Oleh: Fr. Petrus Ronaldo Lile Hurint, CSsR
Mahasiswa Fakultas Teologi Wedbhakti, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Indonesia merupakan salah satu negara majemuk dengan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan etnis. Dengan ini maka dibutuhkan satu model hukum yang mengatur kehidupan setiap hari. Konsep hukum yang berlaku di Indonesia harus memberi kepastian tentang kontrol sosial terhadap perilaku masyarakat. Praktik hukum tidak bisa berjalan tanpa adanya aspek pendukung seperti sikap moral dan prinsip keadilan. Di negara hukum seperti Indonesia, usaha menegakan hukum harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sebagaimana dengan makna hukum sebagai kontrol sosial. Tindakan hukum jika dilakukan tanpa prinsip keadilan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum, karenanya hukum dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai alat untuk melegalkan segala perbuatan yang melanggar hukum.
Pelaksanaan Hukum di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa sudah mencita-citakan kehidupan berbangsa yang adil dan dikelola berdasarkan hukum. Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan hukum negara harus berada pada koridor hukum dan dijalankan secara teratur, agar setiap pelanggaran hukum dikenakan sanksi yang sepadan. Implementasi hukum di negara Indonesia diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang dapat menjadi alat untuk mewakili keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam kesempatan wawancara bersama Pak Otis, salah seorang advokat dari Kota Tual, Provinsi Maluku, pada tanggal 12 Oktober 2023, beliau berpendapat bahwa pelaksanaan hukum di Indonesia sudah berjalan dan telah menjadi kontrol sosial. Baginya, dalam penerapan prinsip-prinsip hukum di Indonesia haruslah berkaidah mengatur kehidupan bermasyarakat, sehingga semua orang tanpa terkecuali dapat menaatinya.
Dia menambahkan, jika tidak ada hukum yang jelas, akan terjadi banyak pelanggaran, ketimpangan, kekacauan, dan bahkan bisa terjadi hukum rimba.
Penyelenggaraan hukum di Indonesia sendiri haruslah membatasi kesewenangan penguasa demi prinsip persamaan di hadapan hukum. Selama berprofesi sebagai advokat dari tahun 2008 sampai sekarang, Pak Otis banyak kali menangani kasus entah itu hukum pidana maupun hukum perdata. Konsep yang selalu dipegangnya adalah memberikan kepastian hukum agar semua orang memperoleh keadilan. Maka tugas dari advokat ialah meyakinkan hakim dan memberi pendampingan hukum bagi klien dalam setiap kasus.
Baginya, hukum harus berlandaskan pada asas keadilan bagi semua warga negara. Dan walaupun melanggar hukum, tentu harus diberikan sanksi yang seadil-adilnya bagi si pelanggar.
Dalam penerapan prinsip-prinsip hukum, perlu mencapai nilai keadilan dan kesejahteraan. Prinsip hukum yang demikian, tidak hanya memberikan jaminan kebebasan, tetapi juga melindungi individu dari tindakan kesewenang-wenangan. Dalam pengalaman sebagai advokat, Pak Otis pernah menangani satu kasus berat di Kabupaten Maluku Tenggara. Pada tahun 2010, terjadi kasus pembunuhan seorang anak SMA Al-Hilal dan ada tujuh orang tersangka. Semua pengacara takut menanganinya karena masalahnya rumit.
Di samping itu, ada tekanan yang luar biasa dari keluarga korban. Dalam penyelidikan dan pemeriksaan berkas-berkas, ditemukan ada dari antara ketujuh tersangka itu adalah masyarakat miskin. Mereka kemudian ditahan di Polsek Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara.
Saat gelar sidang perkara, jaksa penuntut umum menjatuhkan hukuman dengan pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana. Atas pertimbangan dan pembelaan yang dilakukan, salah satu tersangka itu dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Pak Otis sendiri, mendasarkan diri pada pasal 191 KUHAP, yang mengatakan apabila pengadilan hakim berdasarkan fakta persidangan, hakim berkeyakinan bahwa dakwaan itu tidak terbukti maka hakim bisa memutuskan terdakwa tidak bersalah.
Kepastian hukum tentu memberikan legalitas yang tinggi sekaligus sebagai solusi dalam menjalankannya demi sebuah nilai keadilan. Di Indonesia, keadilan itu subjektif. Sebab yang kalah belum tentu merasa adil dan yang menang juga belum tentu merasa adil dengan vonis yang dijatuhkan.
Jadi keadilan itu bisa dilihat dari dua sisi, tergantung dari sudut pandang yang digunakan, sebagai korban atau sebagai pelaku. Baginya, hukum di Indonesia masih ‘labil’, dikatakan baik juga tidak, dikatakan buruk juga tidak. Sebab keadilan itu sifatnya subjektif. ***