Senin sore, 9 Juli 2024, menjelang senja, kampung kecil Lalamapa, Desa Langir Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka menjadi pusat perhatian warga setempat maupun desa tetangga. Mereka datang secara sukarela tanpa undangan. Suasana kampung menjadi ramai dari biasanya.
Semua mata tertuju pada satu rumah kecil di kampung itu. Rumah milik Paulus Puden. Di depan rumahnya terpasang beberapa tenda acara. Sekeliling tenda dipagari kain putih, hanya di bagian utara tenda dibuat pintu masuk dan ditanami dua buah pohon pisang bertandan serta dihiasi dengan janur kuning. Di atas tandan pisang diletakan sepasang “utan labu” dan “lipa labu” (kain tenun adat motif Sikka Krowe).
Ratusan warga baik tua, muda maupun anak-anak memadati arena sekitar tenda. Mereka dengan setia menunggu dan menanti. Senda gurau menjadi penghangat suasana. “Baku wolan” (tradisi memberi minum moke dan sup daging kepada warga) melepas dahaga.
Suasana tambah riuh riang setelah bunyi musik trasidisional ‘gong waning’ mulai samar-samar terdengar dari kejauhan. Tanpa basa basi salah satu warga yang sudah lama menunggu, Moat Lesu dalam dialeg Sikka mengatakan ‘rimu en te gai bou ba” (mereka sudah mau datang).
Jalan rabat Lalamapa Kamet dipenuhi warga yang setia menunggu ketika bunyi musik gong waning semakin mendekati tenda rumah Paulus Puden. Semua bersorak dengan bahagia menyambut rombongan pengantin Anton dan Asni, yang dihantar oleh keluarga mempelai pria menuju rumah mempelai perempuan, rumah Paulus Puden.
Kehadiran kedua pengantin yang merupakan karyawan Hotel Loccal Collection Labuan Bajo dan CU Hiro Heling Maumere, belum mampu mengobati kegundahan hati warga. Mereka tidak juga beranjak dari pelataran tenda pesta. Sesuatu yang ditunggu belum jua datang.
Tak lama berselang, rombongan penari adat Soka Rua Mu’u tiba (tarian adat potong pisang). Moat Karolus dengan busana adat kain lipa tanpa baju dan ditangan kanannya memegang sebilah parang panjang, sebagai lakon penari utama. Ia ditemani para penari gong waning lainnya serta partipasi warga yang secara spontan ikut menari gong waning.
Susana sore itu begitu ramai. Bunyi ring yang diikat di kedua pergelangaan kaki penari utama Moat Karolus, memadu madankan irama music gong waning. Hentakan kaki dan sorak sorai penari dan warga yang menonton membuat suasana semakin hangat dan ramai.
Dua pohon pisang bertandan, dan diatas tandan pisang di letakan sepasang “utan labu dan lipa labu, menjadi lokus perhatian penari utama. Moat Karolus dan penari gong waning lainnya, menari mengintari kedua pohon pisang. Sambil menari mengikuti hentakan music gong waning, daun pisang helai demi helai dilepaskan dari pohonnya dengan sekali ayunan parang tajam Moat Karolus.
Kedua pohon pisang dibuatnya sampai botak”. Namun belum dapat diperbolehkan untuk dipotong. Semua menunggu informasi dari delegasi adat. Mereka terus menari, semakin larut bertambah ramai, ketika disela pagar masal muncul seekor kuda putih yang gagah perkasa dibawa masuk kedalam arena menari gong waning.
Delegatus adat dari keluarga penagntin laki-laki, Moat Blasius ikut menari gong waning. Di tangannya memegang sebuah piring putih yang sudah diletakan dengan sejumlah uang adat untuk diserahkan ke delegasi keluarga perempuan. Sesuai dengan kesepatan adat yang sudah disampaikan pada saat acara poto wua taa (acara masuk minta). Kemudian Moat Blasius dijemput oleh salah satu keluarga pihak perempuan untuk bertemu dengan delegasi adat dari keluarga perempuan, Moat Moang. Keduanya membahas barang adat yang dibawa keluarga laki-laki dan imbalan adat dari keluarga perempuan.
Kurang lebih pukul 18.00 Wita, menemui penari utama dan warga yang ada di sekitar pohon pisang, dan menyampaikan bahwa pisang sudah dijinkan oleh pihak keluarga perempuan untuk dipotong.
Penari utama Moat Karolus kembali beraksi, riuh riang suasana bertambah ramai menjelang pucak acara roa muu (potong pisang). Parang panjang dan tajam dengan lihai menggunduli kedua pohon pisang. Kain adat utan labu dan lipa labu yang diletakan di atas tandan pisang diambilnya dan diserahkan ke saudari perempuan pengantin pria. Lalu tandan pisang dipotong.
Simbol adat roa muu (potong pisang) ini ditandai dengan pihak keluarga laki-laki menyerahkan seekor kuda dan sejumlah uang ke pihak keluarga perempuan, sedang pihak keluarga perempuan menyerahkan ke pihak keluarga laki-laki berupa seekor babi, beras 50 kg, moke 10 liter dan kain adat utan labu lipa labu.
Yohanes Efendi, salah satu tokoh masyarakat Desa Langir, mengatakan acara adat soka rua mu’u hanya berlaku bagi pasangan pengantin yang menikah secara murni atau secara pantas. Dan, sebelum masuk tahapan adat roa mu’u, beberapa tahapan adat harus sudah diselesaikan oleh kedua pihak keluarga. Seperti tahap pertama, wua ta’a pahar (masuk lamar), taser (pembicaran adat/pasang cincin), wua taa gete (acara adat belis), kela naran (kanonik), dan terakir roa mu’u.
“Soka rua mu’u akan terus lestari, hidup dan berkembang di masyarakat adat jika setiap tahun minimal ada satu pasangan yang memilih menikah secara murni,” harap Moat Epen.
Sementara Ketua Stasi Pusat Paroki Habi, Simon Sebedeus, mengatakan pernikahan murni di masa sekarang semakin langka. Banyak yang menempuh perkawinan secara pintas. “Ini tantangan yang kita hadapi saat ini. Sehingga perlu edukasi secara dini kepada orang muda Katolik agar kedepan, pernikahan murni serperti Anton dan Asni dapat mengispirasi”.
“Wua go go gaging taa lanan dete, rait lepo sorong woga, uhe die dan hading nawang,” tutupnya. (Artinya: buah pinang menggelinding, bersamaan dengan daun sirih melata menjalar masuk beranda rumah (calon pengantin perempuan), pintu rumah terbuka, menanti lamaran menuju rumah tangga baru). (Yosef Sumanto)