Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Facultad Ciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.
Perubahan nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKRI) pada tanggal 28 Agustus 2023 bagi banyak orang mengejutkan. Sedari awal, Prabowo diduetkan dengan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Cak Imin dan PKB bisa dianggap paling konsisten dengan mengangkat diri sebagia ‘cawapres’ dengan Prabowo sebagai presidennya. Sebuah proklamasi diri yang tidak bisa dianggap jelek. Di tengah realitas politik, impian harus realistis menjadi Cawapres.
Namun perubahan nama koalisi itu memunculkan pertanyaan menarik: Apakah perubahan yang terkesan mendadak itu hanya terjadi secara kebetulan ataukah bisa menggambarkan tentang watak Prabowo? Apakah perubahan yang terjadi sekarang itu hanya kejadian insidentil yang bisa disamakan dengan batuk (watuk, bahasa Jawa) yang akan sembuh dan tidak abadi? Ataukah apakah hal itu sudah merupakan ‘watak’ Prabowo?
Adanya perubahan seperti ini mengingatkan hal sederhana yang mestinya tidak bisa dijadikan acuan untuk menilai seseorang. Tetapi kadang contoh kecil itu ketika dikait-kaitkan bisa menghadirkan juga kebenaraan (minimal mendekati kebenaran).
Kita tentu ingat kasus yang dilakukan Ratna Sarumpaet yang ‘mengarang’ telah dianiaya, Prabowo dengan cepat membelanya. Kemudian terbukti, terjanyata hal itu sebuah pembohongan. Disayangkan, Prabowo yang begitu diagung-agungkan Budiman Sudjatmiko sebagai ‘tokoh strategis’ begitu mudah ‘termakan’ oleh rekayasa tim suksesnya sendiri.
Kasus lain tentu lebih ‘seksi’. Saat begitu menghendaki kemenangan di Pilpres dalam duel dengan Jokowi, Prabowo dengan mudah menjadikan Habib Rizieq sebagai figur yang bisa mengdongkrak popularitasnya. Janji mendatangkan Rizieq dari ‘pembuangannya’ di Arab dianggap sebuah janji yang dianggap aneh oleh banyak orang. Bisa terbaca, hanya demi memenangkan sebuah pertarungan, Prabowo bisa mengeluarkan janji apapun.
Kini terutama dalam 4 tahun terakhir, nama Jokowi begitu diagung-agungkan hingga disapa ‘maestro’ oleh Prabowo. Berulang kali Prabowo mengungkapkan bahwa setelah masuk dan melihat dari dekat, ia sangat kagum dengan Jokowi yang menjadi salah seorang presiden terbaik bangsa ini. Hal ini bisa menggambarkan Prabowo sebagai seorang figure yang tidak fanatik: ketika ada kebaiakan ia akui. Ketika ada hal yang tidak baik ia juga terima dengan lepang dada. Bukankah hal seperti ini baik dan patut ditiru?
Tentang pengakuan akan kehebatan Jokowi bukankah itu hal positif? Banyak orang yang tidak seperti Prabowo: sekali cap negatif, selamanya seperti itu. Jokowi merupakan pemimpin – pekerja yang tidak punya masa lalu yang mengganjal. Ia punya nyali di tengah adanya ketidakpastian. Hasil kerja bisa dinikmati oleh banyak orang kini dan akan menjadi sebuah prestasi yang tidak mudah disaingi (minimal sampai sekarang) oleh presiden manapun.
Yang jadi pertanyaan, apakah kekaguman Prabowo pada Jokowi ini abadi? Ini pertanyaan menarik. Dari rangkaian peristiwa kecil yang terjadi, kelihatan ungkapan ini disangksikan. Pendapat dan keputusan Prabowo kerap sangat situasional dan mudah terpengaruh pada situasi saat itu. Karena itu bisa dipahami bahwa ketika hanya PKB yang ‘berkoalisi’ dengan Gerindra, maka nama koalisi itu menjadi Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Di sana nama kedua parpol itu menjadi pilar. Tetapi ketika Prabowo sudah ‘berada di atas angin’ dengan hadirnya Golkar dan PAN, maak nama itu bisa berubah.
Kalau seperti itu dan sambil mengingat peristiwa sebelumnya maka pertanyaan tentang abadinya kekaguman Prabowo pada Jokowi. Apakah sesudah tidak berkuasa, Prabowo masih tetap mengagumi Jokowi ataukah ini hanya sekadar ‘strategi’ untuk mendongkrak suasa apalagi memanfatkan kepuasan yang tinggi masyarakat pada Jokowi?
Bukan Batuk
Orang Jawa punya ungkapan yang sangat mengena: “Nek Watuk ono tamba ne, ning, nek Watak, blas ora ono” (Jika penyakit batuk, masih ada obat penawarnya, akan tetapi, bila sifat seseorang, akan sulit diubah).
Dalam konteks Prabowo, pertanyaan menarik berikut perlu direfleksikan: Apakah Prabowo yang sekarang sangat dekat dengan Jokowi itu mengungkapkan kepribadian atau wataknya yang sebenarnya bahwa memang Prabowo itu berwatak baik? Artinya ketika ada orang baik yang menjadi ‘mentor’ ia jadi baik? Hal itu bisa menggmbarkan bahwa watak memang bisa dibina dan diubah. Dengan demikian kenangan akan Sarumpaet dan Rizieq dianggap bisa ditutupi dengan prestasi Prabowo kini sebagai Menhan kini.
Itu berarti kesalahan kecil yang terjadi itu hanya seperti ‘kerikil kecil’ yang menghambat. Setiap orang berproses. Dalam ungkapan lebih optimis, setiap orang kudus punya masa lalu dan setiap orang berdosa punya masa depan. Itulah pandangan optimistis yang bisa membenarkan keputusan Prabowo mengubah nama koalisi.
Tetapi apa yang terjadi kalau kita teropong hal di atas dalam kultur Jawa khususnay melalui ungkapan di atas? Terbaca bawha ada hal-hal yang bisa diubah antara lain tentang batuk (watuk). Kalau soal batuk saja bisa disebut penyakit jangka pendek. Setiap orang bisa cepat sembuh. Kalau agak sedikit parah, maka antibiotik dapat ‘mengobatinya’ segera. Dalam hitungan hari batuk bisa sembuh. Itu kalah batuk.
Tetapi orang Jawa sangsi bahwa sesuatu yang telah menjadi watak itu bsia berubah. WAtak adalah kata serapan dari bahasa Jawa yang artinya karakter. Ia menggambarkan sifat, ciri khas, perilaku dan pola pikir dari seseorang atau sekelompok orang dalam satu populasi. Karakter seperti ini tidak banya berubah karena sudah terrtanam sebagai ‘bawaan’.
Kalau demikian maka apa yang terjadi dengan perubahan koalisi sebenarnya merupakan gambaran tentang watak Prabowo. Ia bisa berubah sesuai dengan ‘arah angin’ yang mendukung. Ketika hanya PKB yang jadi ‘kawan’ koalisi maka nama yang diberi adalah KKIR. Tetapi ketika angin sudah lebih mendukung dengan hadirnya PAN dan Golkar, arah dan nama pun bisa diubah. Minimal membenarkan juga bahwa memang itulah politik: tidak ada yang abadi.
Tetapi pandangan Jawa seperti ini tentu tidak seluruhnya bisa diterima. Banyak orang yang juga yakin bahwa ‘watak’ masih bisa dibentuk. Di bawah kolong langit segala sesuatu bisa berubah termasuk watak. Karena itu yang perlu dilihat adalah masa kini seseorang yang telah menjadi seperti ini. Prabowo di bawah Jokowi telah menjadi figur yang sangat disegani dan karena itu dianggap dapat menjadi pemimpin strategis menerskan malah lebih meningkatkan lagi prestasi yang sudah dicapai Jokowi kini.
Kalau sampai pada titik ini maka apa yang dilakukan Prabowo dianggap positif dan patut dijempoli. Ia menjadi contoh tentang figur yang bisa mengakui kekurangan hal mana sudah jarang dilakukan. Ia tidak banyak ‘ngeles’ seperti Anies Baswedan yang jago berkata-kata. Prabowo lebih simple dan fleksibel.
Tetapi kita juga bisa meragukan bahwa perubahan seperti itu kalau sudah terlanjur menjadi watak. Tetapi semuanya ini masih dalam perkiraan tetapi sekaligus menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan apakah di pilpres nanti masih tetap dukung Prabowo? Tentu keputusan ada pada pembaca tergantung melihat apakah yang terjadi pada Prabowo itu termasuk ‘wataknya’ atau ‘watuknya’? ***