Aksinews.id/Ende – Staf Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, BSKAP, Kemendikbud RI, Antonius N. Puskurbuk memandang bahwa akar utama dari ketertinggalan pembelajaran yang tengah dihadapi para peserta didik di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah adalah fenomena factory model.
Asumsi dasar yang melekat di balik fenomena ini adalah peserta didik pada usia yang sama memiliki kebutuhan belajar dengan cara yang sama dan memiliki kecepatan belajar yang sama.
Karena itu, peserta didik dituntut untuk memperoleh nilai minimal (passing grade) untuk dapat melanjutkan ke level pembelajaran berikutnya.
Hal itu disampaikan Puskurbuk saat menyampaikan paparannya pada webinar nasional bertema ‘Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar’ yang digelar Stipar Ende, Rabu (2/8/2023).
Puskurbuk menjelaskan bahwa passing grade pada umumnya tidak mencerminkan penguasaan atas kompetensi tertentu atau secara keseluruhan. Salah satu hal yang juga menyumbang bagi kekurangan dalam dunia pendidikan saat ini adalah adanya achievement gap dimana peserta didik dianggap tuntas dalam pembelajarannya tanpa mengetahui dalam hal apa peserta didik tersebut tertinggal dalam pembelajaran.
“Mereka yang demikian tidak diberi kesempatan untuk mengisi gap-nya. Hal inilah yang merupakan asal-muasal dari learning loss atau ketertinggalan capaian pembelajaran,” tegas Puskurbuk.
Untuk dapat keluar dari situasi ini, Puskurbuk menganjurkan perlunya pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kesiapan belajar peserta didik.
Karena itu, pembelajaran harus terdiferensiasi (costumised/personalized). Wajah pembelajaran yang ditampilkan adalah Learning fo Mastery. Artinya, peserta didik baru bisa melanjutkan pembelajaran ke tahap selanjutnya setelah menunjukkan penguasaan atas kompetensi pada tahab sebelumnya.
Pada momen ini, Puskurbuk mengajak peserta seminar untuk menghindari dua dosa utama dalam pembelajaran. Pertama, activity oriented di mana guru atau pendidik lebih fokus pada aktivitas pembelajaran ketimbang pada apa yang perlu dicapai dalam pembelajaran. Pendidik lebih cenderung memegang prinsip asal pembelajaran menyenangkan dan lupa apa yang hendak dicapai siswa.
Kedua, coverage oriented di mana orientasi pembelajaran lebih pada seberapa banyak materi yang sudah diajarkan dan bukan pada apa yang perlu dicapai oleh tiap peserta didik. (Tim Seksi Dokumentasi dan Publikasi Webinar Stipar Ende)