Oleh: 𝑹𝒐𝒃𝒆𝒓𝒕 𝑩𝒂𝒍𝒂
𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒈𝒖𝒎 𝑰𝒈𝒏𝒂𝒔 𝑲𝒍𝒆𝒅𝒆𝒏
𝑷𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒃𝒖𝒌𝒖: 𝑰𝑵𝑺𝑷𝑰𝑹𝑨𝑺𝑰 𝑯𝑰𝑫𝒖𝑷, 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒏 𝑲𝒆𝒄𝒊𝒍 𝑺𝒂𝒓𝒂𝒕 𝑴𝒂𝒌𝒏𝒂 (𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕 𝑲𝒂𝒏𝒊𝒔𝒊𝒖𝒔, 𝑱𝒐𝒈𝒋𝒂𝒌𝒂𝒓𝒕𝒂, 2021)
Dalam beberapa tahun terakhir, tanpa saya sadari, cukup banyak pembaca yang mengkategorikan saya sebagai penulis ‘eulogi’ khusus bagi yang wafat. Julukan ini bisa disebut berlebihan. Yang saya lakukan hanyalah mengangkat hal yang terlupakan atau kalau tidak ditulis maka ada potensi untuk dilupakan.
Tetapi 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐬𝐮𝐥𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐠𝐧𝐚𝐬 𝐊𝐥𝐞𝐝𝐞𝐧. 𝐁𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐢𝐭𝐮 ‘𝐬𝐩𝐞𝐤𝐭𝐚𝐤𝐮𝐥𝐞𝐫’. 𝐒𝐚𝐲𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐚𝐤𝐮𝐢. 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐢𝐭𝐮 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫, 𝐤𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬, 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐡𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐫 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬.
Tetapi karena sudah terlanjur dapat julukan itu maka ada saja yang masih menagih. Jadilah tulisan ini, disampaikan setelah 4 hari wafatnya sastrawan, filsuf, dan sosiolog itu.
𝑺𝒆𝒌𝒂𝒍𝒊, 𝑪𝒖𝒌𝒖𝒑
Kalau berbicara dengan orang hebat tidak perlu berulang-ulang. Sekali saja cukup. Itulah ingatan yang masih kuat terpateri. Saya hanya bertemu secara personal dengan Ignas sekali saja. Itu terjadi tahun 2005 saat menjadi orang asing di Jakarta. Kata orang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒋𝒂𝒌𝒔𝒂𝒏𝒂𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉𝒂𝒏: 𝑫𝒂𝒏𝒊𝒆𝒍 𝑫𝒉𝒂𝒌𝒊𝒅𝒂𝒆 𝒅𝒂𝒏 𝑰𝒈𝒏𝒂𝒔 𝑲𝒍𝒆𝒅𝒆𝒏. 𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒈𝒖𝒎𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒂𝒕𝒖𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓, 𝒌𝒆𝒅𝒖𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒂𝒅𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒑𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒊.
Saat bertemu Ignas, selain saya memperkenalkan diri sebagai seorang murid P. Leo Kleden SVD, juga saya membawa beberapa artikel yang sudah saya tulis di Kompas (saat itu baru 10 artikel).
Strategi pertama, berjalan lancar. Ignas sangat bangga dengan sang adiknya yang berkeliling hampir ke semua negara di dunia dalam jabatannya sebagai anggota Dewan Jenderal SVD di Roma.
𝑺𝒕𝒓𝒂𝒕𝒆𝒈𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒖 𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒆𝒓𝒌𝒆𝒏𝒂𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒍𝒊𝒈𝒖𝒔 ‘𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒌𝒖 𝒅𝒐𝒔𝒂’. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒍𝒖𝒌𝒂𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒃𝒆𝒓𝒉𝒆𝒏𝒕𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒊𝒎𝒂𝒎.
Ignas memandang saya dan mengatakan hal yang tidak saya duga. Sebagai sosiolog ia dengan jelas menyampaikan bahwa semasa masih di biara dengan dosis pembelajaran teologi, seseorang sangat hebat dalam teologi-spekulatif. Teologi baginya merupakan ilmu spekulatif tempat di mana rasio menjadi begitu berperan.
𝑷𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒍𝒂𝒊𝒏, 𝒔𝒐𝒔𝒊𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊, 𝒊𝒍𝒎𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎𝒊 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒊𝒇𝒂𝒕 𝒆𝒎𝒑𝒊𝒓𝒊𝒔. 𝑫𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒂𝒖𝒍 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒂𝒏. 𝑲𝒆𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒖𝒍𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕𝒊 𝒂𝒏𝒆𝒌𝒂 𝒌𝒆𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒎𝒊. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒌𝒂𝒓 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒐𝒏𝒆𝒌𝒕𝒊𝒗𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒎𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒅𝒂, 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒏, 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒎𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒅𝒊𝒐𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒊𝒌, 𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒌𝒏𝒂.
Saya terdiam dan merasa bahwa apa yang disampaikan oleh sosiolog yang saya kagumi itu benar. Minimal membenarkan pengalaman di Amerika Latin di mana iman begitu menyata dan membumi. 𝑫𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒅𝒊𝒑𝒂𝒌𝒔𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒎𝒊, 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒌𝒚𝒂𝒕, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒎𝒂𝒕. 𝑨𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒎𝒆𝒔𝒌𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 ‘𝒔𝒆𝒓𝒂𝒎𝒂𝒊’ 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍 𝒅𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝑻𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊 𝑷𝒆𝒎𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒋𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒎𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 ‘𝒅𝒊𝒂𝒅𝒂-𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏’ 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒕𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈 𝒔𝒑𝒆𝒌𝒖𝒍𝒂𝒕𝒊𝒇.
Saya lalu menyadari bahwa mungkin dengan profesi yang baru, saya harus belajar bagaimana bisa menjadikan teologi membumi dan bisa belajar dari sosiologi yang akrab dengan empiris untuk dijadikan bahan refleksi teologi. Sebuah pemikiran cemerlang tetapi saya masih merasa bagaimana bisa ‘mengawinkan’ keduanya dalam profesi saya yang aneh ini.
Dengan nasihat ini, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒉 𝒅𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 ‘𝒌𝒂𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈’ 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒍𝒂𝒈𝒊. 𝑫𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒕𝒂𝒓 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒌𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒌𝒊𝒕 𝒔𝒕𝒖𝒅𝒊 𝒉𝒐𝒎𝒊𝒍𝒆𝒕𝒊𝒌, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒄𝒐𝒃𝒂 𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌 𝒌𝒆 𝒓𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌𝒊 𝒍𝒂𝒈𝒊. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒍𝒊. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒍 𝒑𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒍𝒐𝒈𝒊𝒔. 𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏, 𝒊𝒍𝒎𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒆𝒔𝒂𝒊. 𝑴𝒖𝒍𝒂𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂 ‘𝒏𝒈𝒐𝒄𝒆𝒉’𝒅𝒊 𝑴𝒊𝒏𝒈𝒈𝒖𝒂𝒏 𝑯𝑰𝑫𝑼𝑷 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒃𝒆𝒕𝒖𝒍𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒓𝒖𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏.
Saya pun kemudian tanpa malu-malu menawarkan untuk menerbitkan buku HOMILI YANG MEMBUMI. Saya bermaksud meminta Kardinal Ignasius Suharyo memberikan kata pengantar. Itupun permintaan yang tidak tahu malu. Beruntung, Yang Mulia lalu menugaskan Rm Danto (Ketua Komisi Liturgi KAJ) untuk memberikan kata pengantar. Melaluinya saya hanya mau ‘ngoceh’ bahwa homili yang ‘tinggi-tinggi’ dan spekulatif itu perlu lebih membumi.
Ada keberuntungan lain dari buku dan tulisan-tulisan ini. Saya pun diminta memberikan kursus homiletifk di beberapa paroki. Kepada umat yang kelihatan tidak mau tahu banyak tentang latar belakang saya, saya hanya berpesan: ikuti apa yang saya sampaikan tetapi jangan ikuti apa yang saya buat.
Setelah tulisan itu, saya pun semakin ‘tidak tahu diri lagi’. Beberapa buku renungan begitu mudah diterbitkan. Karena buku dan tulisan-tulisan itu, banyak orang yang berikan apresiasi dan tetap memanggil ‘pater’. Saya pun tidak pernah sampaikan bahwa jangan panggil. Saya biarkan saja sampai mereka tahu sendiri atau pun karena sudah tahu tetapi mereka tetap nekad.
𝑺𝒕𝒓𝒂𝒕𝒆𝒈𝒊 𝒌𝒆𝒅𝒖𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒅𝒂𝒉𝒔𝒚𝒂𝒕. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒈𝒂 𝒂𝒑𝒊 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔. 𝑴𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒎𝒃𝒖𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒃𝒐𝒍-𝒔𝒊𝒎𝒃𝒐𝒍 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒐𝒏𝒔𝒆𝒑 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓𝒖𝒉𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏.
Inilah nasihat yang sangat kuat sambil saya terdiam. Saya terdiam untuk mengukur, apakah lebih dari 100 tulisannya di Kompas dari Pak Ignas (saat wafat sudah mendekati 200 artikel opini Kompas), bisa saya capai. Rasanya sulit, tetapi minimal pikirannya yang cemerlang dapat menghidupkan obor semangat saya. (Saat ini saya baru capai 65 artikel di Kompas, masih jauh tentunya).
Dengan menulis, kata Ignas, kita tidak hanya dikenal tetapi lebih terutama, pikiran kita dapat masuk dan mengubah banyak orang dalam berpikir dan bertindak. 𝑰𝒏𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒏𝒂𝒔𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒌𝒖𝒂𝒕. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒅𝒊𝒖𝒏𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑷𝑫𝑰𝑷 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝑲𝒐𝒏𝒈𝒓𝒆𝒔 𝒅𝒊 𝑺𝒂𝒏𝒖𝒓 𝑩𝒂𝒍𝒊 2010, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝑰𝒈𝒏𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖. 𝑫𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒇𝒐𝒓𝒖𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒆𝒏𝒈𝒔𝒊 𝒊𝒕𝒖, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆 𝑷𝑫𝑰𝑷 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒕𝒖 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒊 𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒓𝒊𝒏𝒕𝒂𝒉𝒂𝒏: 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒅𝒊𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒅𝒂𝒆𝒓𝒂𝒉 𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒊 𝑨𝒎𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂 𝑳𝒂𝒕𝒊𝒏.
Itulah topik yang diberikan kepada saya dan 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒉𝒐𝒓𝒎𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒕𝒖 𝒘𝒂𝒄𝒂𝒏𝒂 ‘𝒎𝒆𝒏𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍𝒌𝒂𝒏’ 𝒇𝒊𝒈𝒖𝒓 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒍𝒂 𝒅𝒂𝒆𝒓𝒂𝒉 𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒅𝒊𝒈𝒂𝒖𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒕𝒖 𝑷𝑫𝑰𝑷 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒅𝒆𝒓 𝒅𝒊 𝑺𝒐𝒍𝒐 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒏𝒚𝒂. 𝑩𝒂𝒓𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒅𝒊𝒖𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝑮𝒖𝒃𝒆𝒓𝒏𝒖𝒓 𝑫𝑲𝑰, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒂𝒓𝒖 ‘𝒏𝒈𝒆𝒉’. 𝑺𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒌𝒍𝒂𝒊𝒎 𝒅𝒊𝒓𝒊 ‘𝒊𝒌𝒖𝒕 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒉𝒊𝒓𝒌𝒂𝒏 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊’ (𝑴𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒌𝒍𝒂𝒊𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒔𝒆𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝑷𝑫𝑰𝑷 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒊𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝑴𝑲 ‘𝒕𝒂𝒌 𝒆𝒕𝒊𝒔’ 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒕𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒄𝒂𝒘𝒂𝒑𝒓𝒆𝒔, 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒖𝒏 𝒊𝒌𝒖𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒑𝒖𝒌𝒖𝒍, 𝒑𝒂𝒅𝒂𝒉𝒂𝒍 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒓𝒕𝒂𝒊).
Kembali ke topik. Inspirasi pembicaraan personal dengan Ignas, itulah pengalaman pertama dan terakhir kali. Ada kesempatan lain masih bertemu dengan Ignas, tetapi saat itu ia jadi narasumber dalam diskusi Lingkar Muda untuk para penulis Kompas. Bagi saya, berbicara dengan orang pintar seperti Ignas, cukup sekali. Pesannya sudah sangat masuk hingga ke sum-sum dan berkesan hingga kini.
𝑴𝒆𝒏𝒚𝒆𝒏𝒕𝒖𝒉 𝑲𝒂𝒌𝒊
Di Rumah Duka Carolus, lt. 8 “Mikael”, memori dengan Ignas seakan dihidupkan lagi. Ada kekuatan baru ketika saya terdiam di samping mayatnya. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒕𝒂𝒑 𝒘𝒂𝒋𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒏𝒕𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂. 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒏𝒕𝒖𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒂𝒕𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒊𝒂𝒎 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒌𝒂𝒕𝒂. Saya rasa ini sikap yang tepat untuk membiarkan roh Ignas merasuki saya dan bukan sebaliknya saya memaksakan kata-kata saya pada seorang sosiolog yang sangat disegani di republik ini.
Setelah merasa cukup, saya pun pamit pulang. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒐𝒈𝒐𝒉 𝒅𝒐𝒎𝒑𝒆𝒕 𝒔𝒂𝒚𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝑹𝒑 20.000 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈. 𝑪𝒂𝒓𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒏𝒂𝒊𝒌 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒕𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒎𝒖𝒓𝒂𝒉 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒌𝒆𝒏𝒅𝒂𝒓𝒂𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒕𝒊𝒕𝒊𝒑 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒔𝒕𝒂𝒔𝒊𝒖𝒏. 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒏𝒈𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏, 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒌𝒆 𝑺𝒕𝒂𝒔𝒊𝒖𝒏 𝑻𝒂𝒏𝒂𝒉 𝑨𝒃𝒂𝒏𝒈, 𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉 𝑹𝒑 36.000.
Meski bingung, saya coba gunakan pikiran saya yang sudah dijernihkan Ignas. Saya ambil keputusan melangkah saat lampu merah ke seberang, pinggir Fakultas Kedokteran UI. Setelah sampai di seberang, saya jadi sadar, kalau cara terbaik adalah jalan kaki. Inilah cara terbaik agar uang Rp 20.000 itu tetap utuh. Dan langkah pun saya ayunkan.
𝑫𝒊 𝒔𝒊𝒏𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒖𝒏𝒄𝒖𝒍 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒌𝒊. 𝑩𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒌𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒆𝒌𝒔𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒍𝒎𝒖𝒘𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕𝒊 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏-𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒑𝒊 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒎𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏-𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒎𝒊. 𝑱𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒌𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒋𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒊𝒏𝒋𝒂𝒌 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉, 𝒉𝒂𝒍 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒊𝒕𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝑰𝒈𝒏𝒂𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒔𝒌𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒐𝒔𝒊𝒍𝒐𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒊𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒖 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒊𝒍𝒎𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂. 𝑰𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒃𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 ‘𝑮𝒐 𝑬𝒂𝒔𝒕’ 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 ‘𝑮𝒐 𝑾𝒆𝒔𝒕’𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒄𝒂𝒏𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑨𝒎𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂 𝑺𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒕. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒍𝒎𝒖𝒘𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒎𝒊.
Jalan kaki juga adalah ekspresi terdalam bagi Ignas sebagai seorang beriman. Ia merasa dan sangat yakin bahwa teologi yang kerap sangat spekulatif, harus membumi. Itulah tugas yang Ignas tinggalkan dan saya merasa perlu meneruskan sekuat yang saya bisa. Karena itu saat sudah di atas kereta, saya pun pikir: apakah ini makna dari kaki Ignas yang saya sentuh?
Saya pun sadar bahwa kdi balik keputusan TERPAKSA JALAN, saya justru mendapatkan pesan mendalam yang saya sharingkan ini. ***
Tulisan yang bagus Abang. RIP Pak Ignas Kleden, dari Waibalun untuk Indonesia Bijak.
Mantap sekali ulasannya.