
Oleh: Anselmus DW Atasoge
Stipar Ende
Di tengah semarak perayaan Berlian ke-75 Seminari Menengah San Dominggo (SESADO), sebuah ruang reflektif terbuka lebar di Multieven Hall Sarotari, Larantuka. Rabu pagi hingga siang, 13 Agustus 2025, lebih dari 600 peserta dari berbagai latar belakang (imam, pendidik, pejabat publik, orang tua, dan komunitas Gereja) berkumpul dalam seminar bertema ‘Mendidik Calon Imam Selaras Zaman’. Di balik suasana khidmat dan hangat, terselip satu pertanyaan mendasar: bagaimana membentuk calon imam yang mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya?
“Pendidikan adalah tindakan cinta yang paling radikal,” tegas St. Yohanes Paulus II, “karena ia membentuk manusia untuk menjadi dirinya yang utuh.” Dalam terang kutipan ini, pendidikan calon imam tidak dapat dipahami semata sebagai proses akademik atau penguasaan teologi, melainkan sebagai perjalanan formasi yang menyentuh inti kemanusiaan: pembentukan karakter, kepekaan sosial, dan kedalaman spiritual. Di sinilah cinta menjadi nyata bukan dalam kata-kata, tetapi dalam kesediaan mendampingi jiwa muda agar tumbuh menjadi pemimpin rohani yang mampu merangkul dunia dengan kebijaksanaan, keberanian, dan belas kasih.
Dengan sejarah 75 tahun, Seminari San Dominggo telah menjadi tempat formasi yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum dan keagamaan, tetapi juga membentuk pribadi yang tangguh, reflektif, dan siap melayani. Seminar ini menjadi panggung untuk menyelaraskan pendekatan pendidikan dengan realitas zaman: digitalisasi, krisis ekologi, pluralisme, dan dinamika sosial-politik.

Dalam sesi pertama seminar, Romo Nikasius Jatmiko, Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI, membuka refleksi dengan penegasan yang menggugah. Bahwasanya, calon imam masa kini harus mampu membaca tanda-tanda zaman, bukan sekadar mengulang tradisi, tetapi menghidupkannya dalam konteks baru. Pernyataan ini menyoroti urgensi pembaruan dalam metode formasi imam, yang tidak lagi cukup hanya berakar pada rutinitas dan pola lama. Di tengah arus digitalisasi, pluralisme, dan krisis identitas global, calon imam dituntut untuk menjadi pribadi yang tidak hanya memahami ajaran Gereja, tetapi juga mampu menerjemahkannya secara relevan dalam kehidupan umat.
Prof. Dr. Ignatius Ismartono SJ, pakar formasi rohani dan mantan direktur program formasi di berbagai lembaga Jesuit, pernah menyatakan bahwa “formasi imam harus menjadi proses inkulturasi spiritual, di mana tradisi Gereja bertemu dengan realitas hidup umat secara kreatif dan penuh kasih.” Karenanya, pembaruan bukanlah ancaman terhadap tradisi, melainkan cara untuk menghidupkannya kembali dengan semangat zaman.
Sesi kedua menghadirkan Romo Fransiskus Homenara Kabelen yang menegaskan bahwa Hukum Kanonik bukanlah batas, melainkan bingkai yang menjaga integritas formasi. Dalam pandangan beliau, pendidikan seminari harus tetap berpijak pada nilai-nilai Gereja yang kokoh, namun juga terbuka terhadap dinamika sosial yang terus berubah. Pernyataan ini mengajak kita untuk melihat hukum Gereja bukan sebagai pagar pembatas, tetapi sebagai struktur yang memungkinkan pertumbuhan yang sehat dan bertanggung jawab.
Dr. Maria Ulfah Santoso, ahli hukum Gereja dan dosen di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, menambahkan dalam diskusi terpisah bahwa hukum kanon adalah seperti rangka tubuh manusia. Ia tidak membatasi gerak, tetapi menopang agar gerak itu tetap bermartabat. Dalam konteks pendidikan calon imam, hukum Gereja menjadi penuntun agar formasi tidak kehilangan arah, namun tetap fleksibel dalam menjawab kebutuhan pastoral dan sosial umat.
Sesi ketiga ditutup dengan refleksi mendalam dari Romo Gabriel Unto da Silva, Vikaris Jenderal Keuskupan Larantuka, yang menyampaikan harapan agar seminari menjadi ‘taman pertumbuhan rohani yang tidak hanya menghasilkan imam, tetapi juga pemimpin moral yang mampu berdialog dengan dunia. Harapan ini menggambarkan visi pendidikan Katolik yang menekankan formasi utuh: intelektual, spiritual, emosional, dan sosial.
Di titik ini, seminari harus menjadi ruang dialektika antara iman dan dunia, tempat di mana calon imam belajar untuk mencintai Tuhan dengan akal, hati, dan tindakan. Boleh dikatakan bahwa pendidikan imam yang utuh bukan hanya membentuk pemimpin Gereja, tetapi juga pemimpin kemanusiaan yang mampu berdiri di tengah umat dengan kepekaan, keberanian, dan kasih yang mendalam.
Pakar pendidikan Katolik, Prof. Dr. Paulinus Yanwar Pr, dalam wawancara terpisah, menambahkan bahwa “Formasi calon imam harus menjadi proses pembebasan, bukan sekadar pembentukan. Ia harus membebaskan dari ketakutan terhadap perubahan, dan membentuk keberanian untuk melayani dalam keragaman.” Pendapat ini memperkuat semangat pembaruan yang digaungkan dalam seminar.

Pesta Berlian SESADO bukan sekadar perayaan nostalgia, tetapi panggilan untuk memperkuat peran seminari dalam membentuk generasi penerus yang berintegritas. Pendidikan yang selaras zaman adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan tanpa kehilangan akar spiritualnya. Paus Fransiskus pernah berkata, “Imam masa kini harus menjadi gembala yang berbau domba, yang hidup di tengah umat dan memahami luka-luka zaman.” Karenanya, pendidikan calon imam harus terus diperbarui agar tetap relevan, kontekstual, dan transformatif.
Salah satu hasil penting dari seminar ini adalah pembentukan Forum Akademi SESADO yang diperluas. Forum ini diharapkan menjadi wadah kolaboratif antara komunitas seminari, pemerintah, keluarga, dan masyarakat dalam mendukung panggilan imamat. Dengan melibatkan 600 peserta dari berbagai latar belakang, seminar ini menunjukkan bahwa pendidikan calon imam adalah tanggung jawab bersama.
Seminar ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan pembaruan pendidikan rohani. SESADO telah menyalakan obor refleksi yang akan terus menyala dalam perjalanan Gereja dan masyarakat. Sudah saatnya kita semua, sebagai bagian dari komunitas iman dan bangsa, turut serta dalam membentuk pendidikan yang membebaskan, membangun, dan melayani.***