Oleh: Anselmus DW Atasoge
STIPAR Ende
Jumat, 17 Oktober 2025, Gereja mengenang St. Ignasius dari Antiokhia. Ia adalah seorang uskup dan martir. Ia menyerahkan hidupnya demi iman dan kebenaran. Bacaan hari ini diambil dari Roma 4:1-8 dan Lukas 12:1-7. Bacaan ini mengajak kita merenungkan martabat manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan tangan-Nya sendiri. Ia menghembuskan nafas kehidupan ke dalam diri manusia. Bahkan burung pipit tidak dilupakan oleh Allah. Apalagi manusia yang jauh lebih mulia. Namun, kita patut bertanya: apakah kita sungguh memperlakukan sesama sebagai ciptaan yang berharga?
Pertanyaan ini terasa pedih saat kita menyaksikan kekerasan di lapangan sepak bola. Seorang wasit dipukul dalam pertandingan Liga 1 Flores Timur. Peristiwa ini terjadi di Lapangan Apebuan, Adonara. Wasit adalah pengadil yang harus dihormati. Namun ia justru menjadi korban. Kekerasan ini dilakukan oleh mereka yang gagal mengendalikan emosi. Mereka tidak mampu menerima kenyataan. Di mana penghargaan terhadap martabat manusia? Di mana nilai sportivitas yang seharusnya menjadi jiwa kompetisi?
Yesus dalam Injil hari ini memberi peringatan. Ia meminta kita waspada terhadap kemunafikan. Tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Semua akan terungkap. Kemunafikan adalah ragi yang bekerja diam-diam. Ia merusak kejujuran dan integritas.
Dalam konteks pertandingan sepak bola, kemunafikan bisa muncul dalam bentuk manipulasi emosi. Ia bisa hadir dalam pencitraan sportif yang palsu. Ia juga bisa tampak dalam pembiaran terhadap kekerasan atas nama fanatisme.
Kita tidak boleh melihat pemukulan wasit sebagai insiden biasa. Kita harus bertanya lebih dalam. Apakah sistem kompetisi kita sudah mendidik nilai kejujuran? Apakah para pemain, pelatih, dan penonton sungguh memahami bahwa setiap orang di lapangan adalah pribadi yang berharga di mata Tuhan?
St. Ignasius dari Antiokhia hidup dalam kejujuran. Ia tidak menyembunyikan keyakinannya. Ia tidak menipu diri sendiri. Ia hidup selaras antara kata dan tindakan. Kita pun dipanggil untuk meneladaninya. Bukan hanya di ruang ibadah. Tapi juga di lapangan sepak bola. Di ruang publik. Dan dalam kehidupan sosial-politik kita.
Liga 1 Flores Timur harus menjadi ruang pembelajaran etika. Ia harus menjadi tempat pembentukan karakter. Bukan sekadar ajang adu fisik dan skor. Kita perlu mendidik generasi muda untuk hidup jujur dan sportif. Kita harus menanamkan penghargaan terhadap martabat sesama. Karena di mata Tuhan, setiap manusia berharga. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang mengaku beriman, tapi gagal melihat sesama sebagai ciptaan yang amat baik.(*)

























