
Oleh: Robert Bala
Pendiri SMA Sko San Bernardino- Ketua Yayasan Koker Niko Beeker
Persebata telah mengukir sejarah baru untuk persepakbolahan NTT di liga 3. Meski belum sampai ke liga 2 apalagi liga 1, tetapi ini sudah berarti sekali. Hanya berandalkan tekad, keseblasan dari ‘Sembur Ikan Paus’ itu bisa melenggang begitu jauh.
Seperti saat Bintang Timur Atambua (BTA) menjuarai EMTC, penulis dengan ringan tangan menulis tentangnya. Kini setelah Perseftim terjegal di 64 besar dan BTA juga gugur dengan angka telak di 32 besar, kini Lembata bahkan melewati 16 besar dan memasuki 8 besar. Ia pantas disanjung.
Yang jadi pertanyaan, nilai apa yang membuat Persebata melangkah begitu jauh?

Salah satu kuncinya barangkali karena pria Lembata itu pendiam. Orang pendiam memiliki satu keunggulan yakni setia. Hal itu terbukti. Pada EMTC 2022. Banyak yang mengira penampilannya sebagai ‘runner up’, sebuah kebetulan. Tetapi di EMTC 2025, ia hadir konsisten dan setia untuk terus prestasi. Ia belum jadi juara tetapi konsisten pada kesetiaan berprestasi dengan kembali menjadi runner up.
Kesetiaan pria Lembata terekspresi dalam diri Lamafa. Ia tahu, ia berada di posisi terdepan untuk menikam buruannya, paus. Tetapi peran utama itu tidak harus disertai kepastian memperoleh buruan. Kadang kecewa dan kegagalan menghantui. Namun ia tetap setia untuk menghadap laut, karena bersama semua matros, mereka semua adalah ‘lefa alep’, pemilik laut.
Ketika menjadi runner up di EMTC Lembata, kritikan mengarah kepadanya tidak membuatnya memaksa diri berbicara. Terhadap hujatan karena kalah hanya kepada sebuah club (BTA), ia tidak bicara mencela apalagi menganggapnya rendah. Ia memilih diam dan berbicara dalam tindakan. Persebata justru didominasi pria Lembata yang tidak mau campur tangan. Ia memilih respek kepada pemenang. Kalau pun ada kejelekan yang bisa diumbar, ia memilih menyimpan rahasia itu dalam hatinya.
Itulah pria Lembata, seperti Lamafa yang ketika mulai melaut ia mengambil tali ‘leo’ dalam diam. Ia membiarkan orang lain berbicara (atau mencelanya) tetapi yang pasti ia diam karena itu adalah emas.
Pria Lembata yang pendiam juga tidak cerewet dan tidak suka mengeluh. Ia terbiasa berjalan kaki dari kampung ke kampung tanpa mengeluh akan beratnya perjuangan. Untuk keluar dari kabupatennya ia harus melewat laut yang ganas. Ia tidak mengeluh dengan ombak karena tahu bahwa gulungan ombak justru menjadi bak ayunan naik turun yang memberi ritme pada kehidupan.
Apakah dengan demikian pria Lembata tidak mengeluh? Ya ia bisa mengeluh tetapi ia ungkapkan dalam hal-hal yang dianggapnya penting. Saat bermain bola ia tidak mengeluh akan lawan yang lebih hebat. Ia tunjukkan bahwa kemenangan diperoleh oleh kekompakan dan konsisteni tim dan bukan pada lawan.
Inilah pria Lembata. Seperti Lamafa ia bukan menghindari angin dan ombak. Ia justru menjemput ombak agar perahu layarnya bisa bergerak cepat. Ia tidak mendoakan agar tidak ada tangan tetapi malah mengundang tantangan dan angin dalam doa nan ikhlas: O ina fae bele e, nei kame angi usi (oh ibunda lautan, hembuskanlah kami sedikit angin).
Tenang, Tidak Emosional
Lelaki Lembata juga tidak lepas kontrol. Ia bukan jenis pria yang mudah menunjukkan emosi karena hal itu dianggap memalukan. Ia benar-benar mengontrol emosinya. Kalaupun ada emosi yang terkuaras oleh pergulatan mati-hidup, sang Lamafa tidak merasa kesendirian. Ia justru meyerahkan persoalan kepada tim secara khusus lama uri (juru mudi) yang ada di belakangnya. Ia mengendalikan arah peledang dan karena itu ia perlu percayakan keselamatannya pada rekan matros dan terutama lama uri.
Dalam tim sepak bola, keyakinan pada pemain belakang merupakan salah satu cirinya. Persebata terkenal dengan pertahanan yang tangguh dengan kematangan dan ketenangan hal mana hanya bisa ditemukan dalam tim besar sekelas Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich, Inter Milan, dan PSG. Kematangan itu hanya mungkin dimiliki pria pendiam dan tenang. Itulah tim Persebata.
Yang terakhir, pria Lembata yang pendiam itu juga berkepala dingin. Berhadapan dengan buruan paus yang memberontak setelah tertikam Lamafa, semua yang berada di peledang tak jarang terancam nyawanya. Perahu diarahkan sesuai kemauan paus dan bukan belokkan dari lama uri (juru mudi).
Dalam kondisi yang menegangkan tidak ada pilihan selain mengedepankan kepala dingin. Masalah bila ditanggapi dengan emosi menyala, hanya akan menambah persoalan. Hal itu tidak dikehendaki pria Lembata dalam arena permainan. Ketika berhadapan dengan Perse Ende (21/3/25), justru Persebata mengalahkan Perse di menit ke-118. Itu hanya terjadi dengan orang yang berkepala dingin dan hal itu ditunjukkan oleh Persebata.
Jadi apakah Persebata itu seperti Lamafa? Bisa saja dianggap berlebihan. Figur Lamafa dianggap terlalu unggul, berani, dan sakral, melampaui banyak orang yang mengategorikan dirinya sebagai pahlaman di Lembata.
Tetapi ketika teriakan ‘Baleo-Baleo’, terhadap tim yang dikenal sebagia ‘Sembur Ikan Paus’, maka julukan itu bisa diterima. Ia diterima dan malah kini diakui perjuangannya setelah mematerikan dirinya dalam 8 besar dan pantas maju ke Liga 3 sepak bola Indonesia. Inilah prestasi dari Persebata, pria pendiam. Tetapi sanjungan ini tidak membuatnya sombong dan ‘penua golok’ alias omong tinggi tentang dirinya. Ia justru memilih diam dan seperti Lamafa, yang ia lakukan hanya menunggu waktu untuk ‘tikam’ mangsa berikutnya.
Itulah pria Lembata yang diam tetapi mengamati sambil menyusun rencana untuk bertindak. Lebih lagi, pria pendiam seperti tergambar dalam persebata, kini bisa saja diwaspadai. Tim sepak bola kenamaan mulai tahu bahwa si pendiam itu berbahaya. Bahkan saat orang lain beristirahat dan lengah, ia menyerang dan menikam. Ia pantas disebut ‘the quiet man’ pria pendiam hal mana diungkapkan oleh kata bijak berikut: Beware the quiet man. For while others speak, he watched. And while others act, he plans. And when they finally rest… he strikes (Waspadalah terhadap orang yang pendiam. Karena saat orang lain berbicara, dia mengamati. Dan saat orang lain bertindak, dia berencana. Dan saat mereka akhirnya beristirahat… dia menyerang).
Sanjungan ini tidak untuk mewajibkan Persebata harus menang. Ini hanya respek akan usaha yang sudah dilakukan dan telah mengantarnya sampai kini. Ke depannya, tentu hanya harapan sekaligus waspada dan terus berlatih untuk lawan siapapun. Di tangan ‘si pendiam’, segalanya bisa terjadi dan hal itu sudah dibuktikan. ***