Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Facultad Ciencia Política, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol
Berbicara tentang kelebihan kandidat Presidan, Ganjar dan Prabowo terlalu banyak. Selain keunggulan yang diakui, di antara para pendukung masih ada kelebihan lain yang hanya mereka (dan Tuhan) tahu. Harapannya seperti itu. Strtegi itu yang dibawa di medsos dalam bentuk ‘meme’ yang kadang menusuk.
Karena itu penulis tidak menulis tentang keunggulan. Penulis justru lebih fokus mengangkat kekurangan mereka. Pada tulisan ini, penulis tidak membeberkan kelemahan Anies Baswedan. Tentu alasannya bukan karena tidak ada kelemahan tetapi karena kelemahan (maupun kelebihan) sudah lama diketahui orang karena sejak lama ia sudah masuk konstestasi capres (2014 di Demokrat) dan kini ia yang menjadi paling depan dideklarasikan. Semakin cepat dan lama semakin banyak dosa yang disibak. Kita lebih fokus pada Ganjar dan Prabowo.
Tergantung Situasi?
Inginya langsung menulis tentang kekurangn Prabowo. Tetapi agar tidak terkesan hanya kekurangan, biarkanlah saya mengingatkan beberapa kelebihannya. Selain keluarga berasal ningrat, menikahi puteri Presiden Soeharto, lahir di luar negeri dan lama juga tinggal di sana. Ia juga punya Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Tetapi di antara sejarah panjang ini, ada ‘benang merah’ yang bisa kita tarik sebagai ‘ciri’ dari Prabowo. Prabowo menjadi orang hebat karena dikelilingi orang hebat. Tetapi ketika iklimnya berubah, hal itu tidak lama membuat perubahan juga pada Prabowo.
Selama menjadi akan mantu Soeharto, Prabowo menjadi sangat diandalkan. Tetapi perlahan dengan menurunnya pamor Soeharto, tepatnya 1998, ia melihat bahwa masa depan menjadi suram. Ia pun mengambil jalan lain yang mungkin saja menjadi alasan dia pensiun dini (untuk tidak mengatakan dipecat) dari TNI.
Setelah tidak aktif di TNI, Prabowo pernah masuk Golkar (2004) dan akhirnya mendirikan sendiri Gerindra 2008. Darinya Prabowo menjadi Cawapres (bersama Mega) dan kemudian dua kali capres yang semuanya gagal. Khusus selama 2 pilpres (2014 dan 2019), sikap Prabowo sedikitnya berbeda dan terkesan (memang demikian seharusnya oposisi) melawan Jokowi. Ingat saja kasus Sarumpaet, dan pemulangan Habieb Rizieq. Bisa terasa ada ‘bisikan’ dari orang sekelilingnya
Tetapi menarik. Ketika beralih menjadi Menhan, Prabowo menjadi luar biasa. Orang bisa katakan kita harus lupakan yang ‘doeloe’ dan lihat hal sekarang. Prabowo menjadi salah satu menteri dengan kinerja terbaik. Prabowo seakan berada pada tangan yang tepat dan itu diakui sendiri Prabowo tentang kehebatan Jokowi. Apakah sanjungannya itu yang buat Jokowi ‘jatuh cinta’ padanya? Tetapi memang demikian.
Yang jadi pertanyaan, apakah Prabowo setelah menjadi Presiden (kalau terpilih) masih akan ‘’manggut’ pada pola Jokowi (dan PDIP) yang terkenal konsisten pada prinsip? Melihat ‘track and record’, tentu jadi alasan untuk ragu-ragu karena dalam sejarah panjang. Perjalanan sejarahnya menunjukkan, pensiunan letjen itu bisa saja sangat manggut-nurut tetapi ketika punya ‘power’ ia bisa berubah. Itulah yang jadi pertanyaan, apakah bisa meneruskan spirit Jokowi?
‘Kampungan?’
Ganjar bila dibanding dengan Anies dan Prabowo, bisa disebut memiliki sejarah politik yang paling luas. Ia pernah jadi anggota DPR RI (2004-2013) dan menjadi gubernur Jateng (2013-2023). Karena itu harus diakui, dari segi ini Ganjar mestinya paling diandalkan menjadi capres.
Tetapi rangkaian kekurangan menjadi sangat penting. Bila di akhir sebuah perjalanan kita menarasikan apa yang pernah dibuat maka apa yang paling menonjol dari pembangunan di Jawa Tengah? Banyak orang (bahkan PDIP sendiri) mengakui bahwa tidak banyak yang dilakukan. Meskipun ‘tenar’ di Medsos tetapi karya yang berbicara sangat sedikit.
Hal itu bisa terlihat dari berkurangnya antusiasme masyarakat. Bila di Pilgub 2013 ia memperoleh hampir 50% dari 3 paslon (yang memperoleh 30% dan 20%), maka di 2018 angka itu sebenarnya melorot. Memang ia memperoleh 58% tetapi itu hanya dari 2 paslon saja yang memperoleh juga 40% lebih. Itu berarti seharusnya terjadi penurunan. Kita bayangkan kalau pada pilgub 2018 ada 3 paslon maka yang diperoleh Ganjar tentu sangat sedikit. Itu tandanya bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari Ganjar sebagai bukti kinerjanya.
Kekurangan itu bisa saja ditambahkan dengan beberapa hal lain. Ganjar baru menjadi capres ‘last minute’ dibanding Prabowo (yang sudah berkali-kali) dan Anies yang sudah ikut kontestasi capres di Demokrat (2014) dan kini untuk 2024. Kalau terlambat menjadi capres seperti ini bisa saja kekurangan dukungan konglomerat di sekitar tidak seperti Prabowo yang sudah lebih dari cukup dan Anies yang didukung oleh JK, SBY, Surya Paloh dan entah siapa lagi. Mungkin karena itu juga jadi penjelasan, mengapa Ganjar lebih bergerak lewat ‘medsos’ hal mana dikritik lawan.
Ganjar juga bisa disebut capres yang ‘kampungan’. Dalam komunikasi yang lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Bagi banyak orang yang menasional atau menginternasional, tentu hal seperti itu dianggap rendah. Kepintaran berbahasa Inggris Prabowo dan apalagi Anies kadang diangkat sebagai cibiran bagi capres maupun presiden Jokowi yang Inggrisnya sangat di bawah stándar.
Jadi sebenarnya kekurangan Ganjar terlalu banyak melampaui kekurangan Prabowo (dan mungkin juga Anies). Tetapi kekurangan Ganjar boleh disebut ‘kecil-kecil’ saja. Kalau dikumpulkan (mungkin saja) tidak sebanyak Anies dan Prabowo (sekali lagi mungkin saja).
‘Mal Menor’
Lalu siapakah yang akan dipilih kalau keduanya memiliki kekurangan? Orang Latin memiliki ungkapan tentang ‘minus – malum’ atau ‘mal menor’ dalam bahasa Spanyol yaitu kekurangan yang paling kecil. Artinya kita akhirnya tidak memilih orang yang paling hebat dari yang hebat tetapi memilih orang dengan kekurangan paling kecil dari dua atau tidak orang yang masing-masingnya punya kekurangan.
Dari perspektif ini maka kita akan memilih orang yang punya kekurangan paling kecil. Jadi siapakah dari keduanya yang punya kekurangan yang paling kecil? Apakah kita pilih orang yang kelihatan punya masa lampau yang kelam dengan jatuh bangunnya seperti Prabowo dengan harapan bahwa biasanya orang seperti itu menyimpan program yang ‘super?’
Ataukah kita memilih orang yang secara karakter seperti Ganjar yang tidak punya apa-apa yang menonjol tetapi berharap bahwa dari karakter yang baik bila dikelilingi orang baik dan ideologis (seperti PDIP) ia akan melahirkan program menawan?
Tidak mudah menentukan pilihan antara Prabowo atau Ganjar. Tetapi tiap orang yang setelah membaca artikel ini, tanpa digurui pasti akan menentukan siapakah yang bisa diandalkan. ***