Florentinus Lako Wahon
Guru SMP Sinar Swasembada Hadakewa
Filosofi atau filsafat merupakan studi atau penyelidikan dengan mempertanyakan hakikat segala yang ada, sebab, asal muasal dan hukum yang mengaturnya. Filsafat juga mengandung arti cinta akan kebijaksanaan (Gerald O’Collins dan Edward E. Farrugia, 1996). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat mengantar orang pada kebijaksaan setelah melalui sebuah proses yang berlandaskan pada rasionalitas atau nalar kritis.
Dalam masyarakat dan budaya-budaya, kita menjumpai penggunaan berbagai slogan atau pemaknaan falsafah hidup. Falsafah mengandung arti pandangan atau pegangan hidup bagi masyarakat dalam menata hidup secara pribadi maupun kelompok agar dapat hidup etis berdasarkan tatanan hukum adat dan warisan keteladanan para pendahulu dari generasi ke generasi.
Salah satu filosofi yang diperkenalkan akhir-akhir ini adalah filosofi teras. Kisah teras para filsuf Yunani-Romawi pada 2300 tahun yang lalu mempunyai makna sejarah yang membangkitkan jiwa. Itulah mengapa Henry Manampiring dalam bukunya filosofi teras membangkitkan kembali jiwa pelopor filsafat Stoa-Zeno. Zeno sang guru kerap menggunakan teras berpilar sebagai tempat ngopi pahit artinya ngobrol pilihan hidup berlangsung terus.
Kata teras berasal dari kata bahasa Yunani Stoa. Pada teras berpilar inilah sang filsuf mengajarkan bagaimana manusia dapat menjadi lebih baik dan terbebaskan dari berbagai belenggu hidup. Kaum Stoa berkeyakinan bahwa kekuatan pikiran yang tenang membuat seseorang menjadi bijak bukan sebaliknya mengikuti pemikiran orang lain.
Sebab dengannya orang akan terbelenggu bukan juga oleh pemikiran sendiri tanpa ketenangan. Seseorang akan terbebaskan dari belenggu dan persoalan hidup jikalau ia tidak bersandar pada apa yang dikehendaki orang lain tetapi oleh pemikiran yang tenang yang menghasilkan pemikiran rasional dan bijak.
Kisah Marcus Aurelius (161-180 M) seorang filsuf stoik menjadi pelajaran bermakna. Keberhasilannya dalam memperluas kekaisaran melalui peperangan tidak membuatnya puas diri. Ia justru bertanya apakah memang perang itu perlu? Permenungan Marcus Aurelius sesungguhnya telah terjawab dan sejalan dengan pemikiran Plato filsuf Athena sebelumnya (327-348 SM) yakni soal hasrat yang bergejolak. Kekuatan nafsu-nafsu rendah akan mengalahkan akal budi.
Di sinilah timbul konflik batin yang memenjarakan jiwa dan jauh dari kebahagiaan abadi. Plato yang memperoleh pengajaran dari Socrates atau Aristoteles yang dipengaruhi oleh ajaran gurunya Plato. Mereka kerap membicarakan dan mengajarkan tentang kebahagiaan meskipun dengan penekanan yang berbeda tetapi bahwa pikiran mempengaruhi hidup seseorang adalah sesuatu yang tak dapat disangkal.
Persoalan hidup manusia sejak zaman para filsuf sebelum masehi tidak bedanya dengan zaman sekarang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum bahkan tidak menyingkirkan persoalan hidup manusia zaman modern. Rasa tertekan, stres, ketidakpuasan atas ketidakadilan, kecurangan, iri, saling memojokan, merasa benar egoisme akan terus berlangsung selama manusia masih hidup dan bersaing atau berperang. Kontrol yang paling mungkin adalah pemikiran yang tenang seperti yang diajarkan para filsuf stoik.
Kaum stoik dapat memahami diri dan hidupnya melalui dikotomi kendali. Ada hal yang ada di luar kendali kita dan juga ada dalam kendali kita. Hal-hal yang berada dalam kendali kita inilah yang mesti diusahakan oleh setiap pribadi kita yakni: opini, tindakan, keinginan dan tujuan. Di luar itu adalah restu semesta atau alam.
Pemilu tahun 2024 mengangkat tema, Pemilu Sebagai Sarana Integrasi Bangsa. Tema ini mengajak setiap warga Indonesia untuk tetap menjaga keharmonisan dan kedamaian dan menjadikan pemilu sebagai pemersatu meskipun berbeda seperti semboyan negara kita berbeda-beda tetapi tetap satu. Masyarakat harus sungguh merasakan pemilu sebagai sebuah pesta. Pesta yang mendatangkan kegembiraan. Pesta yang memberi nuansa sukacita dan pesta dalam sukacita ini dialami oleh setiap orang.
Ada banyak pemutarbalikan fakta dan informasi yang tidak valid. Di hari yang bersejarah ini, kita masih saja diterpa arus informasi politik yang galau. Kita bisa saja sulit membedakan sebuah fakta dan jualan politikus parpol dan atau tim kampanye. Hoaks dan blacknews bertebaran di berbagai media soial. Saling serang dan klaim kebenaran terus dilancarkan untuk memenangkan hati publik. Akankah pemilu 2024 menjadi sarana integrasi bangsa?
Kita mesti belajar dari filsafat stoa yang masih relevan hingga kini sehingga tidak galau dan terombang ambing. Dengan menggunakan dikotomi kendali, kita dapat menentukan dan mengontrol hal-hal yang dapat membuat kita berpesta dengan gembira. Kita dapat memiliki kendali atas pikiran kita bukan atas opini orang. Kita dapat bertindak dan menentukan pilihan sesuai apa yang menjadi keinginan dan tujuan kita. Filosofi Stoa mampu membantu kita mengatasi emosi negatif yang memberi ruang keterpecahan dan memberidaya tahan emosi yang tangguh berhadapan dengan adu domba. (*)