Florentina Ina Wai
Alumnus Pascasarjana Universitas Taman Siswa Yogyakarta
Di tengah kesibukan negara menjelang pesta demokrasi 2024, bangsa dan negara ini dikejutkan dengan sejumlah kasus korupsi. Yang paling terakhir adalah kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian RI yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang pada Rabu (22/11/2023) oleh Polda Metro Jaya Jakarta.
Kasus ini mengundang beribu respon dari publik Indonesia dan juga menjadi sorotan media nasional dan internasional. Betapa tidak, orang nomor satu di lembaga yang mempunyai tugas utama memberantas korupsi ternyata terlibat dalam kasus korupsi. Atas dasar ini dapat dimengerti mengapa respon berupa kemarahan yang meledak-ledak di media sosial dapat terjadi.
Pejabat-pejabat yang terlibat dalam korupsi bukanlah orang-orang yang tidak memiliki harta benda. Mereka bahkan dapat dipandang sebagai orang-orang kaya yang sudah memiliki segudang kekayaan. Namun, mengapa mereka masih ingin masuk dalam tindakan yang digolongkan sebagai korupsi itu? Apakah intensi untuk semakin memperkaya diri tak bisa ditahan? Atau, apakah hal itu sudah menjadi semacam way of life dari mereka yang memiliki kuasa atau wewenang dan jabatan yang dipercayakan negara kepadanya? Atau, adakah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan aksi mereka tersebut?
Beribu pertanyaan bisa diajukan untuk mengurai persoalan korupsi ini. Namun, satu hal yang mungkin dapat dikatakan dari perspektif psikologi adalah melemahnya atau bahkan merusaknya mental para pelaku korupsi. Para koruptor layaknya melupakan siapa dirinya dan apa perannya dalam membangun perabadan bangsa dan negara.
Kebutuhan hidupnya jauh di atas masyarakat kebanyakan khususnya mereka yang miskin dan menderita. Kekayaannya jauh di atas pegawai-pegawai rendah yang dipimpinnya. Sejumlah jaminan kesejahteraan hidup bahkan disediakan oleh negara lengkap dengan pelbagai fasilitasnya seperti rumah, kendaraan, pengawalan dan lain sebagainya. Apakah semuanya itu masih kurang sehingga masih harus berupaya untuk ‘mencari sumber lain’ dengan cara yang tidak halal? Dan karena itu, apakah mental positif mereka sudah berada pada titik terendah?
Publik marah dan kemarahan itu bukan yang aneh. Kemarahan dipicu oleh aksi yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya punya tanggung jawab utama dalam membangun peradaban negara dan bangsa ini yang bebas dari praksis yang bernuansa koruptif. Kepolisian dan selanjutnya kejaksaan dan kehakiman akan memproses kasus-kasus korupsi di Indonesia berdasarkan undang-undang yang berlaku di NKRI. Langkah represif ini tengah diperankan oleh lembaga-lembaga negara tersebut.
Namun, negara dan bangsa ini termasuk pelbagai pihak mesti terus tak henti-hentinya menginisiasi langkah-langkah preventif sebagai upaya pencegahannya. Lantaran sudah menjadi way of life seperti yang dikatakan Prakash Loise dalam tulisannya yang berjudul “Combating Corruption” di tahun 2006 silam, maka kerja keras di ranah preventif perlu dilakukan. Karena itu, kerja keras membangun mental yang positif menjadi prasyarat utama dalam pencegahan korupsi.
Di sini diperlukan pembinaan mental yang menjadikan seseorang (pejabat dan siapa saja yang berpeluang menjadi pejabat yang memiliki kuasa dan wewenang serta semua lapisan masyarakat) dapat tahan uji terhadap segala macam godaan yang berkaitan dengan posisi, peran dan wewenang yang dimilikinya. Pembinaan yang intens dapat memperkecil kemungkinan untuk memperbesar way of life atas nama korupsi. Bangsa dan negara ini membutuhkan tokoh-tokoh yang dengan tegas menyatakan ‘tidak’ terhadap korupsi.
Namun, pembinaan mental perorangan tidaklah cukup. Dibutuhkan pula pembinaan dan perbaikan mental secara kelembagaan sebab korupsi yang tergolong sebagai ‘korupsi besar’ memiliki kemungkinan untuk terlibatnya banyak orang dalam sebuah lembaga. Sistem kelembagaan yang telah terjerembab dalam praksis yang bernuansa koruptif harus diurai dan diperbaiki secara massif. Salah satu di antaranya adalah transparansi pengelolaan lembaga-lembaga tersebut.
Kini, sejumlah kasus besar korupsi di Indonesia tengah ‘diurus’ oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Publik menanti dengan penuh kerinduan akan jalan mulus dari seluruh proses tersebut. Publik menanti agar keadilan yang beradab terus bersemi. Publik berharap agar kemarahan-kemarahan lanjutkan tidak sampai terjadi hingga berwajah anarkis. Bangsa dan negara ini membutuhkan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan bersama.***