Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol,
Penulis buku HOMILI INSPIRATIF (Penerbit Kanisius Jogyakarta, terbit Oktober 2023)
Dalam waktu yang tidak terlalu jauh, saya menonton tiga tayangan di Youtube tentang Ganjar Pranowo: Deep Talk, Cinta Pertama dan Terakhir (Wawancara Ashanty); Ganjar Pranowo, Atikoh, dan Alam (Rosi Silalahi, Kompas TV), dan Ganjar Pranowo Bicara Gagasan (Mata Najwa).
Sesungguhnya setelah menonton rekaman itu harusnya saya puas dan segera acungkan jempol. Minimal segera mengumbar ketidakpuasan itu kepada orang lain. Saya malah merasa tidak puas. Mengapa? Karena saya tidak percaya apa yang saya dengar. Agar kepercayaan itu benar-benar ada, maka saya terpaksa menonton kembali cuplikan itu beberapa kali.
Buah Alam(iah)
Dalam menelisik lebih jauh tentang hidup politisi, saya biasanya tidak terlalu cepat percaya dengan tulisan atau tayangan. Banyak yang terlalu dipoles-poles. Yang buruk dijadikan indah. Kata-kata sengaja dipilih sehingga yang enak didengar. Singkatnya, seorang politisi harus jago menata kata.
Dengan mengatakan seperti ini tentu saya tidak sedang mengarahkan pembaca pada figur tertentu misalnya Anies Rasyid Baswedan yang saat jadi gubernur DKI, dijuluki lebih hebat tata kata daripada tata kota. Bukan saja Anies. Banyak (untuk tidak mengatakan semuanya) politisi memang seperti itu. Jago berkata-kata tingkat dewa tetapi endingnya tidak menggembirakan.
Saya juga tidak serta merta mengangkat keharmonisan Ganjar dan Atikoh istrinya. Itu bisa saja teknik media menjadikan pasangan ini begitu harmonis. Juga kalau terlalu menonjolkan hal ini, bisa jadi dilihat sebagai upaya halus mendiskreditkan Prabowo yang justru tidak semujur Ganjar dan Anies.
Demikian hobby seperti lari marathon atau jalan cepat yang biasa dilakukan Ganjar dan Atikoh pun bisa menjadi settingan media. Yang tadinya tidak berlari dibuat berlari, apalagi dengan gambar yang menarik perhatian. Benar juga sih kata Anies Baswedan yang mengkritik Ganjar hanya hebat memosting lari paginya. Kata Anies, kalau soal adu gagasan dia siap, tetapi kalau adu lari, Anies bukan orangnya.
Lalu apa yang seharusnya dilihat? Saya pikir anak sebagai buah dari perkawinan itu yang menjadi pembuktian (sekaligus pembenaran) apakah Ganjar dan Atikoh memang seperti itu? Apakah gambaran melalui foto dan video itu hanya merupakan ‘settingan’ belaka ataukah memang seperti itu?
Karena itu, cuplikan video yang diputar saat perpisahan di Jawa Tengah di mana Muhammad Zinedine Alam Ganjar menjadi pintu masuk yang mengagetkan. Cara bicara Alam yang perlahan tetapi sangat, tatapannya terlihat adanya kepolosan dan ketulusan. Ungkapannya bahwa ibu dan dirinya menjadi bahu tempat ayah mereka bersandar adalah ‘sesuatu sekali’.
Dari kecerdasan dan kematangan dalam mengungkpan pendapat tersingkap bahwa semuanya itu memiliki proporsi sangat besar dari pengaruh sang ibu, Atikoh. Sejak pendidikan dini, Atikoh yang menjadi anak yatim begitu cepat oleh kematian kedua orang tuanya yang hanya berselang setahun, bertekad untuk mendidik Alam, puteranya dengan cara-cara terbaik. Buah dari pendidikan itu tentu tidak hanya terlihat dari prestasi Alam yang saat itu siswa kelas 7 SMPN2 Semarang, menjuarai olimpiade internasional pada tahun 2015 di Korea.
Dari buah yang dihasilkan akhirnya saya terpaksa mendalami lebih jauh tentang Atikoh, dari cara bicara, cara tatapan selain melihat dari body languagenya untuk bisa memiliki perangkat tambahan menilai. Semuanya itu kemudian ditambahakn dengan kecerdasan berbicara, terutama ketika diminta Rosi mengungkapkan siapa First Lady Indonesia yang dikagumi, Atikoh mendeskripsikan semua istri presiden itu dengan sangat luar biasa dan mengena. Bahwa ia terpaksa menyebut Ibu Iriana Joko Widodo sebagai yang paling dekat bukan karena ia paling hebat tetapi karena dalam 9 tahun terakhir justru terjadi komunikasi dan dialog yang mendalam dengan istri Jokowi itu.
Dari sedikit kesaksian Alam dan Atikoh, saya baru berani untuk menuju ke Ganjar. Ternyata caranya di medsos, model gaulnya dengan masyarakat, cara berbicaranya, menunjukkan bahwa itu tidak mendapatkan polesan. Semuanya muncul dari keaslian diri yang patut dikagumi.
Tetapi tentang hal ini selalu ada rasa tak puas terutama kepada PDIP. Dalam beberapa tahun terakhir, hanya karena demi menonjolkan figur lain (misalnya Puan Maharani), Ganjar sering ‘dianggap remeh’ oleh PDIP sendiri. Tetapi itu hanyalah sedikit catatan. Kalau pada last minute berubah dan menjadikannya calon presiden PDIP maka itu harus disaluti. Lebih baik demikian, kelihatan benci tetapi ujung-ujungnya sayang, daripada Agus Harimurti Yudhoyono yang dari jauh-jauh disebut sayang dan bakal jadi cawapres Anies tetapi ujung-ujungnya hanya bisa tepuk jidat.
Belajar Puas
Waktu pilpres dan pileg tinggal ratusan hari saja. 4 bulan lagi perhelatan itu dakan digelar. Karena itu perlu upaya kritis untuk lebih mengenal lebih jauh para calon untuk bisa menentukan siapa yang akan dipilih.
Dari segi waktu, terasa cukup untuk bisa menyelami lebih jauh tentang para kandidat. Di sana bisa dicari dari berbagai sudut pandang. Tetapi memulai dari anak, buah rahim orang tua, menjadi hal yang sangat penting. Dengan berpijak pada anak maka ketiga capres (Anies, Prabowo, dan Ganjar) punya anak) bisa jadi titik berangkat sebuah analisis. Dari anak baru ditarik kaitannya dengan orang tua (ayah dan ibu). Di sana akan terlihat keaslian, tanpa make up, isi hati para kandidat.
Rasa curiga dan tak percaya juga bisa menjadi pintu masuk. Keraguan malah ketidakpuasan terhadap kandidat bisa menjadi awal yang baik. Dengan meragukan, maka kita bisa dengan lebih mudah dan membumi mengevaluasi kelayakan seorang kandidat.
Untuk hal ini saya terpaksa harus ambil kembali Ganjar sebagai contoh. Dari semua kandidat dan juga terpengaruh dengan penilaian netizen, terkesan bahwa Ganjar hanyalah boneka di PDIP (maksudnya Megawati). Ia terlihat tidak berani, canggung, atau apapun cap negatif kalau dikaitkan dengan Megawati.
Hal seperti ini cukup saya percayai dan karena itu masih meragukan Ganjar sampai sebelum menonton 3 cuplikan video di atas. Tetapi setelah melihat cara bicara, tatapan, ekspresi alamiahnya, terbuktikan bahwa jauh dari fakta untuk mengatakan Ganjar sekadar boneka Megawati. Kalau ada kesan seperti itu tentu tidak jelek. Tetapi yang jauh lebih penting, setelah keraguan dan ketidakpuasan, kita semakin penasaran untuk mendalami kebenaran asumsi.
Tulisan ini ingin saya akhiri dengan kata-kata dari John Lenon. Ia mengatakan hal ini dengan cukup jelas: Bersikap jujur mungkin tidak memberi Anda banyak teman, tetapi Anda akan selalu mendapatkan teman yang tepat. Di sini bisa disebut bahwa apa yang ditampilkan Ganjar dan keluarganya merupakan jalan kejujuran yang bahkan sempat menghadirkan ketidakpupasan termasuk PDIP sendiri. Tetapi melalui pengalaman ketakpuasan itu, justru menjadi tanya, apakah Ganjar merupakan orang yang tepat? Tentu yang bisa jawab hanyalah pembaca setelah membiarkan waktu membaca tulisan ini. ***