Oleh: Leonardo Alexsandro Mite, CSsR
Mahasiswa Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 baik Legislatif maupun Eksekutif, sibuk menarik simpatik masyarakat. Mereka menebarkan janji yang terselip dalam visi dan misi, sehingga pada akhirnya masyarakat mengarahkan pilihannya kepada mereka.
Perang gagasan dari para capres mulai digalang oleh kampus-kampus di Indonesia, agar pemimpin yang diharapkan oleh Rakyat Indonesia lima tahun ke depan mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Mesin partai mulai digerakan, agar Pemilu 2024 bisa membawa kemenangan bagi partai tersebut.
Situasi demikian memberikan tensi yang cukup tinggi bagi wajah perpolitikan di Indonesia. Saling serang antara partai politik dan pendukungnya tidak dapat terhindarkan.
Maka benarlah kalimat yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris dalam bukunya yang berjudul De Cive (1651), bahwa manusia akan menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus). Semuanya ini tertuju pada keinginan untuk ‘berkuasa’, sehingga berbagai isu mulai dimainkan dan membanjiri kehidupan Indonesia demi tercapainya tujuan tersebut.
Propaganda terhadap Hukum
Salah satu isu yang dimainkan ialah adanya upaya dari oknum-oknum dari partai tertentu untuk menggugat batas umur capres dan cawapres. Mereka melayangkan gugatannya kepada Mahkamah Konstitusi agar undang-undang pemilihan umum tahun 2017 yang mengatur batas usia capres dan cawapres yang hanya mengizinkan warga negara Indonesia berusia 40 tahun ke atas, diubah menjadi 35 tahun.
Dikutip dari tempo.com, gugatan ini beralasan pada sebuah pandangan bahwa tidak ada dasar dan urgensi membatasi rakyat Indonesia tidak boleh memilih capres dan cawapres yang berusia di bawah 40 tahun. Undang-undang Pemilihan Umum 2017 pasal 169 huruf q dinilai sangat membatasi kaum muda yang berpeluang menjadi capres dan cawapres.
Undang-undang tersebut membatasi ruang warga Indonesia khususnya anak muda untuk berpartisipasi lebih luas dalam politik dan jabatan kepemimpinan publik. Padahal, dua undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 23 Tahun 2003 dan UU Nomor 42 Tahun 2008, mematok usia capres dan cawapres minimal 35 tahun.
Hukum, menjadi Alat “Permainan”
Hukum menjadi alat permainan bagi para pengasong kepentingan. Hukum yang seharusnya menjadi rambu-rambu untuk mengatur seluruh segi kehidupan individu dan terciptanya rasa keadilan bagi setiap orang, kini dipermainkan atau diperalat oleh oknum tertentu. Hal ini akan membawa implikasi serius. Ketika hukum tidak ditegakan, maka orang dengan mudah mengubah bahkan mengganti hukum sesuai dengan kepentingannya. Hukum tidak lagi dipandang sebagai aturan yang harus ditepati, tetapi hanya dipandang sebagai ‘kalimat’ yang dengan mudah ‘digonta-ganti’ oleh siapa pun seturut keinginan.
Dalam kesempatan wawancara bersama Ibu Elisabeth Elis Prasasti, SH., M.Kn, seorang praktisi hukum, menyampaikan bahwa persoalan hukum muncul akibat seseorang tidak mengetahui prosedur hukum. Ada oknum tertentu yang dengan sengaja melanggar ketentuan hukum yang sudah ditetapkan. Mereka mempermainkan hukum demi memuluskan keinginan peribadi dan kelompoknya untuk mencapai berbagai kepentingan. Situasi ini bisa menciptakan ketidakadilan. Hukum dijual demi memuluskan ambisi untuk berkuasa. Kesakralan hukum dipertanyakan.
Memang harus disadari bahwa kita tidak boleh terlalu kaku terhadap hukum. Hukum semestinya menyesuaikan dengan kompleksitas pertumbuhan manusia. Namun yang memprihatinkan di sini ialah orang mengatasnamakan ‘perubahan’, lalu menggugat dan mengubah hukum sesuai dengan keinginan pribadi. Hukum tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tetapi alat permainan bagi pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, ketika orang menginginkan sesuatu dan itu bertentangan dengan hukum, maka yang perlu diubah ialah hukum itu sendiri.
Biarkan Hukum menjadi Hukum
Biarkan hukum menjadi hukum merupakan sebuah sintesis yang bermaksud untuk menegakan hukum secara adil. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (hendaklah keadilan harus ditegakan, sekalipun dunia harus binasa). Artinya bahwa hukum harus menjadi sesuatu yang sakral dan ditegakkan sesuai dengan apa yang tertera di dalamnya.
Hukum tidak harus menjadi alat untuk melegalkan nafsu pribadi. Hukum yang baik adalah terciptanya rasa keadilan dan terhindar dari segala kepentingan. ***