Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik,
Facultad Ciencia Política Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Judul ini adalah sebuah pertanyaan yang sering diungkapkan oleh pembaca. Ada rasa penasaran. Bagi orang yang sudah terlanjur mencintai Jokowi (plus puteranya Gibran) pertanyaan itu sangat menarik. Mereka ingin mengetahui akhir kisah yang tentu punya resiko politik. Bagi yang begitu mencintai Jokowi, siapa tahu pemecatan itu membuat mereka menentukan keputusan akhir entah memilih Prabowo-Gibran atau Ganjar – Mahfud.
Memang menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Pemecatan Gibran (dan Jokowi) memiliki konsekuensi yang tentu tidak sedikit. Bagi PDIP sebenarnya hal itu akan menjadi bukti ketegasan. Minimal orang tahu bahwa PDIP memang partai ideologis yang terkenal konsisten dan loyal. Hal itu mewakili sikap ‘wong cilik’ di akar rumput yang hanya tahu apa itu loyalitas dan hanya kematian yang memisahkan (ini janji perkawinan sudah dimasukkan di sini). Karena itu pemecatan Gibran (dan satu paket dengan Jokowi) bisa saja menambahkan simpati pemilih. Orang akan berikan jempol kepada PDIP yang merupakan partai yang selalu konsisten dari waktu ke waktu.
Sebaliknya tidak memecat Gibran (dan Jokowi) bisa dianggap PDIP bermain dua kaki. Ia seakan berada di antara dua pilihan yang kalau menang maka yang kalah akan bergabung saja. Pilpres 2019 telah membenarkan hal ini dan kalau terjadi lagi publik akan terkejut. Orang tahu bahwa masyarakat di bawah termakan dalam emosi partisan sementara elitnya ternyata sepakat dan malah terus berlatih agar tampil menawan di atas panggung menjadi pembela tetapi di bawahnya ternyata begitu.
Tapi benarkah demikian? PDIP bisa saja berkilah membela diri. Sebenarnya yang mempraktikkan hal ini adalah Jokowi dan bukan PDIP. PDIP tentu mengharapkan agar kubu Prabowo yang tidak ‘berdarah-darah’ tidak diberikan kekuasaan semudah itu. Kubu yang pernah merendahkan hingga sakit (sakitnya di sini) itu dirasa oleh masyarakat kalangan bawah. Karena itu kalau tanya Megawati (yang terkenal sangat lama kalau menyimpan dendam), Prabowo tidak akan diberi kekuasaan. Tetapi Jokowi mengambil jalan lain yang hingga beberapa saat lallu dianggap sebagai ekspresi Jokowi sebagai negawaran. Karena itu PDIP bisa mengambil jarak dari Jokowi bahwa itu adalah keputusan Jokowi dan bukan PDIP. Jadi tidak ada sejarah dalam PDIP untuk sekadar ‘mempraktikkan politik dua kaki’. Dua kaki itu Jokowi.
Dari sisi Gibran dan Jokowi, pemecatan bisa jadi nanti diangkat sebagai isu. Minimal akan ada ‘𝒑𝒍𝒂𝒚 𝒗𝒊𝒄𝒕𝒊𝒎’ 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒆𝒓𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒌𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏. 𝑰𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒋𝒖𝒌 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒍𝒂𝒌𝒖 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒔𝒆𝒔e𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒌𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒎𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒂𝒕𝒊, 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏, 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒖𝒏𝒕𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏.
Hal seperti ini tentu efektif kepada orang yang selama ini sangat mencintai Jokowi ‘sehidup semati’. Apapun yang dilakukan Jokowi, karena sudah terlanjur cinta yang semuanya diterima dan diamini saja. Karena itu kalau Jokowi dipecat maka mereka akan ‘berbondong-bondong’ mendukung orang yang didukung oleh Jokowi (harapannya begitu)
𝑻𝒂𝒏𝒑𝒂 𝑵𝒈𝒂𝒔𝒐𝒓𝒂𝒌𝒆
Untuk menafsir akhir dari ‘pertarungan’ ini maka di dasar paling dalam adalah ‘perang’ budaya. Maksudnya, sebagai orang yang sama-sama mendalami budaya Jawa, maka hal ini akan berujung pada budaya Jawa.
Baik Jokowi maupun Megawati (mewakili PDIP), akan sangat menghidupi pepatah Jawa: “𝐒𝐮𝐠𝐢𝐡 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐛𝐚𝐧𝐝𝐡𝐚” (kaya bukan dengan harta tetapi kaya dengan hati), 𝑫𝒊𝒈𝒅𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒂𝒋𝒊 (kekuatan bukan karena sakti tetapi karena silaturahmi), 𝑵𝒈𝒍𝒖𝒓𝒖𝒈 tanpa 𝒃𝒂𝒍𝒂 (jadi kesatria bukan karena didukung oleh banyak orang tetapi karena yakin akan kebaikan yang dilakukan) dan 𝑴𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒏𝒈𝒂𝒔𝒐𝒓𝒂𝒌𝒆 (menang dengan tidak menghujat).
Artinya perjuangan untuk menang tidak ditampilkan secara dramatis tetapi melalui permainan ‘halus’ di lapangan. Itu yang sudah dilakukan dan dipraktikkan Jokowi dalam banyak hal. Ia tidak mau menang dengan besorak-sorai tetapi bermain secara simbolis. Istilahnya ia mau bermain ‘halus’. Contoh paling jelas adalah dalam sikap Jokowi terhadap Surya Paloh (Pastai Nasdem). Ia tidak mau keluarkan Nasdem setelah Nasdem memilih ‘jalan lain’ yang tidak sejalan dengan pikiran Jokowi.
Yang dilakukan Jokowi adalah mengalahkan dengan cara halus (tapi mematikan). Ia ‘keluarkan’ satu persatu dan itu lebih sakit. 𝑱𝒐𝒉𝒏𝒚 𝑮 𝑷𝒍𝒂𝒕𝒆 digiring (oleh hukum) dan itu kelihatan di publik tidak dilakukan oleh Jokowi. Orang akan mengatakan itu adalah masalah hukum. Jokowi menjadi ‘bebas’ karena tidak dianggap sebagai penyebabnya. Jokowi akan terus mengulang bahwa kita harus ‘hargai proses hukum’.
Berikutnya 𝑺𝒚𝒂𝒉𝒓𝒖𝒍 𝒀𝒂𝒔s𝒊𝒏 𝑳𝒊𝒎𝒑𝒐 beberapa bulan kemudian. Juga ‘jatuh’ di depan hukum. Kembali Nasdem akan menjadi ‘berita’ dan ‘bulan-bulanan’ publik. Mereka melihat bahwa ini persoalan hukum dan bukan Jokowi. Sekali lagi orang akan menganggap bahwa itu bukan karena Jokowi, itu masalah hukum. Dan tidak tahu siapa berikutnya. Tentu publik bertanya, apakah korupsi hanya terjadi di dua kementerian itu yang kebetulan dari Nasdem? Apakah kementerian lain begitu ‘suci tanpa noda dosa?’ Bisa jadi ya dan bisa jadi tidak.
Lalu apa hubungan dengan pendepakan Gibran dan Jokowi dari PDIP? Megawati yang tidak pernah menang dalam pilpres tentu harus belajar dari Jokowi yang dalam politik merupakan ‘maestro’. Bayangkan ia bisa berada di atas semua parpol dengan pendekatannya yang sangat ‘soft’ dan tidak kasat mata. Singkatnya, Jokowi sangat piawai dalam merancang politik.
Tetapi apakah dalam memperlakukan “Jokowi dan Gibran”, Megawati dan PDIP akhirnya menggunakan apa yang sudah terbukti manjur digunakan Jokowi? Bisa saja ya. Dalam dunia kita harus saling belajar. Artinya, PDIP tidak mau memecat Gibran dan Jokowi dan hal itu tentu lebih sakit. Dengan tidak memecat, maka sebenarnya PDIP ingin menguliti Jokowi di satu tahun akhir pemerintahannya. Berbagai dukungan yang diberikan akan ‘dimainkan’ secara perlahan untuk membiarkan hanya waktu yang bisa menyelesaiakannya.
Jadi apakah ini adalah politik ‘ngasorake’ di mana PDIP akan berusaha menang tetapi tanpa menyoraki dan itu berarti membiarkan Jokowi yang akan mengalami hal ini secara perlahan? Ah, jangan sampai berpikir seperti itu kata dari ‘kata hatiku’. Jangan juga berpikir bahwa apa yang Jokowi lakukan kepada Surya Paloh akan menjadi hukum karma bagi Jokowi yang tidak dihukum tetapi membiarkan waktu yang akan menghukumnya.
Karena itu, jawaban akan pemecatan Gibran (dan Jokowi) itu hanya bisa dijawab dalam pertarungan budaya Jawa dan hanya waktu yang membuktikan.***