Oleh: 𝑹obert 𝑩ala
𝑷𝒆𝒏𝒍𝒊𝒔 𝒃𝒖𝒌𝒖 𝑯𝑶𝑴𝑰𝑳𝑰 𝑰𝑵𝑺𝑷𝑰𝑹𝑨𝑻𝑰𝑭, 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕 𝑲𝒂𝒏𝒊𝒔𝒊𝒖𝒔 𝑶𝒌𝒕𝒐𝒃𝒆𝒓 (2023)
Pagi ini sambil berkendara, saat berada di bawah lampu merah, muncul pikiran aneh berikut yang muncul lihat orang yang lewat garis batas sambil perhatikan orang di seberangnya (arah lawan). Saya juga ingat akan pertandingan Indonesia – Maroko semalam. Saya mulai dari pertandingan sepak bola.
Pertandingan Indonesia – Maroko yang berakhir 3-1. Waktu posisi 2-1, saya sudah ‘malas’ nonton babak ke-2. Saya sudah yakin (sock-an seperti pengamat sepak bola saja hehee), Indonesia bakal kalah. Suara hati saya ini lebih kuat dari komentator sepak bola yang minta doa dan dukungan. Daripada kecewa saya memilih buat hal lain. Setelah permainan selesai saya baru buka internet dan ‘𝒊𝒕𝒖 𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒚𝒂 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈’.
Dua gol kemasukan Indonesia sebenarnya berawal dari kesalahan yang sama: 𝒑𝒆𝒎𝒂𝒊𝒏 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒐𝒍𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 (𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈). Pada penalty, bek Indonesia begitu ‘menggebu-gebu’ mau tendang bola dan tidak lihat kaki lawan dan hasilnya ‘penalty’.
Gol kedua saat tendangan penjuru, yang diperhatikan pemain Indonesia adalah ‘bola’ dari tendangan sudut. Mereka tidak perhatikan lawan (orang) yang akhirnya sundul bola ke gawang Indonesia tanpa sedikit pun dihadang oleh pemain Indonesia. Hasilnya: ‘𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉’. Ini bukti kan bahwa orang Indonesia itu tidak lihat ‘orang’ tetapi lebih ke ‘barang’ (bola).
𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒉𝒂𝒍 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒔𝒖𝒌𝒂 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊𝒑𝒂𝒅𝒂 ‘𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈’. Ini yang disebut aneh kan? Saat dibutuhkan lihat ‘orang’ dan bukan barang, mereka lihat barangnya. Sementara saat lebih diperhatikan barang, justru mereka lihat orangnya. Terbalik-ballik ini orang (ya maksudnya kita termasuk pembaca).
Contohnya, di bawah lampu merah (lampu lalu-lintas). Orang tidak mau perhatikan di ‘barang’ (lampu) tetapi perhatikan ‘pihak sebelahnya’ (orangnya). Kalau tiba-tiba pengendara di seberang berhenti berarti tandanya dia akan maju meskipun ‘di atas’ masih lampu merah. Dia (termasuk saya) lebih lihat orang daripada barang. Terbalik-terbalik..
𝑨𝒏𝒆𝒉 𝒚𝒂 (𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒏𝒆𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂). 𝑫𝒊 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒌ita 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒕𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 (𝒎𝒂𝒊𝒏 𝒃𝒐𝒍𝒂). 𝑺𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 (𝒍𝒂𝒎𝒑𝒖 𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒍𝒊𝒏𝒕𝒂𝒔), 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 (𝒑𝒆𝒏𝒈𝒆𝒎𝒖𝒅𝒊).
Lalu 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒅𝒊 𝒑𝒊𝒍𝒑𝒓𝒆𝒔 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉 ‘𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂’ (𝒌𝒐𝒂𝒍𝒊𝒔𝒊, 𝒋𝒂𝒏𝒋𝒊𝒏𝒚𝒂) 𝒂𝒕𝒂𝒖 ‘𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂?’ 𝑨𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒊𝒅𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒖𝒌𝒕𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒊𝒅𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 ‘𝒋𝒂𝒅𝒊-𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏?
’Harusnya sih kita lihat ‘orangnya’ dan bukan ‘barangnya’. Kita lihat bagaimana hidupnya secara pribadi dan keluarga dan kemudian meluas dalam lingkup yang semakin besar. Itulah yang disebut dengan ‘sepak terjang’(track record). Hal-hal seperti itu perlu dilihat secara cermat beberapa kali untuk melihat sambil menyangsikan, apakah di balik apa yang ditampilkan tersembunyi sesuatu?
Untuk melihat orang, maka kita perlu teliti siapa orang itu? Sekarang sangat diharapkan agar para calon ‘buka diri’. Di situ kita bisa perhatikan latar bilang mereka mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Kita mulai dari keluarga kemudian ke pengalaman yang sudah dilewati dan seterusnya.
Memang ada yang bilang, ini kan urus negara bukan keluarga. Tetapi negara kan merupakan sebuah keluarga besar? Kita mulai dari hal-hal yang kecil? Itulah ungkapan penuh makna: dikit-dikit jadi bukit. Di sana yang kecil memberi ruang untuk kita perhatikan isi hati seseorang secara jujur. Keluarga adalah tempat bersandar karena tahu bahwa urus negara ini tidak mudah.
Karena lihat sejarah diri maka setiap pribadi dewasa apalagi yang mau maji di Pilpres adalah pribadi yang dewasa dan terpisah dari siapapun. 𝑷𝒂𝒌 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈, 𝒔𝒐𝒂𝒍 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒆𝒘𝒂𝒔𝒂, 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 berkeluarga, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒅𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒕𝒆𝒍𝒊𝒕𝒊 𝒊𝒕𝒖 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑷𝒓𝒂𝒃𝒐𝒘𝒐𝒏𝒚𝒂 (𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒑𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂). 𝑱𝒂𝒅𝒊 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒊𝒕-𝒌𝒂𝒊𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒂𝒌𝒂𝒏-𝒂𝒌𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝑩𝒂𝒑𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂. 𝑵𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕… (orang buta pun gunakan kata ini, hehehe).
Kita juga bisa lihat koalisi partai-partai yang mendukung. Tentang koalisi ini malah saya lihat sebagai ‘barang’ bukan orang. Di sana bukan kumpulan orang yang punya idealisme dengan ideologi yang kuat tetapi kumpulan kepentingan (yang katanya demi bangsa dan negara). Mereka yang tadinya sangat kokoh dukung ketua partainya jadi capres (misalnya Golkar) tetapi tiba saatnya begitu ‘lemah dan loyoh’ sehingga mudah untuk ‘diajak berkoalisi’. Orang Lembata bilang: ‘ada eh…’.
Koalisi inti penting karena dia menjadi seperti ‘suprastruktur’ (katakanlah sistem) yang akan memungkinkan semua orang yang masuk ke dalamnya akan hidup dan bertindak sesuai aturan bukannya aturan ‘diatur-atur’ supaya sesuai kehendak pribadi. Kalau aturan dibuat seperti ini maka apakah kita bisa berharap bahwa seorang pemimpin dapat lahir dari aturan yang dikangkangi sendiri?
Partai sekali lagi merupakan tempat di mana orang yang jahat sekalipun ketika masuk dalam sistem yang tepat dapat menjadi baik malah baik sekali. Partai bukan kumpulan ‘kesepakatan’ yang publik tidak tahu dan akan terus berusaha bagaimanapun juga untuk menang dan kalau sudah menang ‘itu sudah yang akan dilakukan’. Jadi, lihat orang dan bukan barangnya (nya di sini maksudnya janji omong kosong).
Sepak bola mengingatkan kita bahwa kalau mau menang harus lihat orang (pemain) dan bukan bola. Lihat orang berarti lihat pemain di lapangan bukan ‘manajernya yang ada di luar lapangan. 2024 nanti Gibran (dan Prabowo) yang main di sana sementara Jokowi istirahat. Sebaik dan sekeras apapun bapaknya teriak, tapi yang main anaknya. Karena itu sekali lagi lihat ‘pemainnya’ (orangnya) bukan suporternya.
Tetapi kita justru lakukan apa yang akhirnya kita terapkan di politik: kita lebih lihat ‘bola’ yang digulirkan, mengatur permainan dengan aturan di ‘last minute’. Kalau permainan sepak bola adalah gambaran dari diri kita maka bisa saja di pilpres nanti banyak yang akan lebih suka lihat ‘bolanya’ dari pada pemainnya dan kita akan menjadikan 5 tahun sebagai tahun penyesalan.
𝑫𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂, 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒆𝒏𝒅𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒂𝒈𝒊 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒎𝒑𝒖 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒉, 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒌𝒆 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒂𝒉, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 ‘𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈’. 𝑺𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉… ***
Lihat orangx bukan barangxitu mmg benar bro. Sy sdkit kritis ttg contoh partai koalisi, bhw koalisi itu harus Krn jumlah partai baxak,semakin baxak partai yg bersatu dlm koalisi artix semakin kualitas koalisi itu Krn bantak pikiran yg disatukan pendapat shg menghasilkan pasangan yg tentux diakui kredibilutasx dr semua sisi kriteria. Jadi contoh yg diibaratkan partai yang berkoalisi itu sebenarx sangat sesuai dgn pesan “jangan lihat barang tapi lihat orangx” BUKAN SEBALIKX mnrut penulis bhw berkoalisi itu hslx “buruk”. Tx.