Aksinews.id/Jakarta – Para elit partai Gerindra pasang badan untuk ‘mengamankan’ pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Mereka menolak tudingan bahwa Koalisi Indonesia Maju mengusung paket capres-cawapres yang disebut sebagai wujud neo Orde Baru (Orba) yang bisa mengancam proses demokratisasi.
Tudingan itu datangnya dari PDI Perjuangan, yang menilai Gibran sebagai putra Presiden Joko Widodo dianggap melanggengkan dinasti politik di Indonesia. Maka dari itu, PDI-P memastikan bahwa pasangan calon yang mereka usung, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD akan terus memperkuat demokrasi.
Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat menilai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai cerminan dari “neo orde baru”. Djarot pun mengajak parpol koalisi pengusung Ganjar-Mahfud MD untuk bergerak menghadapi “neo orde baru” tersebut.
“Terus bergerak, Ganjar-Mahfud MD pastikan akan terus perkuat demokrasi. Bersama kita hadapi Prabowo-Gibran sebagai cerminan neo Orde Baru masa kini,” ungkap Djarot dilansir siaran pers PDI-P, Sabtu (4/11/2023).
“PDI Perjuangan mengajak seluruh parpol pengusung, relawan, dan simpatisan Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk bergerak semakin masif menggalang kekuatan rakyat bagi pemimpin visioner, berpengalaman, jujur dan mampu menciptakan terang keadilan bagi semua orang,” tegas dia.
Menurut Djarot, kemenangan dalam pemilihan presiden (pilpres) dimulai dari rakyat fokus bergerak di akar rumput. Sebab, rakyat semakin cerdas di dalam melihat rekayasa hukum yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi syarat batas usia capres dan cawapres., rakyat semakin cerdas di dalam melihat rekayasa hukum yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi syarat batas usia capres dan cawapres.
Selain itu, rakyat juga bereaksi keras atas mobilisasi aparat yang menurunkan bendera, baliho, dan berbagai atribut dukungan terhadap Ganjar-Mahfud MD.
“Spiritualitas bangsa Indonesia mengajarkan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang demi ambisi kekuasaan, dan cinta terhadap keponakan, lalu MK dikebiri, dan demokrasi pun mati,” tutur Djarot.
“Kini kekuatan moral lahir kembali. Inilah fondasi terpenting Ganjar-Mahfud MD, kokoh pada moral kebenaran dan berdedikasi total pada rakyat, bangsa, dan negara, bukan pada keluarga,” lanjut dia.
Dia menyebutkan, PDI-P percaya pada integritas Majelis Kehormatan MK untuk benar-benar obyektif dan mengedepankan sikap kenegarawanan.
“Kuatnya gerakan dari para budayawan, cendekiawan, kelompok pro demokrasi, para ahli hukum tata negara hingga pergerakan tokoh-tokoh berintegritas tinggi dari berbagai perguruan tinggi menjadi kekuatan moral yang sangat dahsyat di dalam meluruskan jalannya demokrasi,” tambah Djarot.
Menanggapi tudingan itu, Partai Gerindra selaku salah satu pihak yang mengusung pasangan Prabowo-Gibran membantah Prabowo-Gibran merupakan cerminan neo Orde Baru. Gerindra justru melihat pasangan Prabowo-Gibran sebagai new reformasi. Bahkan, Gerindra yakin Prabowo pasti hanya akan merespons dengan jogetan saja untuk membalas tudingan-tudingan seperti itu.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menampik anggapan Djarot. Menurutnya, Prabowo selalu mematuhi prinsip-prinsip demokrasi dalam langkah politiknya.
“Saya kira tuduhan itu kurang tepat ya. Apa yang terjadi di dalam proses selama ini juga dalam proses yang demokratis,” ucap Fadli di Monas, Jakarta, Minggu (5/11/2023).
Ia menyatakan, perjuangan Prabowo untuk menjadi presiden tak bisa dianggap melanggar prinsip demokrasi dan konstitusi. Pasalnya, Prabowo berproses cukup lama. Mulai dari awal membentuk Partai Gerindra itu sendiri.
“Jadi kita tidak ujuk-ujuk (tiba-tiba) langsung loncat atau lakukan tindakan-tindakan di luar konstitusi,” ucap dia.
Baginya, Prabowo-Gibran justru menggambarkan new reformasi. Meski begitu, Fadli tak menjelaskan dengan rinci apa yang disebutkannya itu. “Menurut saya, lebih tepat dikatakan new reformasi,” sebutnya.
Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, selalu ada kubu pasangan calon lain yang berkampanye secara negatif ketika mulai merasa tidak percaya diri saat berkontestasi di pemilu.
Habiburokhman mengaku tidak tahu apakah pernyataan Djarot itu mengarah ke konteks negatif atau positif. Sebab, menurut dia, di setiap masa, baik itu Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi selalu ada sisi positifnya.
“Saya enggak tahu ya apa yang dimaksud neo orde baru apakah dalam konteks positif atau negatif. Kalau dalam konteks positif ya mungkin saja, di Orde Baru ada hal-hal positif, begitu juga di Orde Lama, begitu juga di Orde Reformasi,” ujar Habiburokhman saat ditemui di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (5/11/2023), sebagaimana dilansir kompas.com.
Habiburokhman menegaskan, ketika ada pasangan calon yang mulai merasa tidak percaya diri, mereka akan memainkan kampanye negatif. Misalnya, seperti tidak percaya dengan nilai jualnya sendiri hingga apakah visi misi yang digaungkan bisa mengambil hati rakyat atau tidak.
“Pasangan calon dalam kontestasi apapun, ketika dia mulai melakukan kampanye negatif, menunjukkan dia tidak percaya diri untuk menunjukkan nilai jualnya, tidak percaya diri untuk menunjukkan dia punya visi misi program yang bisa memgambil hati rakyat,” tuturnya.
“Politik kami adalah politik merangkul, politik senyumin saja. Ya, silakan Mas Djarot bilang begitu, Pak Prabowo akan tersenyum saja. Kalau perlu Pak Prabowo akan jogetin saja,” sambung Habiburokhman. (*/AN-01)