Aksinews.id/Jakarta – Hasil survei Populi Center yang menempatkan elektabilitas pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka di posisi puncak dengan margin yang sangat lebar dengan dua paket lainnya, Ganjar Prabono – Mahfud MD dan Anies Rasyid Baswedan – Muhaimmin Iskandar (AMIN), dinilai tak wajar. Bahkan, Timses AMIN hasil survei itu tak lebih dari upaya menggiring opini publik.
Menurut Populi Center, elektabilitas Prabowo-Gibran mencapai 43,1%. Sedangkan, Ganjar-Mahfud hanya 23,0%, dan posisi buncit AMIN dengan 22%.
Juru bicara bakal paket AMIN, Andi Sinulingga, menilai hasil survei itu tak wajar. Selain itu, dalam survei Populi juga memaparkan apa saja alasan elektabilitas ketiga paslon naik atau turun. Misalnya saja alasan elektabilitas AMIN sedikit naik dari rata-rata survei sebelumnya adalah karena dukungan parpol yang solid dan peningkatan suara signifikan di Sumatera.
“Saya meragukan hasil survei ini. Kenapa? Sebagai tim pemenangan, maka siapa pun tim pemenangan tidak akan mungkin membongkar data peta yang menyangkut wilayah pertempuran, itu enggak mungkin itu, tidak akan mungkin, pasti mereka akan keep, simpan,” ucap Andi dalam rilis survei tersebut, Kamis (9/11/2023).
Ia menjelaskan, membongkar peta wilayah pertempuran sama saja membantu lawan mengantisipasi serangan. Secara strategis, kata Andi, mengumumkan strategi dan peta wilayah pemanangan dalam survei tidak strategis.
“Pertanyaannya muncul, kenapa diumumkan? Berarti ada sesuatu di luar strategi kemenangan di ujung, jadi ada sesuatu yang ingin dicapai mulai hari ini ke sana. Apa yang ingin dicapai? Persepsi publik,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, menilai hasil survei yang dikeluarkan oleh Populi terlalu berbeda dari survei lembaga-lembaga lain beberapa waktu terakhir. Padahal menurutnya, jika waktu pengambilan sampelnya berdekatan, seharusnya hasilnya tak terlalu jauh berbeda.
Ia juga menyoroti soal hasil survei yang ia nilai terkesan seperti melegitimasi pilpres satu putaran. Selain itu, menurutnya, ada banyak pertanyaan yang tak dipaparkan dan hasil survei cenderung mengglorifikasi salah satu bakal cawapres, Gibran Rakabuming Raka.
“Padahal kita tahu hari-hari ini, baru kemarin MK kasusnya diramaikan di publik. Semua publik tahu, dan seolah-olah survei ini akan mengatakan itu enggak apa-apa. Hasil survei ini seolah-olah menafikan sesuatu yang terjadi real di masyarakat. Atau ini untuk melegitimasi sesuatu yang mungkin akan dianggap publik tidak fair?” tanya Eko.
Terkait hasil survei ini, Wakil Komandan Pemilih Muda Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Rahayu Saraswati, menyebut sebagai generasi milenial ia sudah terbiasa dengan survei yang begitu banyak dan beragam. Menurutnya, perbedaan hasil dalam sebuah survei adalah hal yang biasa karena sampel survei biasanya hanya ribuan sedangkan pemilih aktual ada ratusan juta.
“Jadi mungkin bukan sebagai pegangan, tapi gambaran. Untuk apa? Kita fair saja, kalau misalkan hasilnya kurang bagus, ya gambaran untuk oh kita harus kerja lebih giat lagi,” kata Rahayu.
Ia juga menilai, justru, saat ini dibutuhkan lebih banyak lagi survei yang beragam. Sebab satu survei saja tak akan bisa memberikan gambaran tentang kondisi seluruhnya.
“Ada yang bagus itu jadi gambaran yang alhamdulillah tapi jangan sampai kita terlalu jumawa, karena kalau hasilnya terlalu bagus ya udah pasti kita yang akan jadi target utama serangan, dan pasti ada pihak lain yang berupaya lebih kencang lagi untuk menyerangnya,” tegasnya.
Menanggapi masukan-masukan dari ketiga pihak itu, Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, menjelaskan mengapa hasil survei bisa berbeda-beda meski sampel yang diambil sama. Meski demikian, ia sepakat jika ada survei yang hasilnya terlalu berbeda, bisa jadi ada yang salah dari survei tersebut.
“Kita lihat apakah Populi terlalu berbeda? Tentu tidak. Kalau kita bandingkan dengan survei-survei besar yang baru dirilis itu ya, entah itu LSI, SMRC, dan sebagainya itu, bahkan mereka memberikan skor yang lebih tinggi. Prabowo 45% dan sebagianya. Kita cuma 43%. Dan tidak jauh berbeda,” tegas Afri.
Ia lalu memberikan contoh, lembaga survei LSI menggunakan metode wawancara telepon dengan koresponden yang berasal dari kelompok informed citizen atau warga yang melek dengan isu terkini. Sedangkan yang digunakan oleh Populi adalah wawancara langsung dengan masyarakat yang tak terlalu terpengaruh dengan isu politik.
“Itu bahkan di kampung-kampung itu terkena bantuan pemerintah, jadi bisa jadi bagi mereka demokrasi itu adalah produk kenyang dan everything goes well,” jelasnya.
Ia juga buka suara soal hasil survei Populi yang menyebut mayoritas masyarakat tak masalah dengan putusan MK soal syarat capres-cawapres dan isu politik dinasti. Afri menilai, di berbagai daerah di Indonesia, isu politik dinasti memang hal yang biasa.
“Plus kalau kita perhatikan di berbagai daerah isu dinastik politik itu isu yang biasa, apa mereka kelaparan? Ya bisa ditanya ke daerah-daerah itu ya. Tapi paling tidak mereka sudah terbiasa dengan ini, kemudian kalau kita tanya, so what gitu lho,” ucap Afri, sebagaimana doilansir kumparan.com.
“Mungkin hal-hal seperti itu jangan-jangan mungkin beberapa isu yang biasa didiskusikan di kalangan menengah atas itu jangan-jangan tidak sampai di bawah, yang sampai di bawah itu ya sesuatu yang kehidupan sehari-hari itu ya,” pungkasnya. (*/AN-01)