Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik. Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.
Adanya ‘hasil’ yang mengistirahatkan 16 dari 25 anggota DPRD (2019 – 2024) itu menyakitkan. Kalau pengalaman dianggap guru terbaik maka perginya 64% dari angota DPRD lama bearti perginya guru politik di Lembata. Dengan segala kekurangan (tetapi juga ada kelebihan), para wakil rakyat itu harus pulang kampung dan tidak tahu kapan kembali seperti bunyi sebuah lago dolo Lein Gere: “𝑺𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 𝒔𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒐𝒂, 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒑𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊”.
Tetapi yang perlu jadi pertanyaan: apakah kepergian hampir 2/3 dari keseluruhan anggota DPRD lama itu menandakan bahwa mereka telah kalah bersaing dengan anggota yang baru ataukah ini sebuah kecelakaan politik? Apakah mereka yang menggantikan itu akan lebih baik (semoga saja), atauhkan ini adalah hasil dari politik Lembata yang kalau tidak diwaspadai bakal menjadi momok ke depannya?
Pragmatisme
𝑮𝒂𝒃𝒓𝒊𝒆𝒍 𝑫𝒖𝒓𝒂𝒉 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒐𝒅𝒂𝒚, 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒂𝒓𝒕𝒊𝒌𝒆𝒍𝒏𝒚𝒂: 𝑷𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝑰𝒅𝒆𝒏𝒕𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑬𝒕𝒏𝒊𝒔 𝑲𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑷𝒊𝒍𝒌𝒂𝒅𝒂 2017, 𝑱𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒋𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 2 𝒏𝒐 1 𝑱𝒖𝒍𝒊 2023, mengungkapkan hal yang cukup pantas untuk dikaji. Pilkada 2017 di mana Eliaser Yentji Sunur dan Thomas Ola Langoday menjadi pemenang cukup banyak oleh ‘𝒑𝒓𝒊𝒎𝒐𝒓𝒅𝒊𝒂𝒍 𝒔𝒆𝒏𝒕𝒊𝒎𝒆𝒏𝒕𝒔’ 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒏𝒕𝒊𝒎𝒆𝒏𝒕 𝒑𝒓𝒊𝒎𝒐𝒓𝒅𝒊𝒂𝒍. Disebutkan bahwa pada 2 wilayah Kedang dan Ile Ape yang memiliki 70% menunjukkan betapa identitas politik memainkan peran yang sangat penting dalam pemenangan.
Meski dalam wajah berbeda tetapi hasil pileg dari kedua wilayah ini: Kedang dan Ile Ape kembali hadir dalam pileg 2024. Bila keseluruhan Lembata bisa kita bagi (secara terpaksa) antara wilayah Ile Ape – Kedang dan ‘sisanya’), maka terdapat sebuah fenomen menarik untuk dikaji.
Dari hasil pileg, semua anggota DPRD 2024 dari Kedang tidak ada seorang pun yang terpilih (meski salah satunya pernah menjabat pada periode sebelumnya 2014 – 2019). Artinya, semuanya ‘tersingkir’ secara ramai-ramai (dan barangkali menyakitkan). Hal yang sama hampir terjadi juga untuk Dapil 2, Ile Ape, Ile Ape Timur dan Lebatukan. Dari 5 anggota, hanya ada dua yang lolos. Yang lainnya adalah wajah baru.
Pada sisi lain, hal menarik justru terjadi di Dapil 1 Nubatukan dan Dapil 4 (Nagawutun, Atadei, Wulandoni). Justru di kedua dapil ini anggota lama masih cukup dipertahankan. Ada 4 dari 7 anggota dari Dapil 1 dan 3 dari 5 anggota dari Dapil 2. Ini bisa memberi ruang untuk secara tidak berani menarik kesimpulan bahwa 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒑𝒊𝒍 𝒊𝒏𝒊, 𝒑𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 (𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒌𝒊𝒕) 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒊𝒔𝒕𝒊𝒔 𝒕𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝒂𝒏𝒈𝒐𝒕𝒂 𝑫𝑷𝑹𝑫 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒏𝒈𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂. 𝑺𝒆𝒍𝒂𝒊𝒏 ‘𝒉𝒖𝒌𝒖𝒎𝒂𝒏’ 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒏𝒈𝒈𝒐𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏𝒈 ‘𝒎𝒆𝒓𝒂𝒌𝒚𝒂𝒕’, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊𝒂𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍.
Dengan dua contoh ini tentu belum bisa mengambil sebuah kesimpulan yang kuat. Tetapi hal ini bisa memberikan sinyal untuk menarik kesimpulan bahwa memang ‘ada sesuatu’ (𝑨𝒅𝒂 𝒆́𝒉 …’). Yang dimaksud, memang politik Lembata ditentukan oleh dua wilayah ini dan sudah menjadi rahasia umum seperti ditulis Durah Langoday tentang pilkada 2017 dengan kemenangan paket Sunday.
Tetapi secara ke dalam juga nampaknya orang Kedang sendiri juga sedang memainkan pragmatisme politik yang bisa saja ‘ngeri-ngeri sedap’. Hal ini bisa dilihat dari hasil pilkada. Rupanya ada semacam kesepakatan tidak tertulis (atau ramai-ramai) untuk mendukung politisi yang baru sama sekali dan membuang yang lama karena sudah tidal laku atau karena tidak memenuhi janji pragmatisme. Kini mereka ‘coba’ ke lain hati sambil berusaha coba berjanji lagi.
Tetapi di sinilah persoalan berlanjut. Karena politik yang dilaksanakan tidak didasarkan pada pijakan yang kuat maka dikuatirkan pada pileg berikutnya akan terjadi yang sama. Yang lama dianggap seperti Merpati yang (Tak) Ingkar Janji dan karena itu mereka akan beralih ke orang lain. Tentu peralhian seperti itu tidak gratis. Hal itu akan rentan terhadap ‘money politics’ hal mana terjadi di banyak tempat di negeri ini meski kita berharap hal itu tidak terjadi di Kedang.
Lalu apa konsekuensi dari fenomena seperti ini terhadap pilkada?
Pertama, bila pileg menjadi indikator terdekat, maka bisa dipastikan bahwa ‘permainan’ politik pragmatis di Kedang (dan Ile Ape) akan menentukan hasil pilbup Lembata. Itu berarti, calon yang diajukan oleh Kedang (terutama) dan Ile Ape besar kemungkinan akan terpilih menjadi bupati sejauh isu identitas wilayah itu dikemukakan dan terutama lagi ketika didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur politik yang mamadai untuk memobolisir dukungan masssa.
Bila diteropong dalam arti ini bisa dipastikan bahwa fenomena yang terjadi dalam pilkada 2017 dengan memajukan Eliaser Yentji Sunur dan Thomas Ola Langoday akan bisa terulang untuk pilbub 2024. Itu berarti kehadiran politisi pengusaha dengan dukungan infrastruktur politik yang cukup bisa saja memenagkan pertaruhan. Mengapa bisa terjadi? Hal itu tentu semakin kuat Karena melihat pileg 2024 sudah membuktikan di mana lebih disukai wajah baru yang diharapkan membawa (dan memberi sesuatu).
Terus apa yang bisa dilakukan terhadap fenomen seperti ini?
Pertama, arus politik identitas yang dimainkan baik secara eksternal (demi memenangkan paket dari wilayah) atau secara internal (demi menyingkirkan orang sendiri) seperti yang terjadi di Kedang dan Ile Ape mestinya menjadi sebuah pembelajaran khusus bagi politisi dari kedua wilayah ini. Yang dimaksudkan, politik identitas kewilayahan itu bak pisau bermata dua yang bisa efektif keluar untuk menusuk orang lain tetapi juga bisa menusuk diri sendiri. Hal inilah yang barangkali dirasakan secara sangat menyakitkan oleh 8 politisi dari Kedang dan 4 dari Ile Ape yang bergabung dalam Poros 16 sebagai sebuah pembelajaran politik.
Karena itu sebagai orang yang berpengalaman dalam politik, pengalaman ini menjadi guru bagi politisi yang ‘tersingkir’ kali ini (dan terbagung dalam Poros 16) untuk memainkan sebuah peran yang lebih lintas wilayah dalam mencari pemimpin berkualitas. Mereka dengan cepat meyakinkan pemilihnya yang masih setia bahwa pemimpin Lembata ke depan harus bebas dari isu wilayah dan harus terlepas dari politik ‘ada eh…) atau politik uang tetapi harus benar-benar lahir dari kualitas diri yang diandalkan. Bila terjadi demikian maka diyakini, Bupati dan Wakil Bupati terpilih akan menjadi pembeda dalam pilkada 2024 nanti.
Kedua, dengan berpengalaman satu atau dua periode di “Peten Ina”, maka Poros 16, maka politisi berpengalaman ini diharapkan memainkan peran seperti ‘think-tank’ terhadap pemerintahan baru. Peran seperti ini hanya mungkin kalau dari sekarang, Poros 16 memainkan peran mengkaji dan memetakan persoalan di Lembata dan pada akhirnya mendapatan orang yang diharapkan pas untuk bisa mengisi kekosongan yang telah dipetakan dan mengeksekusi program yang telah ditetapkan.
Bila peran ini sukses dihadirkan oleh Poros 16, maka pemimpin yang dicari Lembata bakal didapat dan kerinduan akan pemimpn yang diharapkan dapat tercapai. Ia sekaligus menyadarkan bahwa pemimpin yang didambakan selama ini tidak terwujud karena pergolakan politik Lembata terlampau dihinggapi oleh arus 𝑨𝒅𝒂 𝒆́𝒉 …’yang mengukur keterpilihan seseorang dari apa yang ia berikan di hari (atau beberapa hari sebelumnya) pencoblosan.
Inilah harapan yang tentu tidak saja pada Poros 16 tetapi pada semua orang Lembata untuk turut ‘bermain’ menghadirkan pemimpin berkualitas. Pemimpin yang terpilih bukan karena dia orang ‘Edang’ atau Ile Ape, Leba atau Nubatukan. Juga bukan karena berasal dari Selatan (Nagawutun, Wulandoni, dan Atadei), tetapi karena ia bisa hadir lintas wilayah dan sanggup menghadirkan Lembata yang beda. (*)