Oleh: Rifai Mukin
PNS Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata
Sekitar jam 17.32 Selasa 9 April 2024, takbir, tahmid, dan tasbih bergema di seluruh Indonesia, menandakan bahwa puasa 30 hari Ramadhan tahun ini telah berakhir. Hati senang karena esok adalah 1 Syawal. Para dai dan penutur agama sering menyebut Idul Fitri, yang akan kita rayakan, sebagai Hari Kemenangan.
Seolah-olah kita juga mengamini apa yang disampaikan para dai dan pembicara agama tersebut. Apakah Hari Raya Idul Fitri benar-benar Hari Kemenangan?
Lantas kemenangan dari apa? Siapa yang telah menang? Telah menjadi hal yang lumrah bahwa 1 Syawal adalah keberhasilan menjalankan puasa selama satu bulan lamanya? Kemenangan yang begitu enteng dan remehtemh ataukah menang karena tak putus mengerjakan shalat tarawih? atau menang karena mengkhatamkan al-Qur’an? atau menang karena bersedekah dan membayar zakat?
Sangat mengejutkan bahwa makna kemenangan begitu sederhana jika pengertiannya hanya seperti yang disebutkan sebelumnya. Di antara sebelas bulan lainnya, bukankah intensitas ibadah yang sedemikian rupa hanya terjadi selama satu bulan? Itu juga berlaku jika ibadahnya benar-benar ikhlas lillahi ta’ala.
Itu pun jika puasanya memuaskan seluruh tubuh kita, bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan berhubungan seks dengan pasangan, tetapi juga memuaskan segala rasa yang berasal dari keinginan hati kita. Itu juga berlaku untuk tarawih yang tidak terbatas pada adu cepat atau lambat. Itu pun jika tadarus al-Qur’annya mencakup memahami makna dan kandungannya dan menanamkan nilai-nilai Qur’ani dalam dirinya, bukan hanya membacanya berulang kali. Itu pun jika sedekah dan zakatnya didasarkan pada rasa empati dan kemanusiaan terhadap sesama makhluk Tuhan daripada riya atau keinginan untuk dilihat sebagai dermawan.
Ramadhan adalah seperti kawah candradimuka tempat pelatihan spiritual dan sosial yang dimaksudkan untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang muslim sehingga mereka menjadi mukmin dan kemudian muttaqin. Setelah Ramadan berakhir, pengikutnya akan berubah menjadi orang baru dengan kualitas pribadi yang baru dan tingkat kesalehan ritual dan sosial yang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Ini adalah arti sebenarnya dari kemenangan.
Namun sebaliknya, ketika kita beribadah selama bulan suci Ramadan dengan sangat khusyuk, dengan puasa di siang hari, qiyam al-lail di malam hari, dan tadarus al-Qur’an yang sangat kuat, sedekah dan zakat yang dikeluarkan dalam jumlah besar, tetapi begitu memasuki bulan Syawwal, yang artinya adalah “peningkatan”, kualitas dan kuantitas ibadah kita menurun, dan alih-alih mendapat kemenangan, kita malah kalah.
Tidak ada alasan untuk menunjuk orang lain. Lihatlah diri kita sendiri: apakah kuantitas dan kualitas ibadah kita jauh lebih baik di luar bulan Ramadan daripada di bulan lain? Atau apakah justru ghirah atau semangat ibadah kita hanya terlihat selama bulan Ramadan?
Apakah keinginan kita untuk shalat berjamaah lebih tinggi atau setidaknya sama dengan ketika kita melakukannya di bulan Ramadan? Apakah tadarus al-Qur’an kita di hari-hari biasa di luar bulan Ramadan sama intensnya dengan yang dilakukan selama bulan Ramadan, atau sebaliknya? Apakah dorongan kita untuk berbagi kebahagiaan dengan memberi sedekah kepada orang tua di luar bulan Ramadan sama dengan dorongan kita untuk melakukannya di bulan Ramadan, atau malah menurun?
Selain itu, ada banyak pertanyaan lain yang bisa kita ajukan terkait dengan tindakan ritual dan sosial kita. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menentukan kemenangan atau kekalahan kita. Idul Fitri merupakan kembalinya fitrah manusia, kembalinya kemurnian seseorang seperti saat lahir. Jiwa tidak memiliki setitik noda atau dosa. Bersih, murni, dan suci. Ini adalah inti kemenangan.
Idul Fitri tidak hanya mengingatkan kita betapa pentingnya untuk kembali ke fitrah (suci) insaniyah kita, tetapi juga mengingatkan kita betapa pentingnya persaudaraan, yang dalam bahasa agama disebut “ukhuwah”. Persaudaraan ini akan menghasilkan sikap tasamuh (toleransi), al-musaawah (persamaan), dan yang paling penting, al-takaful al-ijtima’i (solidaritas sosial).
Nilai-nilai nasut (nasut) dan lahut (lahut) disatukan dalam Idul Fitri. Mereka yang menang adalah mereka yang menyatukan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan. Ini adalah arti kemenangan yang sebenarnya.
Bisakah kita mengatakan bahwa kita menang jika nilai-nilai kemanusiaan kita merosot dan nilai-nilai ketuhanan kita semakin hilang setelah Ramadhan? Mari sama-sama kita renungkan.
Akhirnya, saya ingin mengucapkan: “Selamat Ber-hari Raya Idul Fitri dan Ber-Lebar-an”. Lebarkan hatimu untuk memberikan maaf dan meminta maaf, Tidaklah terhina jika engkau mendahulukan memberikan maaf dan meminta maaf. Mungkin dengan car ini engkau benar-benar meraih kemenangan yang sesungguhnya
Semoga aku, engkau, dia, mereka dan semua orang hari ini benar-benar mendapatkan kemenangan hakiki yakni “Bersih dan Suci Lahir dan Batin.”
Saya dan keluarga “Mohon Maaf Lahir Bathin”.
“Minal aidin wa alfaizin”
Taqobbalaallhu minna wa minkum taqobbal ya karim. (*)
Tentang Penulis:
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, Lahir 1970, bergabung di Komunitas Penulis Lembata, nama pena Rifai Mukin, bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, jabatan Pengawas Sekolah (PAI), aktivitas lainnya Penakar Literasi, Karya Antologi: Lantera di Amakaka dalam Sepenggal Kisah Terukir Kenangan, Bakul Ikan, Surat Cinta dan Terompet Natal dalam Untuk Cinta Yang Tak Pernah Berhenti Mengalir dan lainnya, jejak digital IG @Rifaimukin, FB@Rifaiaprian, WA +628123 8668 071, Motto: Hidup hanya sekali, bermakna bagi kehidupan