Oleh: Elias Keluli Making
Mantan Komisioner KPU Lembata
Tarung Pilkada 2024, mendekati titik puncak. Api politik yang dibakar para bakal calon kandidat Bupati dan Wakil Bupati, merambat dan perlahan terasa hangat di beberapa ruang plalform media sosial alias medsos. Klaim person sebagai yang paling disukai, paling dekat dengan warga, paling berjasa terhadap Lembata, paling berpengalaman, paling berbudaya paling populer dan paling mampu membuat Lembata adem tentram, nampak menghampar bagai jemuran kopra di kebun petani. Klaim muncul sebagai propaganda politik yang sengaja dilepas-tabur oleh tim sukses (timases).
Si sisi lain, mama Maria, om Boli, magun Tinus, dan banyak warga kampung lainnya tidak peduli dengan apa yang diributkan kandidat dan kelompok pedukungnya. Mereka bahkan tidak tahu kalau Pilkada sekarang sedang dalam tahap apa, dan pula tak tahu kapan Pilkada itu berlangsung. “Saya dengar kita akan pilih bupati dan wakil bupati baru tahun ini, tetapi saya tidak tahu kapan, karena saya bukan penyelanggara pemilu, saya hanya pemilih,” kata Om Boli.
Om Boli adalah warga petani yang bermukim pada satu desa yang letaknya tidak lebih 5 kilometer dari kantor salah satu lembaga penyelenggara pemilu.
Bila tahapan dan jadwal Pilkada tidak diketahui warga, lalu bagaimana mungkin warga peduli dengan siapa orang yang bakal mereka pilih nanti? Dan, bagaimana pula kita berharap adanya partisipasi dan kontrol warga terhadap setiap tahapan dan jadwal Pilkada? “Siapa yang jadi bupati itu tidak penting, karena nanti juga kami kerja sendiri baru makan. Paling juga timses dan dan keluarga pejabat saja yang diperhatikan. mereka hanya butuh kami punya suara,” keluh magun Tinus.
Sepenggal ceritera di atas, sejatinya sudah layak bagi kita untuk menggugat lembaga penyelenggara Pemilu. Kemana mereka dan apa saja yang dilakukan hingga rakyat pemilik sah negeri ini tidak tahu apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan penyelenggara Pemilu? Pilkada identik dengan pesta demokrasi, berlangsung karena ada dukungan anggaran daerah yang sumbernya tentu tidak lain adalah pajak yang dipungut dari warga-warga pemilik sah negeri ini, maka layaklah bila mereka berhak tahu seluruh tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pilkada. Pelaksanaan setiap tahapan dan jadwal Pilkada yang terbuka adalah bentuk dari pertanggungjawaban penggunaan uang rakyat.
Informasi tahapan dan jadwal kepada warga dan pemilih adalah upaya melaksanakan Pemilu dan Pemilihan dengan mengedapankan prinsip transparansi. Maka penting untuk kita sampaikan kepada mereka oknum penyelenggara Pemilu bahwa tanggungjawab penyebaran informasi Pemilu dan Pemilihan sebagai bagian dari upaya membuka ruang control dan pengawasan masyarakat dan adalah tanggungjawab semua tingkatan penyelenggara Pemilu. Bilapun dimandatkan kepada penyelenggara Pemilu tingkat bawah, maka mestinya mereka terfasilitasi secara finansial yang memadai. (Jangan sampai anggaran operasional dan honor selalu datang terlambat setiap bulan).
Patut untuk diketahui bahwa dari puluhan milyar rupiah anggaran daerah digelontorkan untuk mendanai hajatan pesta demokrasi yang namanya Pilkada, ada didalamnya anggaran untuk sosialisasi. Maka gunakanlah anggarannya untuk kepentingan sosialisasi dan pendidikan politik demi pencerdasan warga Pemilih. Jangan pindahkan anggaran untuk kepentingan lainnya. Pemiilh adalah Tuan yang harus dilayani, dan semoga ketidaktahuan warga terhadap tahapan dan jadwal Pilkada pun bukan bagian dari strategi menutup ruang kontrol penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.
Ok, sampai di sini kita pindah lagi ke kandidat dan tim pendukungnya. Sepenggal ceritera di atas tentang ketidaktahuan warga dan pemilih terhadap tahapan dan jadwal, pun layak untuk dijadikan landasan untuk menggugat para peserta Pemilu, kandidat dan tim pendukungnya. Semua propaganda politik itu arahnya untuk membuat warga pemilih jatuh cinta dan memilih kandidat calon pemimpinnya. Mereka para warga pemilih berhak tahu, siapa kandidatnya, bagaimana latar belakang kehidupanya (soal asal, usul, keluarga, rumah tangga, pendidikan) dan tentang apa yang mau dia (kandidat calon) perjuangkan, bila kemudian terpilih menjadi pemimpin.
Karena itu penting bagi kandidat dan terutama para pendukungnya untuk menjelaskan dengan jujur setiap sisi kehidupannya atau sisi kehidupan orang yang diusung, juga tentang alasan mengapa Kandidat terpanggil untuk mencalonkan diri sebagai calon pemimpin sehingga layak untuk dipilih dalam ajang Pilkada nanti. Warga dan Pemilih juga berhak tahu, apa pandangan kandidat terhadap Lewotana Lembata ini. (saya menyebut Lewotana, karena makna Lewotana lebih dalam daripada sekedar menyebut Kabupaten).
Harapan idealis sebagaimana yang saya sampaikan, nampaknya masih jauh panggang dari api. Hari ini di tengah kemajuan teknologi informasi, melalui platform medsos kita disodorkan pada fakta-fakta miris. Para kandidat datang ke tengah masyarakat dengan hanya mengusung tagline imaginer, sementara di ruang medsos para pendukung ribut mendebat asal usul calon, dan mengklaim yang paling bisa merebut kepercayaan karena sosok figur yang diusung datang dari kalangan warga kelas tertentu, klaim sebagai yang paling bisa membuat Lembata tentram adem, dan bahkan ada pula sosok calon yang hadir seolah yang paling berjasa menjadikan Lembata sebagai sebuah kabupaten.
Masinng-masing calon dan pendukungnya berusaha sekuat tenaga dengan segala cara, meyakinkan warga dan pemilih bahwa dirinya atau calon yang dibelanya adalah yang paling populer dan paling berpeluang menang Pilkada, hanya dengan dasar survei dari lembaga suvei. Ini klaim aneh dan menggelitik. Karena mereka (Kandidat dan pendukungnya) lupa bahwa popularitas seseorang bukan menjadi tolok ukur untuk calon tersebut terpilih menjadi pemimpin. Hemat saya, survei popularitas itu hadir sebagai syarat awal apakah seseoarang layak untuk dicalonkan atau mencalonkan diri, bukan melihat peluang menang dan kalah dalam Pilkada.
Iya, bahwa sosok siapa calon pemimpin dengan latar belakang kehidupan itu penting, tetapi dalam konteks Pilkada atau dalam ajang pencarian sosok pemimpin kabupaten, yang dinanti rakyat adalah sosok calon yang hadir dengan visi, misi dan program kerja yang membumi, yang paling bisa dicapai dan dianggap paling bisa membawa rakyat sedikitnya mendekat kepada perubahan yang lebih baik.
Artinya, perdebatan sosok siapa yang layak menjadi pemimpin sudah tidak lagi tentang siapa dan datang dari mana, tetapi sudah harus menyentuh apa yang dia mau buat untuk Lewotana ini. Paparkan data tentang masalah dan potensi yang bersandar pada fakta-fakta kekinian Lembata, lalu sampaikan rencana apa yang mau dibuat untuk mengatasi masalah yang membawa Lembata dan rakyatnya ke posisi yang lebih baik.
Bukan malah lelah mendebatkan sosok karakter calon dan asal-usulnya, hingga harus saling melukai satu dengan lainnya. Bila Pilkada adalah perang maka belajarlah kepada Sun Tzu. Dalam buku “Art of War” (seni berperang) Sun Tzu mengajarkan untuk memenangkan perang tanpa membunuh lawan, tetapi kemenangan diraih dengan membuat lawan mengerti tentang kelemahnnya.
Perang akan dimenangkan bila punya rencana aksi yang terdefinisi dengan baik, dan tidak bergantung hanya pada kekuatan semata. Memperdebatkan visi misi sejak dini sebelum masa kampanye adalah upaya untuk menggali informasi lebih luas dari warga, dan pula adalah cara untuk mengenal kekuatan dan kelemahan calon yang diusung dan juga cara untuk mencari letak kekuatan dan kelemahan calon lawan.
Jenderal perang atau dalam konteks pilkada adalah ketua TimSes mesti punya strategi pemenangan, dan mampu mengatur strategi serangan prajurit. Fakta kekinian menuju tarung pilkada Lembata 2024, prajurit perang seperti dilepas begitu saja. Sepertinya para jenderal perang hanya membekali prajuritnya dengan sedikit amunisi tentang siapa calon dan dimana zona perang, tanpa menjelaskan siapa lawan perang sesungguhnya. Sepertinya pula hanya ada perintah sang jenderal bahwa calon yang dibela adalah orang hebat, dengan integritas dan kecerdasan yang mumpuni, sehingga yang ditangkap prajurit adalah pengkultusan individu.
Berbekal sepenggal informasi dari sang jenderal, timses bergegas turun medan, membunuh siapapun individu yang kritis membedah sisi lemah calon dan timnya. Bagi timses lapangan, senjata sudah dihunus kedepan, dan siapapun dan apapun yang berhadapan dengannya adalah lawan dan merupakan target untuk dihabisi. Pada titik inilah perdebatan menjadi tidak ilmiah, dialektika dikesampingkan, fakta dipinggirkan, dan muncul adalah logika pembenaran yang mengarah pada pengkultusan individu.
Dalam perang, menurut Sun Tzu, kita harus terlihat kuat saat kita tahu kita lemah, dan harus terlihat lemah saat kita tahu kita kuat. Dalam perang, prajurit dilarang membunuh musuh yang berpotensi untuk diajak kerjasama membocorkan strategi lawan, dan dalam perang prajurit dilarang membakar perbekalan musuh. Bekal musuh, adalah cadangan ransum bagi pasukan pemenang.
Membaca fakta kekinian menuju tarung pilkada sebagaimana yang saya ulas dari atas, seolah Lembata menjelang Pilkada adalah zona perang tak bertuan. Direbutkan oleh kelompok-kelompok yang politik yang lapar akan kuasa. Sementara diujung sana, rakyat sang empunnya negeri bingung memikirkan bagaimana hidup lebih baik di masa mendatang. Semoga.***
Wangatoa, 30/7/2024
Disklaimer : Ulasan diatas berdasar amatan penulis secara pribadi, dan sebagai respon terhadap situasi kekinian Lembata.