Oleh: 𝑹𝒐𝒃𝒆𝒓𝒕 𝑩𝒂𝒍𝒂
𝑫𝒊𝒑𝒍𝒐𝒎𝒂 𝑹𝒆𝒔𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊 𝑲𝒐𝒏𝒇𝒍𝒊𝒌 𝑨𝒔𝒊𝒂 𝑷𝒂𝒔𝒊𝒇𝒊𝒌, 𝑭𝒂𝒄𝒖𝒍𝒕𝒂𝒅 𝑪𝒊𝒆𝒏𝒄𝒊𝒂 𝑷𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒄𝒂, 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒅𝒂𝒅 𝑪𝒐𝒎𝒑𝒍𝒖𝒕𝒆𝒏𝒔𝒆 𝒅𝒆 𝑴𝒂𝒅𝒓𝒊𝒅 – 𝑺𝒑𝒂𝒏𝒚𝒐𝒍
Apa yang bisa menjadi kesimpulan dari debat ke-4 capres/cawapres pada Minggu 21/1/23? Tidak mudah menjawabnya. Masing-masing orang punya penilaian. Ada yang menilai kelincahan Gibran sebagai hal yang perlu dibanggakan. Orang lain (terutama yang netral) mungkin sedikit terkejut.
Yang jauh lebih penting, 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓-𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒑𝒓𝒆𝒔𝒆𝒏𝒕𝒂𝒔𝒊𝒌𝒂𝒏 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊? Apakah setelah debat orang akan mengatakan: ‘𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒂𝒚𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒕𝒖𝒏?’
Dari segi cara bertanya memang ada kemiripan. Teringat, saat debat dengan Prabowo di tahun 2014 tentang TPID alias Tim Pengendali Inflasi Daerah. Bedanya, Prabowo yang saat itu tidak bsia menjawab karena memang tidak tahu singkatan tidak diolok dan memojokkannya. Jokowi kemudian dengan santun menjelaskannya dan segera dijawab Prabowo.
Gibran justru menjadikan model bertanya seperti itu sebagai kesukaannya yang bisa juga menggambarkan karakternya: ‘𝒄𝒂𝒓𝒃𝒐𝒏 𝒄𝒂𝒑𝒕𝒖𝒓𝒆 𝒂𝒏𝒅 𝒔𝒕𝒐𝒓𝒂𝒈𝒆’ (𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝑴𝑫) 𝒅𝒂𝒏 𝑺𝒕𝒂𝒕𝒆 𝒐𝒇 𝒕𝒉𝒆 𝑮𝒍𝒐𝒃𝒂𝒍 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎𝒊𝒄 𝑬𝒄𝒐𝒏𝒐𝒎𝒚 (𝑺𝑮𝑰𝑬) 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒊𝒎𝒊𝒏 𝑰𝒔𝒌𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓, kali ini ia gunakan hal yang sama. Ia bertanya tentang istilah 𝑳𝒊𝒕𝒉𝒊𝒖𝒎 𝑭𝒆𝒓𝒓𝒐 𝑷𝒉𝒐𝒔𝒑𝒉𝒂𝒕𝒆 (𝑳𝑭𝑷) 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒊𝒎𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑮𝒓𝒆𝒆𝒏 𝑰𝒏𝒇𝒍𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅.
Sebagai strategi memang jitu. Terlihat Mahfud dan Muhaimin ‘kelimpungan’ menjawab. Merasa bahwa lawannya kelihatan tidak menjawab, ia lalu menunjukkan ekspresi dengan mata berbinar dengan senyum tipis. Seakan ia mau katakan: “𝒓𝒂𝒔𝒂𝒊𝒏 𝒍𝒉𝒐, 𝒌𝒂𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒍𝒉𝒐 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒓𝒐𝒇𝒆𝒔𝒐𝒓” (Ini tentu tafsiran penulis). Dan apa yang diduga pun terjadi. Dengan 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒐𝒋𝒐𝒌𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝑴𝒂𝒉𝒇𝒖𝒅 𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒓𝒐𝒇𝒆𝒔𝒐𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃 𝒊𝒔𝒕𝒊𝒍𝒂𝒉.
𝒀𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒊𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒔𝒊𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 ‘𝒈𝒊𝒎𝒎𝒊𝒄𝒌’ 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊-𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂. 𝑫𝒊 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 ‘𝒑𝒖𝒏𝒄𝒂𝒌’ 𝒌𝒆𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏. 𝑻𝒂𝒌 𝒑𝒖𝒂𝒔 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒕𝒂-𝒌𝒂𝒕𝒂, 𝒊𝒂 𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒈𝒆𝒔𝒕𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒂𝒑𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕.
Gibran juga mau tunjukkan bahwa ia berada di zamannya ‘ChatGPT’ yang bisa memberikan jawaban atas istilah dan mengapa tidak bisa disetarakan. Sampai di sini orang (maksudnya pendukungnya) akan menambah lagi rasa ‘pede’ dari Gibran untuk semakin bahwa apa yang ia lakukan itu benar dan beradab.
Lalu, 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓-𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒑𝒓𝒆𝒔𝒆𝒏𝒕𝒂𝒔𝒊𝒌𝒂𝒏 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒋𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊? 𝑨𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒈𝒊𝒎𝒎𝒊𝒄𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂?
Pertanyaan ini penting karena tidak bisa dipungkiri, Gibran bisa menjadi Cawapres selain kualitas dirinya tetapi tidak berarti bukan tanpa pengaruh nama baik sang ayah (untuk tidak mengatakan itu adalah intervensi sang ayah karena memang hal itu tidak terbukti).
Hingga tahun ke-10 pemerintahannya sambil tidak melupakan jabatan sebagai Gubernur DKI dan Walikota Solo, 𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓 (𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂) 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂. 𝑰𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒏𝒚𝒖𝒎 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒆𝒌𝒔𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊 𝒘𝒂𝒋𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏, 𝒊𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 ‘𝒃𝒊𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒋𝒂’. 𝑱𝒖𝒈𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒅𝒆𝒃𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒕𝒂-𝒌𝒂𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒆𝒌𝒔𝒑𝒓𝒆𝒔𝒊 𝒈𝒊𝒎𝒎𝒊𝒄𝒌 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏.
Jokowi menjadi begitu rendah hati dan tidak merendahkan lawan tentu tidak bisa dipisahkan dari latar belakang perjalanan hidup yang selalu berada dalam situasi kritis. 𝑴𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝒅𝒊 𝑪𝒊𝒏𝒅𝒊𝒓𝒆𝒋𝒐 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒓𝒂𝒑 𝒎𝒂𝒏𝒅𝒊 𝒅𝒊 𝑲𝒂𝒍𝒊 𝑨𝒏𝒚𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒂𝒖𝒍 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒋𝒂. 𝑰𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒈𝒊𝒎𝒎𝒊𝒄𝒌 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖.
Yang ditunjukkan 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂. 𝑰𝒂 𝒕𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒊𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒎𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈. 𝑰𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒖𝒕𝒓𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒏𝒐𝒎𝒐𝒓 𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒅𝒊 𝑹𝑰 𝒊𝒏𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒔𝒌𝒊 𝒉𝒆𝒃𝒂𝒕 (𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒋𝒖𝒅𝒖𝒍 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊), 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒊𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒎𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒅𝒊𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒊 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒖𝒅𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒍𝒊 𝒋𝒂𝒖𝒉 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒊𝒌. 𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏. 𝑲𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒚𝒐𝒓𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒎𝒖𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒎𝒑𝒊𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒍 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒊𝒂 𝒕𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏. 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒚𝒂𝒉.
Perbedaan mencolok seperti ini tentu saja menjadi hal yang sangat merugikan terutama hanya menjelang 3 minggu pilpres. Masyarakat yang masih belum menentukan pilihannya bisa saja terhentak dengan karakter yang sedang ditunjukkan oleh Gibran tetapi malah mereka bisa saja bersyukur karena memperoleh masukan yang berarti untuk bisa menentukan pilihannya nanti.
Dengan sikap (angkuh) yang ditunjukkan Gibran, minimal orang akan sadar apa yang dikatakan oleh Albert Einstein: ‘𝑾𝒆𝒂𝒌𝒆𝒏𝒔𝒔 𝒐𝒇 𝒂𝒕𝒕𝒊𝒕𝒖𝒅𝒆 𝒃𝒆𝒄𝒐𝒎𝒆𝒔 𝒘𝒆𝒂𝒌𝒆𝒏𝒔 𝒐𝒇 𝒄𝒉𝒂𝒓𝒂𝒄𝒕𝒆𝒓” (𝒌𝒆𝒍𝒆𝒎𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒌𝒂𝒑 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒌𝒆𝒍𝒆𝒎𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒂𝒌𝒕𝒆r). Artinya apa yang ditunjukkan dalam sikap merendahkan yang dipertontonkan Gibran ternyata bukan bagian dari seni berdebat yang menjadi alasan untuk memujanya sebagai orang hebat tetapi justru memberi tahu bahwa memang di baliknya terdapat karakter atau kepribadian aslinya.
Tentang pendapat terakhir ini tentu kita bisa berbeda pendapat dengan pembaca dan karenanya bisa berargumentasi lain dari penulis. Tetapi kalau ‘sepaham’ maka waktu memberi kesempatan untuk menilai. ***