Oleh: Anselmus DW Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Jelang pesta demokrasi 2024 mulai kasat mata hadirnya ‘perang dingin’ melalui media-media sosial maupun ‘media-media oral’ di ruang-ruang publik maupun di ruang-ruang privat tentang sepak terjang dan geliat politik para calon pemimpin, entah capres, wapres maupun para calon anggota DPR dari pusat hingga daerah. Masing-masing pihak menjagokan calon-calonnya dengan alasan-alasan, bukti-bukti maupun dengan separangkat keberhasilan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Tak luput pula ‘carut-marut’ masa lalu dan masa kini dari para calon diekplor dan dikabarkan kepada khalayak ramai. Ya…sebuah aksi yang sedikit-tidaknya bertendensi ‘mengerdilkan langkah’ para calon pemimpin tersebut. Entahkah ini merupakan bagian dari demokrasi ataukah sebuah gerakan antisipatif terhadap munculnya para pemimpin yang harus bersih ‘luar-dalam’? Keterbukaan akses dan arus informasi kontemporer dan juga tentunya tradisional yang tak ‘kasat media’ sevulgar medsos menjadi kondisi-kondisi yang memungkinkan hal itu.
Konflik pemikiran-gagasan tak terhindarkan. Konflik dalam arti yang sempit, konflik pemikiran yang terarah kepada kebenaran, perlu ada sebagai pemurnian atas pemikiran-pemikiran tersebut. Sementara yang tidak diharapkan adalah konflik berbasis pembenaran diri dari sejumlah kesalahan yang pada gilirannya dapat berakibat pada ‘tinjuan-tinjuan yang berdarah-darah’. Konflik pemikiran yang terarah pada pencapaian kebenaran itu perlu. Perlu karena isi-isi pikiran perlu diuji, perlu diperdebatkan, asal saja orang tahu pada posisi mana atau dari posisi mana seseorang membangun logic of thingking-nya. Sebab, apa yang benar untuk saya, belum tentu benar untuk orang lain, dan sebaliknya. Karenanya, konflik pemikiran perlu ada untuk melahirkan kebenaran bersama, bukan kebenaranku dan kebenaranmu semata yang sarat dengan kepentingan tersembunyi.
Tak dapat disangkal bahwa setiap calon pemimpin berkehendak baik untuk membangun bangsa dan negara Indonesia, dari pusat hingga ke pelosok daerah. Itu terbaca dari tagline, rencana program-programnya yang mulai ‘dikuliahkan-didiskusikan’ baik oleh dirinya maupun oleh tim-timnya di ruang-ruang publik dan ‘bisikan-bisikan halus’ di ruang privat di seantero bangsa dan negara ini maupun dari pelbagai jagad oleh siapapun yang merasa terpanggil untuk ‘memikirkan’ masa depan bangsa dan negara ini. Masyarakat yang terlibat aktif dalam ‘kuliah maupun diskusi’ itu tentu dapat membanding-bandingkan, menganalisis dan mengevaluasi isi pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan yang tercurah di dalamnya.
Sejumlah orang malah menuangkan hasil ‘analisis dan evaluasinya’ melalui media sosial dan media-media lainnya. Ada yang bilang gagasan-gagasan itu ‘masih jauh panggang dari api’. Ada pula yang mengatakan gagasan-gagasan itu bernas dan cocok untuk dengan kondisi bangsa dan negara ini. Kita amini hal semacam ini sebagai bagian dari validasi gagasan asalkan dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti yang valid.
Terkait usaha-usaha semacam ini, saya menganjurkan beberapa hal. Pertama, analisis dan evaluasi gagasan harus sampai juga pada landasan epistemologi yang dibangun hingga gagasan-gagasan tersebut terbentuk. Apakah dia lahir sebagai hasil rasio murni ataukah hanya berdasarkan pada pengalaman empirik ataukah merupakan hasil sebuah investigasi mendalam (research). Ataukah, semua yang digagaskan hanya terhenti pada sebuah ‘ilusi’ yang sanggup menciptakan nuansa hipnotisme sesaat? Apakah semua gagasan itu berangkat dari Indonesia masa kini sebagai sebuah ‘teks’ yang dilingkupi dengan pelbagai ‘konteks’ yang menyertainya? Ataukah, hanya sekedar mengawang-gamang di langit bangsa dan negara ini, tanpa menunduk-nengok ke bumi bangsa dan negara ini?
Kedua, jika hasil analisis dan evaluasi dengan kerangka logic of thingking yang kredibel (dari sisi keilmuan kontemporer yang tak melupakan tradisi dan sejarah) menandakan bahwa masyarakat kini dan di sini tidak lagi ‘menerima secara buta’ atau ‘ikut bodoh-bodoh’ apa yang dikatakan oleh otoritas-otoritas politik lokal maupun nasional. Jika partai politik dan politisinya ‘agak’ menutup ruang dialektika politik yang mumpuni, media sosial dan media-media lainnya termasuk ‘media tradisional’ bisa jadi menjadi pilihan masyarakat untuk ‘berkompetisi gagasan’ menimbulkan serangan hangat dari pelbagai pihak dengan melampirkan alasan-alasan non-logic maka serangan-serangan semacam itu perlulah dikaji pula. Dan, jika para pihak itu sampai ‘memolisikan’ pribadi-pribadi kritis semacam itu, maka para pihak itu sedang membangun sebuah politik depotisme. Politik depostime mencederai demokrasi, sebab dia memandang dirinya sebagai yang absolut, sebagai yang paling benar dari segalanya, dan menutup segala kemungkinan lain.
Pesta demokrasi tinggal beberapa saat lagi. Mari kita berdinamika di dalamnya sambil mewaspadai mereka yang berjiwa depotis! Sebab, selalu ada kemungkinan bahwa mereka yang demikian sedang membangun identitas politik yang eksklusif, yang tertutup kepentingannya, yang sarat kepentingan yang primordial sembari ‘menutup diri dari dan kepada yang lain’. Akan menjadi tambah tak enak apabila mereka yang berjiwa demikian akan tampil sebagai ‘pemenang’ yang memaksakan gagasannya buat kita, buat bangsa dan negara, dengan sewenang-wenang, tanpa mau sedikitpun memasang kuping, budi dan hati untuk mendengarkan gagasan kita. Kita tentu tidak mengingikannya! ***