Gampang Hala! Begitu tagline yang diusung Forum Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) Kabupaten Lembata untuk mengajak para tokoh adat, pemerintah desa dan tokoh perempuan di Kecamatan Ile Ape, duduk bersama dan berdialog (tobo baung) dan bicara tentang perempuan dan anak. Tobo Baung soal ini–perempuan dan anak–dalam pandangan budaya setempat, bukan hal mudah. Gampang hala! Meski tak berari tidak bisa. Sebab perempuan dan anak memang seharusnya dilindungi. Bukan jadi korban terus menerus. Hari demi hari, waktu demi waktu, kita selalu diperhadapkan dengan kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi di Kabupaten Lembata. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Kabupaten Lembata pun digandeng Forum Puspa. Ide dan rencana kegiatan boleh saja datang dari Puspa tetapi anggaran kegiatan, toh tetap ‘turun’ dari Dinas P2PA.

Kamis (6/11) di gedung serba guna yang terbuka, terletak di Pantai Epo (Ekowisata Pantai Ohe) Kolontobo di Kecamatan Ile Ape, Tobo Baung berlangsung lepas bebas. Tokoh adat, pemerintah desa dan tokoh perempuan bicara lepas tentang hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Menjalaninya bertahun lamanya sejak lahir. Bagaimana perlindungan terhadap perempuan dan anak itu ada dalam budaya masyarakat Ile Ape.
Mulanya para tokoh adat, pemerintah desa dan tokoh perempuan diberi gambaran tentang tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Lembata. Sekteraris Dinas P2PA, Natalisia Buyanaya memaparkan di Kabupaten Lembata tahun 2023, terjadi 101 kekerasan, tahun 2024 sebanyak 63 dan data terakhir hingga Juni 2025 terdapat 36 kasus. Moderator, Linus Beseng lalu membuka diskusi dengan beberapa pertanyaan tentang pandangan masyarakat terhadap perempuan dan anak dalam budaya. Peserta dibagi dalam tiga kelompok: Lewuhala, Lewotolok dan Lewulun).
Dalam sapaan adat, seperti kata Achan Raring yang memantik diskusi di kelompok Lewuhala, sapaan dimulai dengan Ina Ama. Ina (perempuan) disebut pertama. Bukan Ama (laki-laki) “Perempuan itu sangat dihormati dalam adat. Karena dari merekalah, lahir anak-anak suku,” ujar seorang tokoh adat yang diamini tokoh adat lainnya.
Mereka diminta menggambarkan bagaimana perempuan dan anak dilindungi dalam setiap siklus kehidupan. Sebelum menikah seorang anak gadis didoakan secara adat yang disebut Ame Grame. Pada saat menikah, ada ritual Keru Baki—melepas anak ke keluarga baru dengan doa-doa mohon berkat dalam bahasa adat. Setelah menikah dan hamil, ada ritual Soro Laku yang dilangsungkan di kampung lama. Seekor kambing dipotong dalam ritual untuk menyampaikan kepada leluhur bahwa seorang anak sedang dalam kandungan ibunya dan mohon perlindungan selama kehamilan hingga melahirkan,
Saat anak dilahirkan, seorang ibu diperlakukan Istimewa dengan memberinya bubur yang dimasak khusus oleh saudari perempuan dari suami. Ritual ini disebut Pata Lala. Beberapa ritual khusus sebagai bentuk penghormatan dan penghormatan terhadap perempuan pada saat pesta kacang adalah Herru Dullah, Pata Hella, Reka Belau (wungu blemer), Ina Ratan (wungu belen). “Bahkan bentuk penghargaan dan perlindungan itu hingga saat meninggal, harus saudara laki-laki yang menguburkan,” ujar seorang tokoh adat

“Jadi sebetulnya penghargaan terhadap perempuan di Ile Ape itu sangat tinggi. Ada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara setara. Ada kesetaraan gender dalam adat dan budaya, “ ujar Kepala Dinas P2PA, Maria Anastasia Bara Baje, S.STP.,M.Si. Semua nilai baik ini, kata Anastasia, harus terus dihidupkan agar generasi ke depan tidak saja berkarakter tetapi berbudaya. “Kalau tidak ditulis, nilaii-nilai itu akan selesai di jaman kita. Anak-anak tidak tahu lagi. Kita perlu seminar adat supaya anak-anak tahu bagaimana berjalan dalam tata cara yang benar. Anak-anak harus belajar berbicara sopan, hormat pada yang lebih tua, seperti yang diajarkan leluhur,” ungkapnya.
Kepala Desa Kolontobo, Lambertus Nuho Benimaking, mengatakan adat mengajarkan perempuan dan anak harus dihormati. Ada batas-batas moral dan kesetiaan yang harus dijaga. “Banyak bahasa adat seperti prosa, puisi yang ke depan kalau bisa dilombakan. Lomba Koda Kirin. Dengan begitu generasi ke depan juga tahu. Kalau bisa ini menjadi mulok yang diajarkan di sekolah-sekolah,” ujarnya
Camat Ile Ape, Lorens Manuk, ketika membuka kegiatan mengatakan kasus kekerasan perempuan dan anak di wilayah Ile Ape masih sangat tinggi dan cukup berat. Semoga Tobo Baung melahirkan sesuatu untuk bisa menjadi langkah pencegahan.
Ketua Forum Puspa Kabupaten Lembata memastikan, Tobo Baung akan dirumuskan dalam bentuk catatan dialog budaya yang akan di sampaikan ke masing-masing desa. Hal positif ini semoga bisa dilakukan di wilayah lainnya di Lembata.
Ketika budaya kita ternyata sangat menghormati perempuan, mengapa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terus terjadi? Pertanyaan ini harus menggugah setiap hati. Gampang hala! Mari terus bergerak untuk perempuan dan anak. (fince Bataona)

























