Oleh Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Minggu, 4 April 2021 nanti, segenap umat kristiani di seluruh dunia merayakan paskah. Istilah ‘paskah’ berasal dari kata bahasa Ibrani Pesakh, yang arti harafiahnya adalah “lewat atau Tuhan lewat” (Kel. 12: 13b). Kitab Keluaran melukiskan: “Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN. Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada rumah-rumah di mana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku akan lewat dari pada kamu. Jadi tidak akan ada tulah kemusnahan di tengah-tengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir. Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya (Kel. 12:12-14).”
Dalam paskah Yahudi, bangsa Yahudi memperingati peristiwa Allah berjalan “melewati (=pesakh) rumah-rumah”, dan pada setiap pintu yang bertanda darah, Allah akan “melewatkannya”, tetapi tidak demikian pada rumah-rumah yang pintunya tidak bertandakan darah, di situ akan terjadi tulah kemusnahan. Makna di balik peristiwa ini adalah Tuhan hadir untuk membebaskan mereka dari penindasan.
Sementara bagi kalangan umat kristiani, hari paskah diperingati sebagai kenangan hari “kebangkitan” Yesus Kristus. Bahwa dengan kematian-Nya di kayu salib, Yesus Sang Mesias, telah “melewati” kutuk dosa, yaitu kematian kekal yang seharusnya dijalani oleh setiap manusia berdosa. Dalam konteks ini, hari paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus, tulis Romo Franz Magnis Suseno.
Di salib, Yesus memaafkan mereka yang membawanya ke tempat itu. “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Lukas 23:34).” Kemenangan Yesus bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya pun dirangkulNya.
Karena itu dapatlah dikatakan kemenangan paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Dalam kemenangan paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul dan dicintai.
Hemat saya, seluruh peristiwa dan karya Yesus semasa berkarya di Palestina dan yang berpuncak dalam peristiwa paskah adalah sebuah pemakluman atas kemenangan ini. Dasar yang tak terbantahkan di atas kisah kemenangan ini adalah cinta Allah. Allah sendiri diyakini umat kristiani sebagai cinta itu sendiri. Di hadapan Allah, segala-galanya dapat “menjadi baik” karena Allah adalah cinta kasih.
Sejatinya, paskah Tuhan mengajak segenap umat kristiani untuk memenangkan cinta atas kebencian, memenangkan kebaikan atas keburukan. Dan, sesungguhnya paskah mengajak mereka untuk ‘berbalik arah’: menepis kebencian, mengurai dendam, mencairkan kebekuan hati dengan menaburkan cinta dan kebaikan. Paskah menggugah umat kristiani untuk ‘berbalik arah’ dan bukannya ‘terus berlayar’ dalam situasi-situasi yang tak mengenakan. Jika yang dipilih adalah aksi ‘berbalik arah’ maka sesungguhnya di sisi inilah, Allah yang adalah cinta sungguh hadir dan bersemi dalam seluruh sisi kehidupan umat kristiani. Nuansa paskah yang demikian menyumbang bagi kekayaan nilai-nilai pluralistik-multikultur. Syallom paskah 2021! (*)