Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid-Spanyol. Penulis buku: INSPIRASI HIDUP (Penerbit Kanisius Jogjakarta, 2021)
Seminggu terakhir kabar ‘tidak adanya debat cawapres’ cukup banyak dibicarakan. Pada pilpres kali ini tidak ada debat cawapres.
Tetapi apakah debat cawapres itu penting sekali kah? Menurut UUD 1945 Pasal 4 ayat 2, wakil presiden berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun membantu presiden dengan tugas pasif tetapi tugas wapres tentu lebih tinggi dari menteri. Merujuk praktek sistem presidensial, wapres tidak memiliki “pekerjaan lain” selain tugas-tugas yang bersifat seremonial.
Kalau melihat peran seperti ini, maka debat untuk cawapres tidak penting (-penting amat). Karena itu penghilangan debat sebenarnya tidak perlu diributkan. Artinya, ada tidaknya wapres sebenarnya tidak terlalu penting mengingat perannya yang lebih bersifat seremonial. Selagi presiden sangat kuat dan cakap, kehadiran wapres nyaris terdengar. Kenyataan inilah yang barangkali terasa dalam 5 tahun terakhir. Ma’ruf Amin antara ada dan tidak ada.
Tetapi apakah wapres hanya benar-benar sebagai ban serep yang lebih berada di belakang layar dengan kerja yang nyaris terukur? Atau, apakah presiden selalu dalam keadaan baik-baik saja sehingga seorang wapres tidak perlu dipersiapkan untuk ‘jaga-jaga’?
Fakta sejarah menunjukkan bahwa posisi cawapres akhirnya menjadi begitu penting saat presidennya wafat. Presiden 𝑱𝒂𝒎𝒆𝒔 𝑨 𝑮𝒂𝒓𝒇𝒊𝒆𝒍𝒅 (1881), 𝑾𝒊𝒍𝒍𝒊𝒂𝒎 𝑴𝒄𝑲𝒊𝒏𝒍𝒆𝒚 (1901), 𝑱𝒐𝒉𝒏 𝑭 𝑲𝒆𝒏𝒏𝒆𝒅𝒚 (1963), 𝑭𝒓𝒂𝒏𝒌𝒍𝒊𝒏 𝑫 𝑹𝒐𝒐𝒔𝒆𝒗𝒆𝒍𝒕 (1945), 𝑨𝒃𝒓𝒂𝒉𝒂𝒎 𝑳𝒊𝒏𝒄𝒐𝒍𝒏 (1865) 𝑨𝒏𝒘𝒂𝒓 𝑺𝒂𝒅𝒂𝒕 (1981), 𝑯𝒖𝒈𝒐 𝑪𝒉𝒂𝒗𝒆𝒛 (2013), 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒏𝒂𝒎𝒂, 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒘𝒂𝒇𝒂𝒕 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂. Ada yang dibunuh tetapi juga ada yang wafat karena sakit/serangan jantung.
Karenanya, tegas mengatakan semua capres yang ada tidak kebal terhadap kematian. Dengan demikian mempersiapkan cawapres yang ‘siap pakai’ (kalau terjadi sesuatu dengan Presiden) juga perlu dilakukan salah satunya melalui debat.
Sementara itu ketakutan bakal ‘gagap’ saat debat sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Pada sisi lain, dalam pilpres 2019 sebenarnya sudah ada langkah yang lebih jauh. Kalau melihat ‘kondisi’ Ma’ruf Amin yang sudah sangat sepuh sekali, sudah tunjukkan. Ia bicara tentang ‘tol langit’ disambut dengan gelak tawa. Orang sangka ia bicara sebagai Kiai tentang Surga tempat tuju semua kita. Yang menarik ia justru sedang bicara tentang satelit yang manfaatnya tengah kita nikmati sekarang
Kepastian tentang kematian tentu tidak bisa kita hanya arahkan ke Prabowo yang berumur 72 tahun kini. Bila dibanding dengan presiden berikut: 𝑺𝒂𝒍𝒎𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒏 𝑨𝒃𝒅𝒖𝒍 𝑨𝒛𝒊𝒔 𝒂𝒍 𝑺𝒂𝒖𝒅 (𝑨𝒓𝒂𝒃 𝑺𝒂𝒖𝒅𝒊), 𝑷𝒂𝒖𝒍 𝑩𝒊𝒚𝒂 (𝑲𝒂𝒎𝒆𝒓𝒖𝒏), 𝑹𝒂𝒖𝒍 𝑪𝒂𝒔𝒕𝒓𝒐 (𝑲𝒖𝒃𝒂), 𝑺𝒂𝒃𝒂𝒉 𝑨𝒍 𝑨𝒉𝒎𝒂𝒅 𝑨𝒍 𝑱𝒂𝒃𝒆𝒓 𝑨𝒍 𝑺𝒂𝒃𝒂𝒉 (𝑲𝒖𝒘𝒂𝒊𝒕), 𝑴𝒂𝒉𝒂𝒕𝒊𝒓 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒎𝒎𝒂𝒅 (𝑴𝒂𝒍𝒂𝒚𝒔𝒊𝒂), Prabowo bisa saja dianggap sangat muda.
Pada sisi lain Anies yang berusia 54 tahun dan Ganjar 55 tahun tentu tidak bisa anggap diri lebih sehat dari Prabowo yang sering kelihatan kepayahan berjalan. Fakta lain justru mengatakan bahwa ada presiden yang alami serangan jantung di usia 52 tahun seperti Presiden Mesir 𝑮𝒂𝒎𝒂𝒍 𝑨𝒃𝒅𝒆𝒍 𝑵𝒂𝒔𝒔𝒆𝒓 yang meninggal tahun 1970.
Pada sisi lain kalau pun orang meragukan kesehatan fisik Prabowo yang mengalami ‘sedikit kesulitan’ saat berjalan mengingatkan bahwa tidak berlebihan mengingatkan bahwa Gibran juga harus bersiap-siap kalau hal yang tidak diinginkan bisa terjadi dengan Prabowo.
Jiwa Demokrasi
Lalu apakah debat cawapres masih tetapi dijawab ‘tidak penting’ (-penting amat) sebagaimana judul artikel ini?
Pertama, dugaan mengaitkan ke(tidak)mampuan Gibran dalam debat (seperti yang diisukan), tentu tidak bisa dibiarkan menyebar secara tak terkontrol. Semua persoalan bangsa tidak bisa diangkat ke tingkat permainan perasaan belaka sambil berusaha merusak figur dengan aneka serangan tak bertanggungjawab.
Tetapi keraguan ini harus dibuktikan dengan mengujinya dalam debat. Mengapa? Bila tidak ditanggapi, orang justru akan cepat membenarkan asumsi bahwa kejadian kali ini tidak ada bedanya dengan keputusan MK (yang telah dibuktikan cacat oleh MKMK) sebagai peristiwa yang tidak terjadi dengan sendirinya. Karena itu tanpa debat cawapres akan bersifat negatif tidak saja bagi Prabowo dan Gibran tetapi juga pada Jokowi.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒅𝒆𝒓𝒆𝒕𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊𝒅𝒆𝒏 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒆𝒎𝒑𝒖𝒕 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌 𝑨𝒏𝒊𝒆𝒔, 𝑮𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓, 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒂𝒈𝒊 𝑷𝒓𝒂𝒃𝒐𝒘𝒐. Karena itu figur presidentiable dari semua cawapres harus diuji melalui debat. Karena itu debat, meski akhirnya juga harus dihadiri oleh Capresnya, tetapi kehadiran Cawapres sendiri akan menjadi hal yang sangat penting. Dengan kata lain, kehadiran siapapun cawapres dalam debat akan memberi keyakinan pada rakyat untuk lebih yakin memberi suara.
𝑫𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒄𝒂𝒘𝒂𝒑𝒓𝒆𝒔 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒅𝒊𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒆𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝒕𝒆𝒏𝒅𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒈𝒐 𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒋𝒂𝒖𝒉 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒕𝒂𝒕𝒂 𝒌𝒐𝒕𝒂. Di sini debat bisa menjadi penyeimbang. Pada akhirnya negeri ini akan melihat sendiri perdebatan kualitatif karena orang yang terlampau jago berkata-kata akan didiamkan dengan karya. Kehadiran Gibran karena itu menjadi sangat penting yang bisa membawa keseimbangan saat debat (kalau benar-benar dilakukan).
Di atas semuanya, debat bersama musyawarah, demikian Jesse Jackson, adalah cara kita menggerakan jiwa demokrasi. “𝑫𝒆𝒍𝒊𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝒂𝒏𝒅 𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕𝒆 𝒊𝒔 𝒕𝒉𝒆 𝒘𝒂𝒚 𝒚𝒐𝒖 𝒔𝒕𝒊𝒓 𝒕𝒉𝒆 𝒔𝒐𝒖𝒍 𝒐𝒇 𝒐𝒖𝒓 𝒅𝒆𝒎𝒐𝒄𝒓𝒂𝒄𝒚.” 𝑨𝒓𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂, 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒔𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒏𝒂𝒍 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒎𝒖𝒔𝒚𝒂𝒘𝒂𝒓𝒂𝒉 𝒎𝒖𝒇𝒂𝒌𝒂𝒕 sangat disanjung di dunia internasional. Tetapi musyawarah itu akan menjadi lebih lengkap dan kuat kalau didukung oleh debat. Karena itu debat bukan tambahan yang mudah dihilangkan demi pertimbangan yang banyak diduga-duga. Ia perlu dilaksanakan demi menggerakan jiwa demokrasi.
𝑱𝒂𝒅𝒊, 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒄𝒂 𝒂𝒓𝒕𝒊𝒌𝒆𝒍 𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝑫𝒆𝒃𝒂𝒕 𝑪𝒂𝒘𝒂𝒑𝒓𝒆𝒔 𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝑷𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕a𝒌𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂? ***