Oleh: Robert Bala
Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN (Proses Terbit)
Sudah ada dalam bayangan, P. Paulus Budi Kleden, SVD akan diterima. Tetapi mengalami ‘secara online’ sebuah penerimaan yang begitu luar biasa, tentu saja tidak terbayangkan. Malah ada rasa ‘was-was’. Penerimaan dan eufori keterpilihan Uskup kelahiran Waibalun 16/11/1965 meski mendunia tetapi tidak bisa disangkali, kalau secara manusiawi ada rasa yang ‘kurang’, meski tak terungkap.
Tetapi setelah melihat rangkaian acara sejak tiba di Bandara H. Hasan Aroeboesman pkl 14.15, perasaan itu perlahan menghilang. Kekompakan panitia hasil kolaborasi imam dan awam mendesain penerimaan di Bandara, melewati Jalan Gatot Subroto, disusul Marching Band Madrasah Aliyah Negeri Ende, penyambutan tokoh lintas agama, hingga detik-detik memasuki Istana Keuskupan Agung Ende menjadi tontonan berbeda.
Aneka sajian itu tentu tidak sekadar sebuah tontonan. Yang jauh lebih penting bertanya, apa pesan terkirim melalui eufori yang sangat besar itu? Apa yang terpikir dalam diri Uskup Budi melihat aneka sambutan itu?
Ende, Indah
Sajian penerima yang sangat indah, teratur, dan artistik saat penjemputan Uskup Budi bukan sebuah kebetulan. Dari dalam, nama Ende katanya berasal dari kain sutera ‘Cindai’ yang berbunga-bunga. Ada yang melihat warna bunga-bunga dari ular sawah yang oleh orang Ende disebut ‘sawa lero’ tetapi oleh pendatang disebut ‘Cinde’ yang oleh penuturan lisan menjadi cendau, cindau, sendu, cinde, Kinde, Ciendeh, dan akhirnya Endeh dan Ende.
Nama artistik itu tidak dibiarkan sendiri. Masyarakat Ende menghadirkan proporsi tertinggi muslim (26%) dan tertinggi di NTT dan hanya diikuti oleh Alor (25%). Kabupaten lain lebih didominasi oleh agama Kristen Katolik dan Protestan. Karena itu barometer toleransi NTT ada di Ende. Karena menyaksikan Madrasah Aliyah Negri Ende, sambutan para pemuka lintas agama, deretan gadis berjilbab dan pria-pria bersongko mengayunkan bendera Merah Putih dan Kuning Putih (Bendera Vatikan) membuat bulu kuduk merinding. Ini adalah warna warni sutera ‘Cindai’ maupun ‘Cinde’ terpateri dengan sangat jelas.
Tetapi apakah ini baru ditampilkan menjelang tahbisan Uskup Agung Ende 22 Agustus nanti? Tidak. Ende ternyata dari ‘doeloe’ sudah dianggap bak ‘meting pot’ alias panci peleburan terindah. Pemilihan Ende sebagai tempat pengasingan Bung Karno bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi Belanda untuk ‘menyekolahkan Bung Karno’ di negeri sutera ini.
Jauh sebelumnya, Gereja Katolik telah melihat Ende sebagia ‘metropolitan’ jauh sebelum Kupang. Di tahun 1913 jadi Presfek Apostolik Sunda Kecil dan tahun 1922 menjdi Vikariat Apostolik Sunda Kecil. Di tahun 1951 menjadi keuskupan dan 10 tahun kemudian 1961 menjadi Keuskupan Agung hingga saat ini.
Itu artinya, cuplikan artistik yang ditampilkan selama hampir 4 jam hingga tiba di Ndona adalah ekspresi bahwa ‘ini Ende’ yang aslinya ‘begini sudah’. Yang ditampilkan bukan sekadar pentas apalagi sekadar tampil mengibuli. Tidak. Goyangan gemulai para ibu dan gadis, kelincahan kaum lelaki memainkan perang atau perisai dan kelincahan merangkai kata secara spontan, membiaskan apa artinya Ende indah yang dari dulu dijaga dan kini hanya ditunjukkan sedikit.
Merendah- Merenda
Bagi yang mengenal Budi secara sangat dekat (terutama sebagai teman kelas) segera menafsir. Dari jauh, mengamati ‘Sang Gembala’ diarak dan ‘dipasak’ mengeluarkan badan di atas kendaraan putih dan memberikan salam secara terbuka dengan cepat bisa ikut merasakan betapa menderitanya Uskup Budi.
Ia tersenyum tetapi kelihatan tidak utuh. Ia bertolak belakang dengan kepribadiannya yang rendah hati dan tidak ingin agar diayubahagiakan dan diangkat begitu tinggi. Baginya kalau sempat ditanya, pasti ia memilih, sama seperti memilih ditahbiskan di Katedral Ende dan tidak menjadikannya pentas di sebuah lapangan terbuka. Tentang hal ini, seorang teman kelas dengan tepat sekali membahasakannya dalam ungkapan sederhana: “Saya bisa bayangkan Budi dalam hati kocar-kacir antara terharu..bahagia. Tapi ia juga sedih karna merasa terlalu berlebihan, tidak sesuai dengan harapannya, dan macam-macam lagi. Semuanya ini belum pernah terjadi penerimaan seperti ini”.
Tetapi terhadap semua sanjungan dan penerimaan begitu mulia, seorang sahabat lain mengungkapkan hal yang mengagumkan: “Memang banyak orang yang ketika disanjung berlebihan, kadang mereka lupa turun, malah terus melayang. Budi, katanya, tahu bagaimana ia harus ‘landing’” hal mana menjadi ekspresi terdalam dari kerendahan hatinya yang jujur. Sampai di sini tersasa bahwa di tengah eufori itu tidak akan membuatnya lupa karena dari ‘sononya’ ia sudah memiliki kerendahan hati.
Yang jauh lebih penting adalah bagaimana ‘merenda’ semua jahitan persaudaraan yang telah ada dan menjadi nyata moto Peliharalah Kasih Persaudaraan? Bagaimana Uskup Budi memelihara kasih persaudaraan secara internal dalam KAE antara orang yang berbeda latar belakang dan budaya? Lalu bagaimana secara eksternal membangun persaudaraan penuh toleransi dengan sesama Kerabat Semesta? Tidak hanya itu, bagaimana kekerabatan itu memasuki ruang-ruang kosmos hingga bisa bersahabat dengan alam?
Inilah pertanyaan yang tentu saja jauh lebih penting dari sekadar penerimaan yang bisa divisualisasi dan bisa dijadikan sekadar tontonan. Minimal melalui penerimaan di Sabtu 10/8/2024, Ata Ende-Lio sebagai tuan rumah (sambil tidak melupakan umat di Nagekeo dan Ngada), bahwa dari luar bisa saja Ende itu tambil menakutkan seperti ular sawah ‘Cinde’. Jelasnya, Ende itu bukan menakutkan seperti yang orang mengerti dari kata ‘ngeri’ (horrofied), ekspresi rasa takut dan khawatir karena ada seusatu yang menakutkan yang tidak lengkap kalau bulu kuduk tidak berdiri.
Tetapi di Ende, ‘ngeri’ punya makna lain yang dalam linguistik disebut sebagai ‘superlatif’ alias tertinggi. Di sinilah arti ‘Ende Negeri Ko’ adalah kekaguman akan nilai yang teramat tinggi yang sudah ada dan diwariskan ‘dari doeloe’ dan sudah berurat-berakar ‘mati punya’. Yang mereka tunggu hanyalah sang gembalanya yang merendah dapat merenda potensi yang mereka sudah ada.
Karena itu kekaguman ini tentu bukan akhir. Ia baru awal. Diharapkan setelah berjalan, semakin lama tersibak keindahan sutera berbunga dan ular sawah indah agar bersama membenarkan bahwa: Ende, Ngeri ko Eja’. ***