Aksinews.id/Jakarta – Ini pandangan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap praktek penyuapan di kalangan auditor keuangan negara. KPK tak menyangkal kalau pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sering terlibat suap. Teranyar, kasus suap yang melibatkan Bupati Meranti Muhammad Adil juga mengalir ke Pemeriksa Muda BPK perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan suap ke auditor BPK biasanya untuk meraih status wajar tanpa pengecualian (WTP). Kejahatan itu juga yang dilakukan Adil, Bupati Meranti, Provinsi Riau.
“Pengalaman saya itu yang pertama ketika dalam melakukan audit itu ada temuan. Apalagi kalau temuannya itu menyangkut penyimpangan yang bernilai uang. Nah disitulah ada kepentingan ya dari pihak yang diaudit, jangan sampai temuan itu terungkap di dalam laporan. Karena apa? Ada laporan satu itu bisa berakibat pada pemberian opini ya,” kata Alex Mawarta di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 April 2023.
Alex Mawarta, Ak.,SH,CFE memang pernah berkarier di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak tahun 1987-2011. Dia sempat menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, sebelum bergabung di KPK sejak 2015. Sehingga ia cukup paham seluk beluk pekerjaan auditor. Dikatakan, terdapat proses negosiasi kepada auditor. Alex mengatakan, auditor biasanya diminta menghilangkan temuan kemudian mendapat sesuatu atau keuntungan.
“Di satu sisi ketika temuan itu tidak mengungkap dalam laporan keuangan dan laporan keuangan kemudian mendapat opini wajar tanpa pengecualian dan itu juga untung juga,” ujar Alex.
Alex menilai supaya modus itu tak terulang, maka perlu penguatan sistem di dalam pelaksanaan audit BPK. Pengawasan ketat berjenjang menjadi formula. “Supaya apa hal-hal yang dilakukan di bawah itu juga bisa diawasi oleh jenjang yang di atasnya gitu, ketika ada penyimpangan di bawah itu bisa dikoreksi oleh di atasnya dan di atasnya lagi ya,” ujar Alex.
Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Bupati Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka korupsi pada tiga klaster rasuah. Yakni, dugaan pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun 2022 sampai 2023, dugaan korupsi penerimaan fee dari jasa travel umroh, dan pemberian suap pengondisian pemeriksaan keuangan pada 2022 di Pemkab Kepulauan Meranti, Riau.
Kasus ini melibatkan Kepala BPKAD Kepulauan Meranti Fitria Nengsih yang juga ditetapkan tersangka. Ia berperan membantu penyetoran uang dari masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setempat kepada Adil.
Sebagian uang panas yang sudah diterima Adil juga digunakan untuk menyuap auditor BPK. Total, Rp1,1 miliar diserahkan Adil bersama Fitria ke Pemeriksa Muda BPK perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.
Adil disangkakan melanggar melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dia juga disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Fitria disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan, Fahmi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(*/AN-01)