Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Komunitas Teater Atma Reksa Ende
Festival Seni Pertunjukan Siswa Flores Timur 2025 dibuka meriah di Taman Kota Felix Fernandez (Rabu, 17/09/2025). Festival semacam ini merupakan sebuah perayaan budaya serentak mencerminkan dinamika pendidikan sosial yang hidup, reflektif, dan transformatif. Dengan tema “Remaja Membaca Dirinya”, festival ini mengangkat seni sebagai medium pedagogis yang memungkinkan siswa menafsirkan realitas sosial mereka secara kritis dan kreatif. Inilah titik ‘lebih’ dan ‘penting’ dari pagelaran-pagelaran semacam ini.
Dalam perspektif sosiologi pendidikan, seni pertunjukan bukan hanya ekspresi estetika, melainkan juga ruang pembelajaran sosial. Paulo Freire menyebut pendidikan sebagai proses “pembebasan”. Peserta didik diajak untuk memahami dan mengubah dunia mereka. Dalam konteks momen di Taman Kota ini, festival ini menjadi arena dialog antara siswa dan masyarakat, tempat mereka menyuarakan keresahan, harapan, dan identitas melalui musik, tari, dan teater.
Tema festival pun punya ‘keindahan’ tersendiri. Tema itu mengajak remaja untuk “membaca dirinya”. Bagi saya, aktivitas yang saya golongkan sebagai tindakan eksistensial manusia sebagai makluk rasional ini merupakan sebuah proses reflektif yang sangat penting dalam pembentukan identitas sosial. Dalam konteks Flores Timur, di mana tradisi dan modernitas sering bersinggungan, seni pertunjukan menjadi jembatan yang memungkinkan remaja mengolah pengalaman lokal dan global secara simultan.
Sosiologi pendidikan melihat ini sebagai proses enkulturasi dan sosialisasi yang dinamis. Di titik ini, semua remaja tidak hanya mewarisi budaya, tetapi juga merekonstruksi makna-makna baru yang relevan dengan zaman mereka.
Bagi saya, festival ini juga menunjukkan bagaimana pendidikan bisa bersifat inklusif dan partisipatif. Keterlibatan berbagai sekolah, guru, pemerintah daerah, ASN, kelompok-kelompok seni dan masyarakat menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di ruang publik. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa Taman Kota Felix Fernandez menjadi “kelas terbuka” tempat nilai-nilai kebersamaan, keterbukaan, solidaritas, kerja sama, dan kreativitas dipraktikkan secara nyata. Dan, inilah contoh konkret dari pendidikan sebagai proses sosial yang melibatkan interaksi, institusi, dan nilai-nilai kolektif.
Festival baru ‘dibuka’. Namun, Festival Seni Pertunjukan Siswa Flores Timur 2025 akan menjadi sebuah bukti bahwa seni dapat menjadi cermin dan jalan bagi pendidikan yang lebih humanis dan kontekstual. Ia mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tetapi juga soal keberanian untuk mendengar suara siswa, memberi ruang bagi ekspresi mereka, dan membangun masa depan bersama melalui budaya.
Jika pendidikan ingin relevan dengan zaman, maka ia harus berani membuka diri terhadap bentuk-bentuk pembelajaran alternatif seperti festival ini. Melalui dan di dalamnya, siswa tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga belajar menjadi bagian dari perubahan dunia itu sendiri.
Seniman Indonesia, Dhimas Tirta Franata, pernah menulis (yang dipublikasikan di Kompasiana pada tanggal 26 Maret 2025): “Seni bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang membangun pemahaman dan kreativitas. Melalui seni, siswa bisa mengembangkan keterampilan berpikir kritis, empati, dan kreativitas yang sangat dibutuhkan dalam pendidikan modern”.
Pikiran Franata sejalan dengan pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics), yang menempatkan seni sebagai elemen penting dalam pembelajaran abad ke-21. Festival seni pertunjukan seperti yang digelar di Flores Timur bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga laboratorium sosial tempat siswa belajar menjadi subjek perubahan. Bukan sekadar objek pendidikan. (*)