
Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende,
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1 Muharam bukan sekadar penanda tahun baru dalam kalender Hijriah. Ia adalah simbol hijrah, perjalanan spiritual dan sosial yang mengubah wajah sejarah umat Islam. Dalam konteks Indonesia yang plural, 1 Muharam 1447 H menjadi panggung reflektif untuk meninjau kembali relasi antarumat beragama. Bukan hanya soal toleransi, tetapi tentang membangun dialog yang sejati dan berkelanjutan.
Dari perspektif sosiologi agama, agama dipandang sebagai institusi sosial yang membentuk nilai, norma, dan perilaku kolektif. Agama bukan hanya urusan pribadi, melainkan kekuatan sosial yang dapat menyatukan atau memecah. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, dialog antaragama bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Ia menjadi jembatan untuk mengurai prasangka dan membangun kepercayaan lintas iman.
Seperti yang pernah ditegaskan oleh almarhum Gus Dur, “Agama bukanlah tembok pemisah, melainkan jendela untuk saling memahami.” Pandangan ini menegaskan pentingnya keterbukaan dalam keberagaman. Gus Dur tidak hanya berbicara, tetapi juga mempraktikkan dialog lintas iman dalam kehidupan dan kepemimpinannya.
1 Muharam mengingatkan kita pada Piagam Madinah, sebuah dokumen sosial-politik yang menegaskan koeksistensi damai antara umat Islam, Yahudi, dan komunitas lainnya. Dalam perspektif sosiologi agama, Piagam Madinah adalah bentuk kontrak sosial yang mengakui perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman. Ia menjadi model awal pluralisme yang inklusif.
Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam Dialog Lintas Agama 2025 menyatakan, “Kerukunan antarumat sudah kuat, kini saatnya kita meng-upgrade menjadi trilogi kerukunan antara Tuhan, manusia, dan alam”. Ini menunjukkan bahwa dialog antaragama harus berkembang menjadi dialog spiritual dan ekologis, menyentuh dimensi yang lebih luas dari sekadar hubungan antarindividu.
Tokoh Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti, juga menekankan bahwa “dialog antaragama bukan sekadar diskusi teologis, tetapi kerja sama sosial untuk kemanusiaan”. Perspektif ini memperluas makna dialog menjadi aksi nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sosiologi agama mengajarkan bahwa konflik antaragama seringkali bukan karena ajaran, melainkan karena ketimpangan sosial, politik identitas, dan miskomunikasi. Oleh karena itu, 1 Muharam bisa menjadi momentum hijrah sosial yakni berpindah dari eksklusivisme menuju inklusivitas, dari prasangka menuju pengertian.
Nurcholish Madjid, cendekiawan Muslim progresif, pernah berkata, “Pluralisme adalah sunnatullah.” Ia menolak pemaksaan keyakinan dan mendorong umat Islam untuk aktif dalam dialog lintas iman. Dalam konteks ini, toleransi bukan berarti menyeragamkan keyakinan, melainkan menghargai perbedaan sebagai bagian dari rencana ilahi.
Buya Hamka, di sisi lain, menegaskan bahwa toleransi memiliki batas, tetapi penghormatan terhadap sesama manusia adalah kewajiban. Ia menolak sinkretisme, namun tetap menjunjung tinggi etika pergaulan antarumat. Perbedaan pendekatan ini justru memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia dalam membangun harmoni sosial.
Kementerian Agama RI pun mengangkat tema “Damai Bersama Manusia dan Alam” dalam peringatan 1 Muharam 2025, dengan berbagai kegiatan lintas iman dan budaya. Ini menunjukkan komitmen negara dalam merawat harmoni sosial melalui pendekatan spiritual dan ekologis.
Namun, dialog tidak cukup hanya dengan seremoni. Ia harus menjadi budaya. Budaya mendengar, memahami, dan bekerja sama. Dalam praktiknya, dialog antaragama harus menyentuh akar rumput. Ia harus hadir di sekolah, pasar, tempat ibadah, dan media sosial. Bukan hanya milik para pemuka agama.
Hijrah Nabi bukan hanya perpindahan geografis, tetapi transformasi sosial. Dari masyarakat yang terpecah menuju komunitas yang saling menopang. Maka, 1 Muharam bukan hanya awal tahun, tetapi awal kesadaran baru. Kesadaran bahwa kita hidup bersama dalam satu ruang sosial yang harus dijaga bersama.
Di tahun baru Islam ini, marilah kita berhijrah bukan sekadar meninggalkan yang lama, tetapi meniti lorong sunyi menuju perjumpaan yang tulus; dari toleransi yang diam menuju percakapan yang penuh makna, dari kebersamaan yang berjauhan menuju pelukan harmoni sejati. Sebab dalam lantunan dialog yang jujur dan saling mendengar, kita menenun benang-benang perbedaan menjadi satu kain kebangsaan yang damai di bumi Nuasantara Indonesia yang bukan sekadar hidup berdampingan, melainkan bersama dalam kebersamaan yang saling merawat.(*)