
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Kehadiran Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, dalam Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo bukan sekadar kunjungan simbolik. Ia adalah isyarat politik yang sarat makna, sekaligus cermin dari dinamika relasi antara figur publik dan partai politik di era pasca-kepemimpinan. Ketika para kader menyambut Jokowi dengan yel-yel “Ayo Jokowi masuk PSI” dan “Jokowi siapa yang punya”, publik menyaksikan bagaimana sosok Jokowi tetap menjadi magnet elektoral yang kuat, bahkan setelah tak lagi menjabat sebagai presiden.
Fenomena ini menunjukkan bahwa PSI tengah membangun identitas politiknya dengan menjadikan Jokowi sebagai poros inspiratif. Logo baru bergambar gajah yang dipuji Jokowi sebagai “keren banget”, serta pemilihan Kaesang Pangarep sebagai ketua umum, memperkuat kesan bahwa PSI sedang merajut narasi politik yang dekat dengan keluarga Solo. Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai strategi elektoral yang cerdas—mengasosiasikan partai dengan figur yang memiliki daya tarik luas. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan kritis: apakah PSI sedang membangun pelembagaan partai yang kuat, atau justru menggantungkan eksistensinya pada kultus figur?
Dalam konteks demokrasi yang sehat, partai politik idealnya tumbuh dari gagasan, program, dan kerja kolektif, bukan semata dari bayang-bayang tokoh. Kehadiran Jokowi di Kongres PSI bisa menjadi peluang emas untuk mentransformasi pengaruh personal menjadi inspirasi kelembagaan. Namun jika tidak dikelola dengan bijak, ia juga bisa menjadi jebakan yang membuat partai kehilangan arah ketika figur tersebut tak lagi relevan. Maka, fenomena Jokowi di Kongres PSI bukan hanya soal dukungan, tetapi juga tentang bagaimana partai muda ini memilih jalannya: membangun dari figur, atau membangun dari fondasi.
Dari perspektif sosiologi politik, kehadiran Joko Widodo dalam Kongres PSI bukan sekadar manifestasi dukungan personal, tetapi menyiratkan proses simbolisasi kekuasaan dan pembentukan identitas kolektif yang kompleks. Sosok Jokowi—meski secara formal tak lagi menduduki jabatan presiden—masih berperan sebagai figur sentral dalam imajinasi politik masyarakat. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat modern tak hanya bersifat struktural, tetapi juga bersifat kultural dan simbolik. PSI, sebagai partai muda, tampak sedang memanfaatkan simbol Jokowi sebagai “modal sosial” untuk membangun legitimasi elektoral dan memperluas resonansi politiknya.
Namun pendekatan ini menyisakan pertanyaan mendalam tentang pelembagaan partai politik itu sendiri. Dalam teori institusionalisme sosiologis, organisasi yang dibentuk atas dasar figur personal kerap kali rentan terhadap krisis identitas ketika figur tersebut tidak lagi relevan atau memiliki pengaruh. Dalam kasus PSI, relasi antara partai dan keluarga Jokowi (terutama melalui Kaesang Pangarep) menunjukkan kecenderungan bahwa partai belum sepenuhnya membangun basis ideologis dan organisatoris yang mandiri. Jika pelembagaan partai tidak tumbuh dari program dan struktur yang kokoh, maka partai akan kehilangan kapasitas untuk merepresentasikan kepentingan publik secara konsisten, apalagi dalam jangka panjang.
Sekedar contoh. Partai Demokrat lahir dari semangat dan magnet politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berhasil membawa partai ini ke puncak kekuasaan berkat pesona elektoral dan citra kepemimpinannya. Namun, ketika masa jabatan SBY berakhir, bayangan besar sang pendiri ternyata meninggalkan ruang kosong dalam pelembagaan partai. Upaya regenerasi melalui putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menunjukkan bahwa popularitas figur tidak selalu diturunkan begitu saja, dan bahwa partai yang dibangun di atas karisma personal rentan tergerus saat figur tersebut tak lagi menjadi pusat panggung. Ini adalah pelajaran penting bagi masa depan demokrasi: bahwa kekuatan partai seharusnya bertumpu pada ide dan struktur, bukan semata bayang tokoh.
Contoh lain. Partai Kongres di India, yang dulu sangat kuat di bawah kepemimpinan keluarga Nehru-Gandhi, mengalami penurunan elektoral signifikan setelah figur-figur sentral seperti Sonia Gandhi dan Rahul Gandhi kehilangan daya tarik publik. Ketergantungan pada dinasti politik membuat partai sulit beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik. Demikian pula, Partai Thaksin di Thailand (Thai Rak Thai dan kemudian Pheu Thai) menunjukkan bagaimana partai yang dibangun di atas figur kuat bisa menjadi rentan terhadap kudeta dan pembubaran ketika figur tersebut dianggap mengancam status quo. Meskipun memiliki basis massa, pelembagaan partai tetap lemah karena terlalu terpusat pada satu keluarga
Ketika partai politik dibangun di atas figur personal tanpa pelembagaan ideologis dan struktural yang kuat, ia cenderung mengalami krisis representasi dan keberlanjutan. Figur bisa menjadi katalis, tetapi bukan fondasi jangka panjang. Pelembagaan partai membutuhkan kerja kolektif, kaderisasi, dan struktur yang mampu bertahan melampaui pengaruh individu.
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini mengundang refleksi: apakah politik Indonesia masih terjebak dalam logika patronase dan personalisasi, atau sedang berupaya membangun politik yang berbasis gagasan dan kerja kolektif? Dari sudut pandang teori sosial Émile Durkheim, partai politik idealnya menjadi institusi moral yang membentuk kesadaran bersama dan solidaritas organik. Jika PSI mampu mentransformasi Jokowi dari figur magnetik menjadi nilai kolektif dan etos kerja politik yang inklusif, maka ia bisa menjadi contoh bagaimana simbol pribadi tidak hanya dimuliakan, tetapi juga diinstitusikan untuk membangun politik yang lebih berkeadaban. Namun jika tidak, maka pelembagaan partai tetap akan menjadi proses yang rapuh—bergantung pada karisma, bukan pada komitmen sosial. (*)