
Anselmus Dore Woho Atasoge
Seksi Publikasi dan Dokumentasi Panitia Perpas XII)
Fenomena migrasi global saat ini tak ubahnya gelombang manusia terbesar sepanjang sejarah peradaban. Orang-orang bergerak menyeberangi samudera, menembus batas negara, bahkan meninggalkan tanah leluhur demi harapan hidup yang lebih baik. Namun, di balik langkah-langkah itu, tersembunyi kisah perjuangan manusia yang terpaksa meninggalkan rumah karena kemiskinan, konflik, atau impian yang terhimpit oleh kenyataan.
Dalam gerak migrasi ini, manusia tampil sebagai homo viator—makhluk peziarah yang berkelana mencari tempat aman dan layak bagi dirinya dan keluarganya. Sayangnya, jalan ke tanah harapan tidak selalu mulus. Di sana muncul wajah buram migrasi: perdagangan manusia, kekerasan, stunting, penyakit menular, hingga hilangnya kesempatan pendidikan dan martabat hidup.
Akar persoalan migrasi pun tidak sederhana. Kemiskinan sistemik, dampak perubahan iklim, dan migrasi ilegal turut memperkeruh persoalan. Migrasi menjadi arena tarik-menarik antara asa dan luka. Antara mimpi dan ketidakpastian.
Namun Gereja melihat lebih dalam. Bagi Gereja Katolik, migrasi bukan semata persoalan sosial. Ia adalah “tanda zaman”—cermin realitas dunia yang membutuhkan kehadiran kasih, solidaritas, dan refleksi spiritual yang mendalam. Migrasi menantang Gereja untuk tidak hanya menyapa, tetapi hadir dan berjalan bersama mereka yang terpinggirkan.
Dalam Alkitab, perjalanan umat Allah adalah kisah migrasi agung yang penuh iman. Gereja meyakini bahwa para migran adalah ikon masa kini dari “Gereja dalam perjalanan”—umat yang tidak hanya berjalan secara fisik, tetapi juga secara rohani menuju tanah air sejati. Dalam diri mereka, Allah ikut melangkah.
Kesadaran inilah yang terus dihidupi Gereja di Regio Nusa Tenggara. Sejak 1981, PERPAS Regio Gerejawi NUSRA menjadi wahana refleksi pastoral atas tantangan yang dihadapi umat. Migrasi pun menjadi tema yang terus hadir karena begitu erat dengan keseharian umat di wilayah ini.
PERPAS XII yang akan digelar pada 1–5 Juli 2025 di Keuskupan Larantuka mengangkat tema penuh harapan: “Gereja Berwajah Perantau, Berziarah dalam Pengharapan: Mencari Solusi Praktis Pastoral.” Bukan sembarang tema, ini adalah seruan agar Gereja hadir secara konkret dalam pergulatan hidup para migran.
Tujuan PERPAS XII dirancang strategis. Mulai dari membangkitkan kembali spiritualitas “berjalan bersama,” memperkaya pemahaman atas kompleksitas migrasi, hingga menggali jalan-jalan baru dalam pelayanan pastoral. Semua diarahkan pada satu semangat: membangun kemitraan dan solidaritas lintas batas demi kebaikan bersama.
Tidak hanya para uskup, peserta PERPAS XII juga melibatkan tokoh pemerintah, aparat keamanan, pegiat migran, dan pemuda. Ini menandakan bahwa migrasi bukan sekadar isu gerejawi, tapi persoalan lintas sektor yang membutuhkan kolaborasi utuh.
PERPAS ini juga menjadi panggung untuk memperdalam teologi migrasi. Bahwa menjadi migran bukanlah aib, melainkan bagian dari peziarahan iman. Dalam migran, wajah Allah yang miskin dan merantau tampak nyata. Dan, Gereja dipanggil untuk hadir seperti Maria yang setia mendampingi di tengah kegelisahan umat.
Tahun Yubileum 2025 menjadi momentum spiritual yang kuat. Dalam Bulla Yubileum Spes non confundit, Paus Fransiskus mengajak Gereja untuk menjadi “tanda harapan” bagi mereka yang meninggalkan tanah kelahiran demi hidup yang lebih layak. Seruan ini bukan teori—melainkan panggilan kasih yang nyata.
Sebagai bagian dari perayaan iman dan aksi nyata, PERPAS XII diharapkan melahirkan keputusan-keputusan pastoral yang kontekstual dan aplikatif. Tidak hanya menyentuh wacana, tetapi menyusup hingga ke titik-titik paling sunyi dari kehidupan migran.
PERPAS XII bukan hanya tentang pertemuan. Ia adalah ruang perjumpaan—antara gagasan dan realitas, antara suara Gereja dan jeritan umat, antara harapan dan aksi. Sebuah langkah bersama menuju Gereja yang peduli dan proaktif.
Sebab dalam setiap langkah para migran, Gereja berjalan. Dalam tangis mereka, Gereja berdoa. Dan dalam harapan mereka, Gereja menabur kasih. Sebab para perantau bukan hanya yang pergi. Mereka adalah saudara yang membawa kita semua berjalan pulang bersama menuju rumah sejati: kerajaan kasih yang memeluk semua tanpa kecuali. (*)