Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik. Universidad Complutense de Madrid – Spanyol
Pileg Lembata sudah berakhir. Penetapan 25 anggota DPRD 2024 -2029 menunjukkan bahwa 16 dari 25 anggota DPRD terpilih adalah ‘wajah baru’. Sebuah perubahan yang tidak bisa dianggap kecil. Di satu pihak, terbukti rakyat cukup jeli melihat siapa yang bakal naik dan siapa yang diistirahatkan. Sebuah hasil yang tentu saja mengecewakan terutama mereka yang tersingkir. Mereka telah berkorban tidak saja jiwa tetapi terutama raga (uang).
Pertanyaannya, apakah anggota DPRD yang tersingkir itu akan diam saja terutama dalam geliat Pilkada Lembata? Pertanyaan ini tentu jauh lebih ‘seksi’. Kita tidak bertanya tentang 16 anggota baru karena mereka masih harus ‘saling kenal’. Yang jauh lebih menarik adalah bertanya atau malah mempertanyakan arah dinamika politik yang bisa saja ditentukan oleh mereka yang tidak akan duduk lagi di Peten Ina. Dari segi pengalaman, mereka sudah makan asam-garam ‘lewoleba’. Karena itu arah dukungan politik mereka tentu menarik untuk dianalisis.
Tetapi analisis ini tidak sekadar sebuah potret untuk Lembata. Ia telah menjadi fenomena nasional pascareformasi hal mana ditulis 𝑨𝒎𝒃𝒂𝒓𝒅𝒊, 𝑲𝒖𝒔𝒌𝒓𝒊𝒅𝒉𝒐 dalam bukunya 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒖𝒏𝒈𝒌𝒂𝒑 𝑷𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝑲𝒂𝒓𝒕𝒆𝒍. 𝑺𝒕𝒖𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝑺𝒊𝒔𝒕𝒆𝒎 𝑲𝒆𝒑𝒂𝒓𝒕𝒂𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂, 2009. Ada fenomena yang disebut dengan 𝒌𝒐𝒂𝒍𝒊𝒔𝒊 𝒕𝒖𝒓𝒂𝒉 (𝒈𝒓𝒂𝒏𝒅 𝒄𝒐𝒂𝒍𝒊𝒕𝒊𝒐𝒏). Di sana akan ada upaya lintas partai dari politisi (anggota DPR(D)) yang sudah tidak terpilih karena mereka merasa senasib, seperasaan, dan seperjuangan (yang tidak dihargai rakyat karena tidak terpilih). Adanya perasaan itu akan mendorong mereka untuk menggagas sebuah ‘𝒌𝒆𝒑𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒐𝒍𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇’ yang kemudian dikelola secara kolektif sebagai satu ‘kelompok besar’.
Apa yang bakal dilakukan kemudian? Mereka akan memainkan 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒎𝒑𝒊𝒍𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 untuk bisa mengorbitkan orang yang bisa dianggap bisa menjadi ‘andalan hidup’ di kemudian hari. (Sekali lagi ini hal yang sudah terjadi di daerah lain dan moga-moga tidak terjadi di Lembata).
Di tempat lain (moga-moga tidak terjadi di Lembata), akan hadir (tanpa diundang), orang-orang yang enjadi ‘𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒄𝒂𝒍 𝒃𝒓𝒐𝒌𝒆𝒓’ atau perantara politik yang akan memainkan peran ‘diplomatisnya’ untuk meloloskan jagoannya. Di sana bisa terjadi banyak hal termasuk ‘𝒎𝒐𝒏𝒆𝒚 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒄𝒔’ atau politik uang. Sekali lagi ini yang sudah terjadi di luar Lembata dan kalau soal Lembata hanya berupa awasan sambil berasumsi sebagai ‘peringatan’.
Mengapa rentan terhadap ‘𝒎𝒐𝒏𝒆𝒚 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒄𝒔’? Karena bagi yang tidak lolos menjadi anggota DPRD (sekali lagi terjadi di luar Lembata dan ‘ama dorang’ tidak usah tersinggung kalau memang tidak ada), pileg telah menjadi momen yang paling mengecewakan dan menyayat hati. Tidak sedikit pengorbanan jiwa (dan terutama raga) yang berakhir mengecewakan. Karena itu upaya seperti ini menunjukkan bahwa perjuangan tidak selesai. Masih banyak jalan ke Roma (tidak tahu Roma yang di Vatikan atau yang ada di Omesuri).
𝑷𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍
Lalu bagaimana menyikapi gejala 𝑝𝑒𝑟𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑐𝑎𝑙 𝑏𝑟𝑜𝑘𝑒𝑟 yang bisa saja dimainkan oleh politisi pragmatis?
Pertama bila ada ‘gelagat’ maka sesungguhnya yang terpikir adalah sebagai upaya jalan pintas untuk merebut kesejahteraan rakyat. Yang sedang ditawarkan adalah ‘keuntungan jangka pendek’ dan politik ‘tanam jasa’ (dari para broker) untuk masa depan yang belum menentu setelah tidak ada satu pun yang ingat mereka termasuk ‘peten ina’. Rakyat pada sisinya sudah pasti jatah kesejahteraannya telah berpindah tangan kepada para broker.
Bila sampai terjadi seperti ini maka siapa yang rugi? “𝑬𝒏𝒈𝒌𝒐 𝒌𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒂, 𝒆𝒏𝒈𝒌𝒐 𝒌𝒂 𝒂𝒎𝒂”. Lembata akan seperti yang ‘itu-itu’ karena 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒄𝒂𝒍𝒐𝒏 𝒃𝒖𝒑𝒂𝒕𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒘𝒂𝒌𝒊𝒍 𝒃𝒖𝒑𝒂𝒕𝒊 ‘𝒅𝒊𝒌𝒆𝒓𝒖𝒌 𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔-𝒉𝒂𝒃𝒊𝒔𝒂𝒏’, 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 5 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒌𝒆 𝒅𝒆𝒑𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 ‘𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒐𝒌𝒐’. Sekali lagi, kalau pun awasan ini belum pernah terjadi, maka esensi tulisannya untuk mengingatkan saja.
Kedua, dengan belajar dari pengalaman, rakyat Lembata menjadi sangat cerdas untuk menentukan 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 (𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝒄𝒉𝒐𝒊𝒄𝒆). Apa itu? Tanpa tulisan ini pun, orang Lembata sudah cukup paham. 𝑺𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒌𝒆𝒑𝒕𝒊𝒔𝒊𝒔𝒎𝒆 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒈𝒆𝒍𝒂𝒈𝒂𝒕 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒅𝒊𝒄𝒖𝒓𝒊𝒈𝒂𝒊 “𝒂𝒅𝒂 𝒆𝒉…”.
Inilah sikap dasar yang luar biasa yang dimiliki orang Lembata. Kalau pun ada yang terpaksa memberi, mungkin saja mereka terima, soalnya ‘𝒆𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒐…’ (𝒊𝒏𝒊 𝒅𝒂𝒈𝒊𝒏𝒈 𝒍𝒆…). Tetapi setelah terima, apakah mereka pilih orang yang memberi: “𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊…”. Hal itu sudah terbukti minimal dibenarkan oleh mereka yang telah keluarkan dana banyak sekali tetapi tidak terpilih alias ‘𝒌𝒐𝒔𝒐𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒉 𝒓𝒆𝒖!’
Pilihan rasional inilah yang menjadi pegangan dan kekuatan dalam mengevaluasi, siapa yang diharapkan menjadi bupati dan wakil bupati lima tahun ke depan. Kandidat terbaik tidak bisa diukur dari uang yang dimiliki. Demikian juga survei tentang calon terbaik tidak ditentukan oleh dana survei yang harus disumbangkan agar bisa mengetahui calon terbaik. Partai harusnya melakukan hal itu tanpa perlu meminta dari kandidat dan bukan dilakukan dengan mewajibkan calon dari awal. Ini Langkah yang secara logis belum bisa ditemukan pembenaran argumentatifnya.
Lalu siapa yang bisa dijatuhkan pilihan rasional rakyat? Rakyat punya rekamannya sendiri. Rakyat punya ingatan tidak saja ingatan jangka pendek tetapi melalui ‘tutu koda’, mereka juga punya ingatan jangka panjang untuk mengevaluasi kandidat mana yang paling bisa diandalkan. Pemimpin hebat itu bisa dilihat dari apa yang ditorehkan dalam sejarah hidupnya, kemampuan berkomunikasi, pengakuan dan kepercayaan yang perlu diberikan kepadanya.
Lalu bagi Tim 16, tentu awasan yang ada hanya didasarkan pada hal yang sudah terjadi di daerah lain. Di Lembata, dengan menjadi kabupaten pulau, kita bisa berbeda dan Poros 16 tidak seperti yang diawaskan. Ke-16 anggota DPRD yang tidak sempat lolos, 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒔𝒊 𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒆𝒓𝒖𝒎𝒖𝒔 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 ‘𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒄𝒂𝒍 𝒃𝒓𝒐𝒌𝒆𝒓’. 𝑴𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒊𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒂𝒏𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒋𝒂𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒄𝒂𝒏𝒕𝒊𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒎𝒐𝒅𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒅𝒊 2029 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊. 𝑴𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒂𝒅𝒂 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝑨𝒎𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 ‘𝒕𝒂𝒏𝒂𝒎 𝒋𝒂𝒔𝒂 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂 𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈’. 𝑩𝒊𝒔𝒂 𝒕𝒐𝒉 𝑹𝒆𝒖? (*)