Oleh: Yurgo Purab
Jurnalis Aksinews.id
Percaturan politik di bumi Flores Timur tak akan pernah menuai kata sepakat. Doris Alexander Rihi terus mendapat pukulan dari sejumlah politisi karena kebijakannya yang dinilai kontraproduktif serta jauh dari toleransi etis kelamalohotan.
Meski diterjang segala isu, Doris, putera Sabu itu, malah tetap tegar dan tidak bergeming sedikit pun. Ia menerima segala konsekwensi itu dengan kepala tegak, apalagi bekerja di bumi Flores Timur dengan segala riak yang sulit diurai setiap tahunnya.
Keteguhannya pada regulasi dan kesiapsiagaan dirinya untuk mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) terus ia buktikan lewat kerja-kerja nyata. Meski pada kenyataanya, ada yang sudah terealisasi dengan baik, tetapi ada juga sedikit banyak yang belum terealisasi.
Sengit memang! Jika kita membaca adu gagasan dan perang argumentasi di laman media sosial, tampaknya DPRD Flores Timur, melalui Ketua Robertus Rebon Kereta sejak awal bersama para elit politik yang duduk di Bale Gelekat Gewayan Tanah tidak pernah sekalipun mengusulkan nama Doris Rihi untuk kembali sebagai penjabat Bupati di Kabupaten Flores Timur.
Beragama satire dan sarkasme memenuhi ruang media massa. Para politisi dan sejumlah aktivis yang kritis dan vokal terus menyuarakan penolakannya atas kehadiran Doris Rihi karena kebijakannya yang dinilai merugikan para pihak serta diduga mengganggu kenyamanan segelintir oknum yang bekerja ongkang-ongkang namun dibayar mahal setiap tahunnya. Sebab, kata mereka, Doris Rihi tidak layak menjadi pemimpin di Flores Timur karena sikapnya yang otoriter.
Doris putera Sabu layaknya “diusir” oleh tuan rumah dengan dalil ia tidak Lamaholot. Meski sikap “mengusir” juga bagian dari bentuk ketidaklamaholotan. Sebab, orang yang menyatakan diri Lamaholot, seharusnya tahu menghargai dan memperlakukan tamu dengan baik.
Pada akhirnya, Doris Rihi kembali ditunjuk oleh Mendagri, Tito Karnavian untuk memperpanjang kursi kepemimpinannya setahun berjalan. Kita tidak tahu siapa yang diuntungkan kelak?
Meski Doris Rihi bukan datang dari partai politik, namun karena ada relasi kekuasaan, menurut teori Michel Foucault (filsuf Perancis) Doris Rihi bisa jadi tunduk pada relasi atasan-bawahan. Artinya, meski Doris tidak punya andil untuk merayakan politik, namun karena ada relasi kekuasaan, maka dapat diandaikan segala keputusan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, dapat saja mempengaruhi kebijakan Doris.
Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk berpolitik, makhluk yang bersosial. Tak dapat ditampik, segala kebijakan Doris bisa saja bersifat politis karena mengikuti kebijakan dari provinsi yang cenderung menampilkan idealisme kepartaian elit pemimpin atas.
Walau kita tahu, Doris Rihi bukan datang dari gelanggang partai politik, melainkan ia murni seorang ASN yang mengabdi penuh di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tapi, ia tidak bisa berjalan sendiri melainkan harus berbarengan dengan keputusan Gubernur NTT.
Di situ, masyarakat bisa saja menilai ada pesan politik di balik cangkang kekuasaan partai guna memuluskan janji politik menuju tahun 2024 mendatang.
Jika memang spekulasi itu benar adanya, kita dapat saja menarik benang merah pengandaian; ada relasi atasan dan bawahan demi mencapai sesuatu yang lebih besar, yakni memuluskan jalan partai menuju dagelan politik.
Jika apa yang dirumorkan itu tidak benar, maka bisa jadi para elit politik yang duduk di Bale Gelekat Gewayan Tanah yang begitu vokal itu diduga tidak bisa bergerak bebas karena kepentingan politik dan intervensi anggaran menuju hajatan pemilu tidak bisa dicover dengan maksimal karena Doris Rihi selalu merujuk pada regulasi.
Konflik di Media Sosial Secara Tidak Langsung Menguntungkan Doris Rihi
Pemberitaan di media sosial soal kiprah Doris Rihi sejauh ini begitu beragam: ada yang baik dan ada yang belum begitu baik. Sehingga tercipta ruang konflik.
Segala pemberitaan itu, tanpa disadari secara tidak langsung telah membentuk opini publik dan memberi efek pada glorifikasi/popularisme pada sepak terjang Doris Rihi sebagai ASN. Mengapa demikian?
Pertama, dalam strategi bisnis media, konflik adalah cara orang berjualan. Jualan paling laku adalah menciptakan konflik dan membentuk opini. Dengan begitu, strategi media dapat tercipta dan para pelaku usaha dapat menciptakan jejaring komunikasi.
Kedua, dengan konflik relasi linear lintas atas dapat tercipta. Para petinggi dan pengambil kebijakan akan melihat kedalaman konflik: apakah itu ada pada penjabat Bupati Doris Rihi atau lingkaran orang-orang yang kemapanannya terusik akibat kebijakan penjabat bupati itu.
Ketiga, kredit poin bagi Doris Rihi untuk memimpin dua kali. Sebab, dalam tubrukan politik yang diperhitungkan adalah benturan dan tekanan. Orang yang berani menghadapi tekanan adalah mereka yang berani berpikir dengan jalanya sendiri.***