Oleh: Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M.Pd, CPIM
Prolog
Ramadhan menampilkan dirinya sebagai pengunjung terhormat, mengantarkan suasana kesucian dan ketenangan. Bulan ini tidak hanya berfungsi sebagai periode pantang dari nutrisi dan hidrasi, tetapi juga sebagai undangan untuk mengeksplorasi pentingnya keberadaan yang mendalam. Di tengah-tengah hiruk pikuk dunia yang penuh dengan hasrat yang tak terpuaskan, Ramadhan bertindak sebagai tempat perlindungan, mendorong kita untuk merenungkan aspirasi sejati kita: rahmat ilahi yang ditemukan dalam cukuplah. Sebelum melanjutkan lebih jauh, marilah kita menyelaraskan hati kita untuk merangkul ajaran-ajaran bulan suci ini, yang secara konsisten menggarisbawahi bahwa sukacita otentik tidak terletak pada harta kita, tetapi dalam ungkapan rasa terima kasih kita.
Ramadhan dianggap sebagai bulan suci, di mana penganut Islam di seluruh dunia terlibat dalam puasa sebagai ekspresi pengabdian mereka kepada Allah. Di luar sekadar mengurangi rasa lapar dan haus, periode suci ini menginstruksikan individu untuk mengejar belas kasihan ilahi melalui prinsip-prinsip kesederhanaan, moderasi, dan kecukupan. Dalam kehidupan yang sering ditandai dengan aspirasi material dan hasrat yang tak terpuaskan, Ramadhan berfungsi sebagai lensa reflektif, mendorong kontemplasi pada esensi otentik dari kecukupan, yang mencakup tidak hanya pertimbangan materi tetapi juga alam hati dan roh.
Terlibat dalam puasa selama Ramadhan menjelaskan pengalaman keterbatasan fisik. Dari fajar hingga matahari terbenam, individu menjauhkan diri dari konsumsi makanan, minuman, dan tindakan apa pun yang akan membatalkan puasa. Namun, di bawah kendala ini terdapat pelajaran penting: keberadaan manusia melampaui persyaratan fisik belaka. Sebagaimana diartikulasikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah, ayat 185, Ahmad Dahlan Sebagai arsitek Muhammadiyah, menekankan pentingnya Ramadhan sebagai periode yang didedikasikan untuk memperkuat iman seseorang dan memperkuat tindakan ibadah amal. Dia berpendapat bahwa bulan suci ini harus dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menumbuhkan hubungan yang lebih dekat dengan Ilahi melalui praktek-praktek seperti puasa, doa, dan pembacaan Al-Qur’an. Buya Hamka seorang ulama dan sarjana sastra terkenal, sering mengartikulasikan wawasan mengenai dimensi spiritual Ramadhan. Dari sudut pandangnya, Ramadhan berfungsi sebagai waktu kritis untuk introspeksi, peningkatan moral, dan proliferasi perbuatan baik. Buya Hamka lebih lanjut menggarisbawahi perlunya persatuan komunal dan tanggung jawab sosial selama periode suci ini. Sedangkan Muhammad Natsir dalam kapasitas gandanya sebagai politisi dan ulama, memandang Ramadhan sebagai kesempatan penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan solidaritas di antara komunitas Muslim. Dia lebih lanjut menyoroti keharusan terlibat dalam puasa dengan kesabaran dan kepatuhan sebagai manifestasi dari ketundukan seseorang kepada Yang Ilahi.
Dengan demikian Ramadhan menandakan periode di mana Al-Qur’an diturunkan sebagai panduan bagi umat manusia dan pembeda antara yang berbudi luhur dan yang berbudi luhur. Puasa berfungsi sebagai mekanisme untuk pelatihan spiritual, menumbuhkan hubungan yang lebih dekat dengan Allah, mengatur keinginan, dan mengakui bahwa kecukupan otentik terletak pada ketenangan pikiran yang diberikan oleh iman.
Sehubungan dengan konsep kecukupan, Ramadhan selanjutnya berfungsi sebagai pengingat akan berkat-berkat yang sering diabaikan. Segelas air, biasanya diterima begitu saja, berubah menjadi sumber daya yang berharga pada saat berbuka puasa. Makanan sederhana menjadi sangat enak setelah seharian menahan diri. Pengalaman ini memperkuat gagasan bahwa kecukupan tidak berkaitan dengan kepemilikan kelimpahan, melainkan pada rasa syukur yang diungkapkan atas apa yang telah Allah anugerahkan. Rasulullah Sallallallāhu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kekayaan bukanlah kekayaan, melainkan kekayaan yang sejati ditemukan di dalam hati.” (Mr. Bukhari dan Muslim). Ramadhan menginstruksikan kita untuk menumbuhkan kekayaan roh, yang berarti mengakui kecukupan keadaan kita dan melawan godaan ketamakan.
Selain itu, Ramadhan merupakan periode untuk mencari belas kasihan ilahi melalui hubungan interpersonal. Kecukupan yang kita miliki menjadi tidak lengkap jika kita mengabaikan mereka yang kehilangan. Zakat fitrah, sumbangan amal, dan tradisi berbagi selama bulan ini berfungsi sebagai demonstrasi nyata bahwa kecukupan bukanlah kepemilikan individu, tetapi kepercayaan komunal yang mengharuskan penyebaran. Dengan memberikan bantuan kepada mereka yang kurang beruntung, kita tidak hanya memberikan bantuan tetapi juga memurnikan jiwa kita dari keserakahan dan keegoisan. Latihan ini mencontohkan salah satu jalan untuk mendekat kepada Allah, dengan mewujudkan esensi kemanusiaan yang bermanfaat bagi orang lain.
Namun, refleksi Ramadhan tidak akan bermakna jika kita hanya menjalaninya sebagai rutinitas tahunan tanpa perubahan batin. Ketercukupan yang sejati hanya dapat diraih jika kita mampu mengendalikan diri dari godaan dunia yang sementara. Ramadhan mengajak kita untuk bertanya: apakah kita telah menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran akan tujuan akhir, yaitu keridhaan Allah? Apakah kita telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan ketakwaan yang akan kita bawa hingga hari-hari setelah Ramadhan berlalu?
Di penghujung bulan suci ini, marilah kita jadikan Ramadhan sebagai titik balik untuk hidup lebih sederhana, lebih bersyukur, dan lebih dekat kepada Allah. Ketercukupan yang kita cari bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar kita mampu menyerahkan hati kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, kita tidak hanya menjalani Ramadhan sebagai kewajiban, tetapi sebagai perjalanan spiritual yang membawa kita menuju keridhaan-Nya. Semoga Ramadhan kali ini menjadi cermin bagi kita untuk terus memperbaiki diri, menjaga ketercukupan dalam hati, dan meraih kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT.
Namun demikian, kontemplasi Ramadhan tidak akan berarti jika kita hanya terlibat di dalamnya sebagai ritual siklus tanpa transformasi internal yang mendalam. Kecukupan sejati hanya dapat dicapai jika kita memiliki kapasitas untuk menahan diri dari daya tarik dunia fana. Ramadhan memaksa kita untuk bertanya. Sudahkah kita menavigasi keberadaan ini dengan kesadaran menyeluruh akan aspirasi tertinggi, yaitu rahmat ilahi Rabb? Sudahkah kita menggunakan puasa sebagai sarana untuk menumbuhkan kebajikan kesabaran, ketekunan, dan kesalehan yang akan kita lakukan bahkan setelah akhir Ramadhan?
Ketika kita mencapai puncak bulan suci ini, marilah kita mengubah Ramadhan menjadi momen penting untuk merangkul gaya hidup yang lebih sederhana, lebih bersyukur, dan dalam persekutuan yang lebih dekat dengan Allah. Kecukupan yang kita cita-citakan untuk dicapai tidak bergantung pada jumlah harta kita, melainkan pada kesediaan kita untuk menyerahkan hati kita kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kita harus mendekati Ramadhan bukan hanya sebagai tugas, tetapi sebagai pengembaraan rohani yang mengarahkan kita menuju kebahagiaan ilahi-Nya. Semoga Ramadhan ini berfungsi sebagai lensa reflektif yang melaluinya kita dapat berusaha untuk meningkatkan karakter kita, mempertahankan kepuasan dalam hati kita, dan mencapai kebahagiaan abadi di hadapan Allah SWT.(*)
Biodata Penulis:
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (IQ), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi”. Menulis beberapa artikel pengabdian masyarakat dalam buku antologi “Menuju Indonesia Emas 2045” di tahun 2023, buku “Revitalisasi Ilmu Sejarah dan Budaya dalam Dunia Pendidikan” dan buku “Aspek Pembelajaran Kewarganegaraan, Hukum dan Politik” di tahun 2024 dan beberapa buku antologi Cerpen dan Puisi di tahun 2021 sd sekarang. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin