Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Litbang Kompas melakukan jajak pendapat pada 8–12 September 2025, tak lama setelah gelombang demonstrasi yang berujung kerusuhan. Survei ini bertujuan menangkap suasana batin masyarakat pascaaksi, termasuk respons terhadap dinamika politik yang memanas. Salah satu temuan pentingnya adalah meningkatnya keberanian publik untuk mengkritik pemerintah.
Gelombang demonstrasi yang berujung rusuh bukan hanya meninggalkan jejak luka sosial, tetapi juga membuka ruang baru dalam lanskap kesadaran publik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa 49 persen responden merasa berani atau semakin berani mengkritik pemerintah. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin dari dinamika demokrasi yang sedang diuji.
Apa yang mendorong keberanian ini? Jawabannya tidak sesederhana kemarahan atau ketidakpuasan. Keberanian publik lahir dari akumulasi pengalaman kolektif: keterbukaan informasi, meningkatnya literasi digital, dan kekecewaan terhadap respons negara yang dianggap tidak cukup mendengar suara rakyat. Demonstrasi yang awalnya menjadi saluran aspirasi berubah menjadi titik balik kesadaran: bahwa diam bukan lagi pilihan.
Sementara itu, polarisasi yang terjadi pascademo bukan hanya antara pendukung dan penentang kebijakan, tetapi juga antara mereka yang percaya pada dialog dan mereka yang memilih konfrontasi. Di tengah ketegangan ini, keberanian untuk bersuara menjadi bentuk perlawanan terhadap apatisme. Masyarakat mulai menyadari bahwa kritik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari kontrol sosial yang sehat.
Namun, keberanian ini harus diarahkan. Tanpa kanal yang konstruktif, keberanian bisa berubah menjadi destruksi. Pemerintah perlu membaca sinyal ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai undangan untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Media, akademisi, dan tokoh masyarakat harus menjadi jembatan, bukan sekadar penonton.
Demokrasi sejati tidak dibangun di atas keseragaman pikiran, melainkan dari keberanian untuk berbeda dan berdialog secara terbuka. Ketika 49 persen masyarakat menyatakan keberanian mereka untuk mengkritik pemerintah, itu bukan gejala disintegrasi, melainkan tanda bahwa ruang publik mulai hidup kembali. Keberanian ini adalah energi sosial yang menandakan bahwa rakyat tidak lagi sekadar objek kebijakan, tetapi subjek yang aktif dalam proses bernegara. Seperti yang ditegaskan oleh Latipah Nasution dari UIN Syarif Hidayatullah, “Kebebasan berpendapat adalah hak konstitusional yang dijamin negara, dan teknologi informasi telah menjadi wadah baru bagi rakyat untuk menyuarakan pikirannya”.
Fenomena ini membuka peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk melampaui sekadar pertumbuhan ekonomi. Ketika keberanian bersuara tumbuh, maka kontrol sosial terhadap kekuasaan menjadi lebih sehat dan dinamis. Sinta Amelia Febrianasari dari Universitas Sebelas Maret menulis bahwa “jika rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka pembatasan terhadap aspirasi mereka mencederai makna kedaulatan itu sendiri”. Di titik ini, keberanian publik bukan ancaman bagi stabilitas, melainkan fondasi bagi kematangan politik dan sosial yang lebih kokoh.
Dalam konteks ini, negara dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga agar keberanian itu tidak berubah menjadi polarisasi destruktif. Dialog harus difasilitasi, bukan dibungkam. Ketika ruang kritik dibuka dan dihargai, maka bangsa ini tidak hanya akan kuat secara ekonomi, tetapi juga dewasa dalam menyikapi perbedaan. Demokrasi yang matang bukanlah demokrasi yang sunyi, melainkan yang riuh oleh suara rakyat yang berani, kritis, dan peduli. (*)