Oleh: Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M. Pd, CPIM
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS. 4:135). Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka, keluarga mereka, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim, No:1827). Senada dengan itu filsuf dan ilmuan Yunani kuno dalam karya Nicomachean Ethics menyatakan “Kita berbuat adil bukan karena belajar dan mengerti keadilan, kita berbuat adil, karena kita terbiasa bertindak adil” (Aristoteles).
Realita Kita Hari Ini
Keadilan dan kebiasan berbuat baik adalah dua konstruksi yang saling berhubungan dalam domain keberadaan sosial dan moral. Dua poin tersebut seakan terabaikan dalam hiruk pikuk dan benturan sosial yang semakin melebar laksana membaca bangunan piramida.
Konstruksi teoritis ini direpresentasikan dalam bentuk piramida yang terdiri dari beberapa tingkatan. Setiap tingkatan menandakan komponen fundamental yang harus dipenuhi untuk mewujudkan keadilan sosial. Komponen-komponen ini sering tampak diabaikan oleh mata yang tidak terlatih. Misalnya, kepuasan kebutuhan esensial manusia meliputi aspek keuangan pakaian, rezeki, dan tempat tinggal. Sebaliknya, penerapan keadilan yang diantisipasi menggarisbawahi fungsi penting yang dilayani oleh keadilan hukum dalam menjamin perlakuan yang adil bagi semua individu dalam sistem hukum. Ini mencakup perlindungan terhadap diskriminasi serta promosi dan penegakan hak asasi manusia.
Dalam wacana teoritis, Interdependensi berpendapat bahwa ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar dapat menghambat individu untuk berkonsentrasi pada pengejaran atau peluang pendidikan lanjutan. Demikian juga, tidak adanya keadilan hukum mempersulit pencapaian peluang yang adil. Sebaliknya, entitas pemerintah telah mengakui pentingnya partisipasi komunal dalam aktualisasi keadilan sosial. Penduduk diharapkan untuk terlibat secara aktif dalam menjamin bahwa semua strata dalam hierarki sosial ditangani secara memadai. Keterlibatan ini dapat terwujud melalui advokasi, keterlibatan dalam arena politik, atau inisiatif masyarakat; namun, realisasi niat pemerintah kemungkinan akan menghadapi tantangan, karena kebutuhan mendasar masyarakat, seperti sandang, pangan dan papan ibarat jauh panggang dari api
Bedah Pikiran Aristoteles
Kebiasaan membentuk karakter dan perilaku seseorang, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Aristoteles, “Kita berbuat adil bukan karena belajar dan mengerti keadilan, kita berbuat adil karena kita terbiasa bertindak adil.”
Pernyataan ini dalam khasanah bulan suci Ramadhan sebagai media pendidikan atau latihan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa karakter dan perilaku seseorang dibentuk oleh kebiasaan dan praktik sehari-hari, bukan teori.
Dalam situasi ini, keadilan yang dimiliki oleh “orang yang adil” berasal dari pengalaman sehari-hari yang membentuk cara mereka berpikir dan berperilaku. Prinsip ini sangat relevan dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan, yang dalam tradisi Islam tidak hanya merupakan waktu ibadah ritual tetapi juga merupakan alat untuk mengajar dan mendidik orang untuk membangun karakter mulia.
Ramadhan Mubarak
Ramadhan, yang ditandai dengan praktik puasa yang mendasarinya, menawarkan interval sebulan yang komprehensif untuk kultivasi disiplin, kesabaran, empati, dan pengaturan diri. Puasa melampaui sekadar menjauhkan diri dari kelaparan dan kehausan; itu berfungsi sebagai mekanisme bagi individu untuk menahan nafsu, emosi, dan keinginan yang berlebihan.
Mengingat pernyataan Aristoteles, praktik menjauhkan diri dari kegiatan yang diizinkan di luar Ramadhan (seperti mengonsumsi makanan dan minuman) berubah menjadi latihan yang signifikan dalam pembentukan karakter. Ketika seorang individu menjadi terbiasa menahan diri selama tiga puluh hari berturut-turut, pola perilaku ini secara bertahap menjadi tertanam di dalam diri, sehingga menjadikan pengendalian diri sebagai atribut yang melekat daripada reaksi singkat.
Misalnya, seseorang yang terlibat dalam puasa memperoleh kemampuan untuk mempertahankan ketenangan dan menghindari kemarahan, meskipun mengalami kelaparan atau kelelahan, karena mereka menyadari bahwa kemarahan seperti itu dapat meniadakan manfaat spiritual yang terkait dengan puasa. Latihan berulang ini mendorong perkembangan temperamen yang sabar dan lembut. Akibatnya, Ramadhan muncul sebagai “laboratorium” sejati untuk penerapan praktis dari menanamkan nilai-nilai budi luhur seperti keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan melalui tindakan, bukan sekadar diskusi teoretis.
Mengacu pada gagasan keadilan yang diartikulasikan oleh Aristoteles, Ramadhan juga telah muncul sebagai periode penting untuk menumbuhkan sikap yang adil, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Praktek puasa menginstruksikan individu untuk melakukan keadilan terhadap tubuh mereka sendiri dengan menahan diri dari indulgensi yang berlebihan, sementara secara bersamaan menumbuhkan pemahaman tentang kesulitan yang dialami oleh mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Kebiasaan seputar zakat fitrah dan pemberian amal selama Ramadhan semakin memperkuat aspek keadilan sosial ini. Ketika individu menjadi terbiasa dengan praktik berbagi dan saling peduli sepanjang Ramadhan, perilaku seperti itu dapat berkembang menjadi karakteristik intrinsik, sehingga mengubah keadilan dari konstruksi teoretis belaka menjadi prinsip yang diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.
Dari sudut pandang pendidikan, ketaatan Ramadhan mencontohkan pendekatan pedagogis yang berakar pada prinsip belajar melalui pengulangan (habituasi), yang sesuai dengan perspektif filosofis Aristoteles. Praktik-praktik keagamaan seperti shalat tarawih, pembacaan Al-Qur’an, dan doa yang konsisten sepanjang bulan menghasilkan rutinitas ritmis yang sangat mempengaruhi esensi spiritual. Misalnya, seseorang yang awalnya berjuang untuk bangun untuk sahur atau sholat malam dapat, melalui praktik disiplin yang dipupuk selama Ramadhan, menumbuhkan rasa ketepatan waktu dan pengaturan diri yang tinggi. Fenomena ini menggambarkan bahwa perkembangan karakter bukanlah kejadian seketika, melainkan proses bertahap yang dicapai melalui upaya berkelanjutan dan dedikasi terhadap perilaku berbudi luhur.
Selain itu, Ramadhan seharusnya tidak dianggap hanya sebagai upaya sementara yang diakhiri mengikuti Idulfitri. Idealnya, perilaku positif yang dibudidayakan selama Ramadhan, seperti keadilan, empati, dan kesabaran, harus diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan suci. Menurut Aristoteles, karakter seseorang dibentuk oleh tindakan kebiasaan menuju keadilan, dan Ramadhan berfungsi sebagai kerangka dasar untuk menumbuhkan kebajikan semacam itu. Jika praktik ini diabadikan di luar batas Ramadhan, karakter seseorang akan menjadi semakin kuat dan asli, bukan sekadar fasad musiman.
Simpulan
Proposisi Aristoteles mengenai sifat transformatif kebiasaan sebagai aspek fundamental karakter menunjukkan keselarasan yang mendalam dengan interpretasi Ramadhan sebagai saluran untuk pendidikan dan penerapan praktis. Melalui ketaatan puasa, praktik sedekah, dan berbagai bentuk ibadah lainnya, Ramadhan secara sistematis memupuk di antara umat Islam penggabungan nilai-nilai tinggi seperti keadilan, yang dicapai tidak hanya melalui pemahaman teoritis tetapi melalui pemberlakuan konsisten prinsip-prinsip ini dalam konteks nyata dan berulang. Akibatnya, bulan suci ini berfungsi sebagai instrumen metamorfosis pribadi yang mencakup tidak hanya dimensi spiritual tetapi juga aspek moral dan sosial, sehingga mendorong perkembangan individu yang ditingkatkan melalui kemanjuran praktik kebiasaan. (*)
Biodata Penulis:
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, adalah seorang ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT sejak tahun 1999, saat ini sebagai Pengawas Madya Sekolah Tingkat Menengah – PAI di Kabupaten Lembata. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (IQ), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi” Menulis beberapa artikel pengabdian masyarakat dalam buku antologi “Menuju Indonesia Emas 2045” di tahun 2023, buku “Revitalisasi Ilmu Sejarah dan Budaya dalam Dunia Pendidikan” dan buku “Aspek Pembelajaran Kewarganegaraan, Hukum dan Politik” di tahun 2024 dan beberapa buku antologi Cerpen dan Puisi di tahun 2021 sd sekarang. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin