Oleh: Robert Bala
Rekan dan Sesama Penulis
Saya tidak tahu apakah pernah bersua langsung dengan Uskup Labuan Bajo yang diumumkan pada Jumat, 21/6/2024. Tetapi secara online, pertemuan itu menjadi sangat kerap malah bisa disebut pertemuan harian. Ini tentu bukan saja karena sesama alumnus dari STFK (kini IFTK) Ledalero, tetapi lebih terutama karena sesama penulis. Pertemuan itu terjadi di korarn nasional, daerah, media sosial.
Memang saya sadari bahwa sebelum menjabat Rektor Unika St. Paulus Ruteng, masih bisa mendapatkan tulisan di opini. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan karya ‘paper’ yang ilmiah dan panjang, ringkasan pendapat melalui opini media massa tentu sangat diharapkan.
Tidak saja opini. Candaan dan olok-olokan sambil mengingat ‘kekurangajaran’ rekan-rekannya merupakan ahl yang khas. Tetapi celoteh itu selau membuat tertawa karena MR selalu menertawakan dirinya sendiri.
Sebagai penulis di era digital, memang candaan dan sajian ringan seperti ini sangat dibutuhkan. Di tengah persaingan dan iri hati yang tidak saja terjadi di dunia politik tetapi bahkan di antara para imam dan biarawan-biarawati, MR hadir dengan candaan segarnya yang polos. Sayangnya, oleh beban yang berat dan keseriusan, kadang membuat hal-hal kecil ini minggat. Itu yang terasa dengan MR dalam setahun terakhir setelah jadi pejabat tertinggi di UNIKA ST. PAULUS RUTENG.
Mencuri Perhatian
Apa yang sebenarnya mencuri perhatian dari MR sebagai pribadi? Tentu orang yang paling dekat lebih mengenalnya dan lebih pantas menulis. Yang lain (termasuk penulis), hanya bisa meraba dengan kemungkinan salah lebih banyak dari benarnya. Itulah yang bakal terjadi dengan tulisan ini.
Pertama, sebagai seoang penulis yang bisa tembus ke Kompas, maka MR menjadi orang segelintir yang bisa mencapainya. Malahan dia sudah ‘tembus Kompas’ saat masih menjadi mahasiswa di STFK (kini IFTK) waktu itu.
Mengutip penulis sangat produktif, Masri Putra Sareb yang juga penulis hampir 100 lebih buku, dan tulisan opini di koran nasional yang saat itu sangat memanjakan penulis dengan honor yang masih tinggi, mengatakan hal ini: seseorang hanya bisa disebut penulis kalau ia telah menulis di Kompas (https://pepnews.com/index.php).
MR telah menderetkan diri sebagai penulis justru ketika masih mahasiswa di Ledalero. Itu menunjukkan bahwa MR memang bisa disebut ‘yunior’ karena masih ada senior yang (mengganp diri) lebih hebat, tetapi dari segi kualitas, ia sudah mantap dan dewasa mendahului umur dan bisa hadir sebagai contoh.
Kedua, MR juga mencuri perhatian saat pemilihan rektor Unika St. Paulus Ruteng. Saat itu ia harus berhadapan langsung dengan Rektor incumbent yang jauh lebih senior di atasnya. Banyak orang mengira, MR hanya sebagai ‘calon penggembira’. Ia tidak akan bakal lolos karena di hadapannya adalah Prof Dr Yohanes Servatios Lon. Ia sudah memiliki segalanya termasuk sebagai incumbent.
Tetapi MR membuat kejutan dan terpilh jadi Rektor. Tepatnya setahun 21 Juni 2023, ia terpilih dan dilantik menjadi Rektor. Inilah ujian perdana yang membuktikan bahwa MR meski dari segi usia dan pengalaman masih di bawah banyak seniornya, tetapi ia bukan ‘sembarangan’. Candanya yang polos menandakan MR yang apa adanya hal mana membuatnya bisa melangkah begitu jauh menjadi Rektor Perguruan Tinggi Katolik terbesar di Flores saat ini.
Ketiga, MR tidak henti-hentinya membuat surprise bukan didisain dri dirinya tetapi atas keterpilihannya menjadi Uskup Labuan Bajo. Memang dalam hal ini, banyak orang yang pasti mendambakan, kalau saja dibiarkan menjadi rektor satu periode saja sambil memberi kesempatan MR mengurus jenjang akademis tertinggi sebagai profesor mengikuti banyak dosen di St. Paulus. Tetapi jabatan ‘duniawi’ ini tentu bisa dikalahkan oleh pertimbangan Rohani yang jauh lebih penting menjadi Uskup. Sampai di sini surprise itu bisa menjadi lebih kuat karena ada nilai yang jauh lebih penting.
Republik Sialan
Pertanyaan yang jauh lebih penting sebenarnya tentang apa yang dinantikan dari Mgr Max Regus di Keuskupan Labuan Bajo?
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑎𝑙, 𝑈𝑠𝑘𝑢𝑝 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 23 𝑆𝑒𝑝𝑡𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟 1973 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝐺𝑒𝑟𝑒𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑎𝑖𝑘-𝑏𝑎𝑖𝑘 saja. Perlu diakui bahwa Manggarai Raya terutama Manggarai Barat memiliki tradisi intelektual yang sangat tinggi dengan hadirnya imam (dan awam) yang sangat cerdas. Hal ini menjadi sebuah kekuatan tetapi bila tidak dikelola bisa menjadi persoalan.
Hal ini pula yang bisa menjadi catatan bahwa tidak mudah bagi Uskup-uskup sebelumnya untuk bisa mengelola kekuatan para imam di Keuskupan Ruteng. Uskup-uskup sebelumnya: Van Bekum, Vitalis Jebarus, Edu Sangsun, dan Uskup leteng, tidak meninggalkan takhtanya dalam keadaan baik-baik saja. Semua itu diketahui juga oleh umat yang ‘menyimpan semuanya dalam hati’ saja.
Beruntung, pada masanya Uskup Sipri Hormat mengurai permasalahan itu dan menawarkan solusi yang terwujud kini dengan pemekaran keuskupan Ruteng. Dalam arti ini dan dengan tradisi baru sebagai keuskupan Baru, maka rancang bangun Gereja Lokal yang tangguh secara internal (terutama dengan para imam Keuskupan Labuan Bajo) akan menjadii landasan pijak untuk bisa bermisi keluar lebih meyakinkan. Ini adalah PR yang strategis tetapi tentu tidak mudah diwujudkan.
Kedua, dengan latar belakang pendidikan ‘duniawi’ (yakni: . Pendidikan 𝑝𝑎𝑠𝑐𝑎𝑠𝑎𝑟𝑗𝑎𝑛𝑎 𝑑𝑖 𝑈𝐼 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑢𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑢𝑑𝑖 𝑑𝑜𝑐𝑡𝑜𝑟𝑎𝑙 𝑑𝑖 𝑇ℎ𝑒 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝐼𝑛𝑠𝑡𝑖𝑡𝑢𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑆𝑜𝑐𝑖𝑎𝑙 𝑆𝑡𝑢𝑑𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖 𝑈𝑛𝑖𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐸𝑟𝑎𝑠𝑚𝑢𝑠 𝑑𝑎𝑛 𝐺𝑟𝑎𝑑𝑢𝑎𝑡𝑒 𝑆𝑐ℎ𝑜𝑜𝑙 𝑑𝑖 𝑈𝑛𝑖𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑇𝑖𝑙𝑏𝑢𝑟𝑔 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑑𝑎) dari Uskup MR, maka hal itu terasa sangat cocok dan klop dengan kebutuhan Manggrai Barat khussnya Labuan Bajo yang bukan lagi berada di level nasional tetapi malah internasional.
Masalah sosiologis sebagaimana menjadi kajian akademis Yang Mulia menjadi perangkat yang bisa membantu mengurai problem sosial yang dihadapi.
Lihat saja. Dari segi sosial, terdapat beberapa persoalan mendasar di Manggarai Barat. seperti rendahnya Tingkat pendidikan (60% berpendidikan SD) dan persoalan sosial ekonomis.
Kondisi pendidikan masyarakat yang hanya lulusan SD tentu bisa menjadi sasaran empuk bagi pendatang yang begitu mudah mengibuli rakyat. Rasanya belum cukup karena malah warga sendiri yang berpendidikan pun lebih cocok jadi makelar ketimbang membawa solusi. Orang yang pintar pun menggunakan kepintaran (atau lebih tepat kelicikan) untuk mengibuli rakyat.. Tanah yang dijual secara masif mudah dengan harga murah-meriah merupakan fakta di depan mata.
Fakta lain tentang masalah sosial ekonomi dengan tingkat kemiskinan hampir 22% (Kompasiana 8/8/2023) menunjukkan bahwa ternyata kemajuan di Labuan Bajo yang dibanggakan Jokowi dan jajarannya, dalam kenyataanya lebih membawa kesialan daripada kemaslaharatan. Di Keuskupan baru ini, Mgr Max Regus akan angguk-angguk ironis bahwa memang negara dan bangsa ini memang tepat dinamakan Republik Sialan.
Tapi ini tidak perlu diratapi. Tuhan telah mengirim utusannya yang tepat, seorang uskup sosiolog yang pasti bersama imam-imam yang rendah hati dan bijak, bisa mengurai persoalan dan dapat menghadirkan reksa pastoral yang baru.
Di sana nantinya pasti (bisa) akan dicampakkan ke api dan akan ada retak dan kertak gigi (Mat 13, 42). Bagi orang (oknum) yang selama ini banyak mengganggu dan menjerumuskan masyarakat tentu akan berkata: 𝗦𝗶𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗨𝘀𝗸𝘂𝗽 𝗠𝗮𝘅 𝗥𝗲𝗴𝘂𝘀 karena Uskup Labuan Bajo membuat mereka tidak nyaman.
Tetapi juga Republik Sialan yang selama ini dan akan merongrong kenyamanan masyarakat, saya hanya mau bilang ini, mereka akan berhadapan dengan umat yang uskupnya seorang sosiolog.***