Acara ceremoni digandeng dengan hoko lewo (membersihkan kampung dari rerumputan) diawali dengan upacara bau lolong (memberi sesaji berupa tuak kelapa) di nuba nara (mezbah). Karena itu, puncak perayaan disebut Hoko Lewo Gitu Geta.
Pagi hari saat fajar menyingsing, dilakukan hoko lewo (pembersihan kampung )dan bau lolong (memberi sesaji) ,menuang tuak kelapa ke leluhur lewotana (kampung halaman), Rera Wulan Tana Ekan (Wujud Tertinggi) yang disimbolkan di Nuba Nara, di jantung kampong, dengan syair-syair adat oleh Kebelen Lewo (Kepala Kampung) diapit pemangku suku.
Syair syair adat di upacara ini, menurut Kebelen Lewo Fabianus Pati, berisikan rasa syukur atas penenan hasil kebun untuk hujan, badai dan panas yang cukup dan seimbang untuk lolos dari serangan hama penyakit tanaman di kebun. Sehingga petani boleh memungut hasil pada waktunya.
Menurutnya, upacara ini dilakukan usai petani memanen, menyimpan di lumbung (neka peli) dan setelah memberi bagian ke saudari (bine) dan mereka-mereka yang sukarela membantu dalam proses menanam, memanen. Bagian yang dibagikan disebut beame.
Dia menjelaskan, pada malam harinya, dilanjutkan dengan upacara bua lamak (makan bersama) dengan menu makannya nasi (beras) yang baru dipanen dari kebun untuk satu musim tanam itu.
Di acara makan bersama itu, masing masing orang yang ikut makan bersama (tobo lagang), biasanya laki-laki dewasa dan anak anak lelaki akan membagikan bagian nasi ke orang terdekat yang duduk di sebelahnya, kiri, kanan, depan dan belakang. Bagian nasi ini disebut Wata Moten. Wata moten sebagai simbol berbagi bersama.
Lelaki yang ikut makan bersama disebut tobo lagang sedangkan tempat upacara makan bersama disebut lagang. Masing masing lelaki yang ikut makan bersama (bua lamak) dibawa bagian hidangan oleh saudari perempuan (bine) atau anak perempuan gadis atau istri bagi lelaki yang sudah menikah.
Acara makan bersama (tobo lagang dan bua lamak) ini sebagai puncak perayaan syukur panen untuk satu musim tanam.
Festifal Hoko Lewo biasanya dibuat beberapa kali dalam setahun mengikuti kalender musim petani. Mula mula, Hoko Lewo untuk tujuan memulai musim tanam (tubak mula nuane), usai menanam (era raine/sisa bibit/benih), Jagung usia muda (tuno wata beteng/wuung lolong) dan Gitu Geta/syukur atas panenan sebagai akhir musim berkebun setahun.
Fabianus Pati menerangkan, setelah Gitu Geta, petani akan tinggalkan kebun, membero, mengistirahatkan kebun sekejap dan mengolahnya lagi saat musim hujan tiba.
Bera atau bero, dalam bahasa lokal disebut Kouk sekaligus sebagai memberi ruang binatang hutan, babi, monyet, belalang, burung, tikus, ular dan lain lain mengais remah-remah sisa kebun. Dalam istilah lokal disebut Re Pelutana Rekang.
Tradisi ini sekaligus menjelaskan petani memelihara dan menjaga ekosistem kebun yang berkelanjutan. (Kornel AT)