Penulis :
Hermina Mau, SKM.,M.Sc (Badan Pengurus IAKMI Prov. NTT)
Dr. drg. Jeffrey Jap, M.Kes (Ketua sIAKMI Prov. NTT)
Yosefita Juita, SKM (Badan Pengurus IAKMI Prov. NTT)
Seorang anak tiba-tiba mengalami demam dan terbaring lemas. Keesokan harinya mengeluh sakit kepala, sakit tenggorokan dan tidak bernafsu makan. Hari berikut anak mulai tampak gelisah ketika ada gerakan atau bunyi yang agak keras dan takut untuk minum air. Dia juga meminta kedua oran tuanya untuk menutup pintu dan jendela dengan rapat hingga tidak ada cahaya yang masuk. kedua orang tuanya mulai cemas karena anaknya belum pernah sakit demikian sehingga mereka membawa anaknya ke Puskesmas. Setelah menjalani perawatan intensif selama 3 hari akhirnya anak tersebut menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis penyakit rabies.
Penyakit rabies merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies. Penyebab rabies adalah virus yang tergolong genus Lyssa virus yang tahan terhadap pemanasan dalam waktu tertentu. Virus rabies masih bertahan 2 – 3 menit pada suhu titik didih air atau suhu 100ºC, apabila pemanasan pada suhu 56 ºC virus rabies bertahan hingga 30 menit dan pada air liur yang notabene berkisar pada suhu tubuh (36,2 – 37,6 ºC) dapat bertahan 24 jam, namun virus rabies lemah dan mudah mati ketika terpapar zat asam,zat basa, zat pelarut lemak. Cerita virus rabies dari hewan dapat menginfeksi manusia bermula dari adanya gigitan atau cakaran atau jilatan hewan yang terinfeksi virus rabies pada kulit yang terbuka atau mukosa. Binatang yang menjadi sumber penular virus rabies kepada manusia adalah anjing, kucing, kera dan anjing sebagai reservoir utamanya.
Penyakit rabies di Indonesia dilaporkan pertama kali di Jawa Barat pada tahun 1884, kala itu menginfeksi seekor kerbau, kemudian pada tahun pada tahun 1889 menginfeksi seekor anjing dan tahun 1894 dilaporkan menginfeksi manusia. Membutuhkan waktu selama 103 tahun, akhirnya virus rabies terdeteksi di wilayah Provinsi NTT tepatnya di Desa Sarotari Kabupaten Flores Timur dan dalam kurun waktu 3 tahun virus rabies menyebar di seluruh Pulau Flores dan Lembata. Berselang 26 tahun kemudian virus rabies mencapai Pulau Timor tepatnya terdeteksi di Desa Fenun Kabupaten TTS dan hanya butuh waktu 2 tahun virus rabies menyebar di seluruh Pulau Timor.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2023 menempatkan Provinsi NTT sebagai provinsi dengan Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) tertinggi kedua yaitu sebanyak 20.705 kasus gigitan dan 35 orang diantaranya meregang nyawa karena virus rabies. Tahun 2024 terlaporkan sebanyak 30.319 kasus gigitan dan 45 orang harus kehilangan nyawa pula karena virus rabies. Menilik pada wilayah distribusi kematian akibat penyakit rabies, Pulau Timor sebagai kluster wilayah tertular “baru” menyumbang kasus kematian lebih tinggi dibandingkan dengan kluster wilayah Pulau Flores-Lembata. Kurun waktu tahun 2023 – 2024 kematian akibar penyakit rabies di Pulau timor sebanyak 45 orang (56%) dan Pulau Flores-Lembata sebanyak 35 orang (44%).
Setelah digigit HPR, visibilitas luka pada tubuh dapat sembuh tetapi virus rabies berinkubasi, melakukan replikasi, menyebar dan menyerang ke system saraf oleh karena itu pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) setelah terjadi GHPR merupakan langkah fundamental yang sangat penting untuk menyelamatkan selembar nyawa manusia dari kematian yang tidak mengenal jarak, waktu, ataupun batas wilayah. Kenyataannya masih ditemukan adanya kasus GHPR yang tidak mendapatkan VAR dan/ SAR.
Kasus GHPR selama kurun waktu tahun 2023 – 2024 tercatat 51.024 kasus, yang mendapat VAR sebanyak 47.833 kasus (94%) dan yang tidak mendapat VAR sebanyak 3.191 kasus (6%). Anggota kelompok 6% yang tidak mendapatkan VAR adalah kelompok yang sangat berisiko tinggi untuk menghadapi kematian di masa mendatang karena penyakit rabies. Berkesan dan perlu apresiasi kepada Kabupaten Manggarai Barat dan Flores Timur yang berhasil menekan mortality rate akibat penyakit rabies selama 2 tahun berturut-turut dengan strategi pemberian VAR kepada semua kasus GHPR.
Beban ekonomi (economic loss) secara hitungan matematis besaran biaya unk vaksinasi setelah digigit HPR berkisar pada nominal Rp.815.000 s/d 9.315.000. Nominal ini dapat bertambah berdasarkan klasifikasi luka gigitan, usia, berat badan korban dan hasil observasi kesehatan hewan yang menggigit. Seorang anak usia 5 tahun mengalami luka gigitan anjing pada sekitar wajah dan anjingnya tak teridentifikasi harus mendapatkan 4 dosis VAR dan 1 dosis SAR, sehingga nominalnya sekitar Rp. 2.515.000. Apabila seorang usia dewasa berat badan 50 kg mendapat gigitan anjing di jari tangan dan beberapa hari kemudian anjingnya mati, harus mendapatkan suntikan VAR sebanyak 4 dosis dan 5 dosis SAR, sehingga perkiraan biaya sekitar Rp. 9.315.000. Kurun waktu tahun 2023 – 2024, Kemenkes RI mengirimkan VAR dan sudah dipergunakan di Provinsi NTT senilai Rp. 22.661.564.000 dan SAR senilai Rp. 1.599.700.000 yang didapatkan secara gratis oleh masyarakat korban gigitan HPR di puskesmas atau pos rabies centre.
Sekalipun biaya yang dikeluarkan mencapai miliaran rupiah namun masih ada korban gigitan yang tidak mendapatkan VAR dan SAR bahkan sampai meninggal dunia, mungkin ada mata rantai yang terputus dalam siklus penanganan penyakit rabies di Provinsi NTT Model sosio ekologi UNICEF memberikan insight dalam konteks kesehatan masyarakat dengan menggunakan model lima-tingkat yaitu tingkat individu, interpersonal, institusi, komunitas dan kebijakan.
Selaras dengan itu ada visi pembangunan ideal yaitu konsep kolaborasi pentahelix untuk penanganan penyakit rabies harus melibatkan lima pilar tokoh utama yaitu pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media. Konsep pentahelix sudah menunjukan kesuksesan ketika mengatasi badai Pandemi Covid-19, sehingga perlu optimis penyakit rabies juga akan berhasil. Pendekatan One Health dipandang sebagai strategi yang tepat untuk memadukan lintas sektor dan lintas program untuk penanganan penyakit rabies secara komprehensif dari sisi kesehatan manusia, kesehatan hewan domestik dan satwa liar serta kesehatan ekosistem lingkungan.
Mengatasi penyakit rabies bukan sebuah kemustahilan, dengan rasa optimis dan effort niscaya akan berhasil. Contoh praktis kolaborasi pentahelix model sosio ekologi yang sudah dilakukan diantaranya di Provinsi Bali ada Kasinoman rabies dan kader Program Dharma yang dibiayai dari dana desa untuk mendukung penanganan rabies. Kabupaten Manggarai Barat berhasil menekan angka kematian akibat penyakit rabies melalui kerjasama dengan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) namun aksi – aksi kepedulian belum memberikan dampak yang signifikan untuk mencegah penularan virus rabies.
Realitas pengendalian rabies di Provinsi NTT terbentur ada beberapa problematika yang tersaji sebagai berikut. Penelitian dan sejumlah kajian mengungkapkan bahwa predisposisi tingkat individu untuk penanganan rabies adalah rendahnya tingkat pengetahuan (knowledge) tentang manajemen pemeliharaan anjing atau melepasliarkan anjing untuk mencari makan secara bebas, bahaya penyakit rabies dan tata laksana pengobatan setelah mendapat gigitan.
Predisposisi individu berikutnya yaitu rendahnya kesadaran (awareness) melaporkan kasus gigitan HPR ke fasyankes dan membawa anjing peliharaan untuk mendapatkan vaksinasi rabies. Pada tingkatan interpersonal perlu highlight pada tokoh kunci seperti kepala keluarga, tokoh adat dan tokoh lokal setempat yang memiliki andil untuk mempengaruhi individu.
Keputusan untuk memberikan vaksinasi kepada anjing peliharaan merupakan ranah tingkat rumah tangga yang berperan adalah kepala keluarga dan mengawasi kepemilikan anjing diperankan oleh tokoh lokal namun prinsip umum di masyarakat adalah perlakuan “biasa saja” kepada anjing karena perbandingan nilai ekonomis anjing yang rendah dibandingkan dengan harga vaksinasi rabies dan biaya perawatan kesehatan anjing.
Level institusi dan komunitas sebagai organisasi yang dapat berkolaborasi untuk penanganan rabies seperti instansi lintas sektor, lembaga pendidikan, lembaga jurnalis, lembaga swadaya masyarakat lokal maupun internasional, dan sektor perhubungan laut namun belum mencapai kondisi ideal. Keadaan kurang ideal yang terjadi terkait penanganan HPR yakni tingkat vaksinasi HPR yang rendah oleh karena faktor ketersediaan (avalaibility) vaksin HPR, penerimaan (acceptability) pemilik HPR terhadap vaksinasi dan biaya penjangkauan (affordable) vaksinasi HPR yang minim.
Pada system manajemen HPR seperti vaksinasi anjing dan kontrol populasi anjing serta pengawasan kepemilikan anjing dapat dilakukan secara total, rutin dan sistematis melalui kolaborasi pemerintah desa/kelurahan, tokoh lokal dengan dinas peternakan. Perlunya kajian untuk kebijakan agar anjing yang dilepasliarkan dan tidak sanggup divaksinasi oleh pemiliknya dilakukan euthanasia. Kemudian diikuti dengan hilirnya yaitu system manajemen pada kesehatan manusia, dinas kesehatan dan puskesmas wajib memberikan VAR dan SAR bagi semua korban gigitan HPR sesuai standar kesehatan. Individu yang mendapat gigitan HPR dan menolak divaksin atau apatis untuk mendapat VAR maka perlu kerjasama dengan TNI – Polri untuk mobilisasi dan mendekatkan jarak akses fasyankes.
Simpul lainnya yang berpengaruh adalah semua kasus gigitan HPR wajib dilaporkan ke dinas peternakan dan dinas kesehatan untuk meminimalisir potensi penularan vertikal (anjing ke manusia) maupun horizontal (kepada sesama HPR). Anggota masyarakat harus mampu check and control satu sama lain agar tidak ada kasus silent bitting HPR. Selain itu, perlu adanya kontrol dan pengawasan HPR yang ketat dari dan keluar pulau agar tidak ada transfer virus dari daerah tertular lainnya ataupun ke pulau yang belum tertular.
Pemerintah sebagai induk dan sentral segala kebijakan harus mampu untuk “menghapus air mata duka rabies”, membawa harapan baru dan menumbuhkan optimisme eradikasi rabies di Nusa Bunga dan Nusa Cendana melalui Konsep One Health. Kluster masyarakat yaitu level individu dan level interpersonal dapat dintervensi untuk perubahan pengetahun dan peningkatan kesadaran melalui kolaborasi dan pembagian peran instansi pemerintahan, akademisi dan media.
Lakukan promosi dan KIE di berbagai platform publik yang dinamis maupun statis, secara virtual maupun langsung oleh civitas akademika sekolah kesehatan, instansi kesehatan, pemerhati, simpatisan dan dunia media harus siap menjadi corong untuk sounding secara massif dan rutin. Pencegahan rabies alangkah baiknya dilakukan dari hulunya yaitu penanganan HPR yang lebih low cost karena harga vaksin HPR jauh lebih murah dan berisiko rendah terhadap keselamatan nyawa manusia dibandingkan dengan pemberian VAR-SAR pada korban gigitan HPR sesungguhnya merupakan intervensi yang high cost dan berisiko tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia.
Salam Sehat !!!
Salam Eradikasi Virus Rabies. (*)