Oleh: Maksi Masan Kian
Kami bertetangga di kampung Honihama, Desa Tuwagoetobi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur. Tepatnya di kaki Gunung Ile Boleng, Pulau Adonara. Dari sisi usia, terpaut jauh, sehingga kenangan masa kecil, saya tidak ingat persis. Apalagi, setelah tamat SMPN 2 Adonara Timur Witihama, saya lanjut ke SMAN 1 Larantuka lalu ke Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang.
Sedikit mengenal sosoknya, saat saya sudah bekerja di Kota Larantuka, kisaran tahun 2013. Suatu hari Ia datang di rumah. Kami berkomunikasi dari hati ke hati. Saat saya tanya tentang jenjang pendidikan, ia menceritakan bahwa dirinya telah menamatkan pendidikan di SMA Swasta Katolik Witihama dan saat ini sedang mengikuti seleksi online masuk perguruan tinggi di Undana Kupang.
Percakapan kami berlanjut. Dirinya menawarkan untuk panjat kelapa dan bisa memetik beberapa buah yang sudah tua dan juga buah muda untuk bisa diminum. Saya mengiyakan dan mengambil parang lalu menyerahkan kepadanya. Sangat sigap dan cekatan ia memanjat kelapa. Dalam waktu yang tidak lama, kelapa-kelapa tua sudah diturunkan bersamaan dengan kelapa muda. Kisah pertama kali bertemu di Kota Larantuka.
Pertemuan berikutnya, kami sudah mulai akrab. Satu hal yang saya tangkap kala itu yakni, ia sangat serius mendengarkan saat kita bicara. Saya suka tipe seperti ini. Ia lalu mengutarakan niatnya. “Pak Guru melah pe, motorem Supra 125 ni, goe bisa kaa ojek, ka kia, pengumuman kuliah ni. (Pak Guru, kalau berkenan, saya bisa gunakan motornya Pak Guru, Supra 125 ini untuk ojek, sambil menunggu informasi pengumuman seleksi masuk Perguruan Tinggi)” demikian kata-kata yang sangat polos Ia lontarkan.
Dan hari itu juga, setelah diskusi dengan istri, dan sepakat memberinya kesempatan untuk ojek, tanpa menagih setoran dengan tarif atau jumlah tertentu. Hasil ojeknya sangat membantu untuk konsumsi kami di rumah, dan sedikitnya ia sisihkan untuk membeli kebutuhan mamanya.
Kami terpisah saat pengumuman seleksi online. Ia dinyatakan belum berhasil. Atas informasi itu, ia memilih kembali kampung. Dan saya, baru mendengar informasi bahwa Ia sudah kuliah di Malang setelah beberapa waktu kami berpisah. Informasi tersebut saya dapatkan dari sahabat saya, Stanislaus Lamapaha, tidak lain, pamannya.
Tahun 2017, kami akrab berkomunikasi via facebook dan WhatsApp. Ia selalu memberi komentar di setiap postingan kami terkait kegiatan Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA) Cabang Kabupaten Flores Timur. Sesekali kami saling berkabar informasi melalui WhatsApp. Setelah mengetahui jurusannya adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra, saya mengarahkannya untuk bisa menggunakan media sosial untuk menuliskan karya-karyanya. Dan ia mengikutinya. Beberapa karya sastra dan juga opini sering Ia rillis di facebook.
September 2017, saya mendapatkan sebuah undangan menjadi pembicara di Kanjuruhan Malang tentang literasi. Surat itu termasuk yang Ia tanda tangani bersama Dekan FKIP Bahasa dan Sastra Kanjuruhan Malang. Rupanya Ia adalah Ketua Senat FKIP Bahasa dan Sastra FKIP Kanjuruhan Malang. Tertanda Klementinus Bengan Aman. Hebat! Dan, bangga. Terlintas dalam benak saya, Anak ini sungguh hebat, tentu sulit bisa mendapat kepercayaan sebagai Ketua Senat pada Kampus di Tanah Jawa yang mana, jumlah kita sangat kurang. Luar biasa!
Tibalah pada jadwal sesuai undangan saya berangkat menuju ke Kota Malang untuk pertama kalinya. Saya dijemput Emen Palihama, sapaan Klementinus Bengan Aman, di Bandara Juanda Surabaya. Alumnus SMA Swasta Katolik Lamaholot Witihama ini tampak berwibawa dan santun. Saat bertemu di Bandara Juanda Surabaya, kami berjabatan tangan dan berpelukan. Saya menyatakan kekaguman saya kepadanya. Tas saya diambil, termasuk semua barang bawaan dan memandu saya menuju ke mobil yang akan kami tumpangi.
Kurang lebih 3 jam, akhirnya kami tiba di Kota Malang. Kami tiba sudah larut malam, dan Ia langsung mengantarkan saya ke penginapan.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar Ia langsung menjemput dan kami mengunjungi beberapa lokasi strategis di Kota Malang. Salah satunya di alun-alun Kota Malang. Juga, kampung warna-warni dan beberapa kampus di Kota Malang. Kami lalu membeli satu baju kameja putih yang disiapkan khusus untuk saya kenakan besok saat membawakan materi. Hari kedua yang sangat berkesan bersama Emen Palihama.
Keesokan harinya, saya dijemput menuju ke Kanjuruhan Malang. Tepat di gerbang kampus terpampang sangat besar wajah narasumber dan Ketua Senat FKIP Bahasa dan Sastra. Putra Honihama yang hebat di Tanah Jawa. Tidak hanya di gerbang kampus, di lorong-lorong kampus pun ditempelkan ucapan selamat datang. Termasuk sangat besar baliho di ruang kerja Ketua Senat. Sekretariat mereka.
Tim narasumber berdialog sebentar di ruang Dekan FKIP selanjutnya menuju ke auditorium, lokasi kegiatan. Kami disambut dengan sangat meriah lewat tarian hedung yang dipimpin Ade Yanto (Anak Honihama) di Malang. Pengalaman pertama memberikan materi di Perguruan Tinggi di Tanah Jawa, Kota Malang. Tidak hanya di kampus, dengan jejaring yang hebat itu, keesokan harinya, saya diberi kepercayaan memberikan materi tentang organisasi di hadapan Mahasiswa Lamaholot. Sungguh pengalaman yang membanggakan.
Semua berkat hebatnya Arik Emen Palihama. Sosok yang tidak banyak bicara tetapi kerja nyata. Suka membuat terobosan-terobosan baru yang menginspirasi. Ia yang sangat bertangungjawab dan mandiri.
Saat di Malang dan bahkan dalam kesempatan memberikan materi di organisasi orang muda, saya selalu menyebut namanya sebagai contoh. Jauh sebelumnya saya telah memorediksikan bahwa sosok seperti Emen Palihama adalah mereka yang selesai kuliah orang akan mencari mereka untuk langsung bekerja. Dan pernyataan itu sungguh nyata. Kesempatan terbaik ia dapatkan. Bahkan sebelum dirinya diwisuda dan mendapatkan ijazah sarjana, ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai Guru Penggerak di pedalaman Papua. Satu pilihan dilematis yang telah Ia pilih demi Anak Bangsa yang minim perhatian.
Setelah Butet Manurung, tidak banyak Generasi Muda Indonesia yang memilih (berani) ke pedalaman memberi diri untuk pendidikan Anak Bangsa. Dan, Emen Palihama, Putra Honihama, Witihama, Adonara, menjadi satu sosok muda yang patut diapresiasi. Setelah lulus Perguruan Tinggi Kanjuruhan Malang, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Ia memilih keluar dari zona nyaman (kehidupan kota) dan memilih mengajarkan anak anak di pelosok Papua.
Saya selalu bangga dengan sosoknya. Honihama, Adonara, Flores Timur pun patut berbangga. Karena Honihama telah melahirkan satu generasi dengan mimpi mewujudkan nilai kemanusiaan. Bersama istri tercinta, Herlyn Lodya Latuluma, teruslah melangkah, mendidik dan membimbing tumbuh kembang Anak Papua, Anak Bangsa.
Ikuti kisahnya berikut ini: https://youtu.be/SWrB9vQIq6o. Sosok yang patut dan layak untuk digugu dan ditiru oleh Generasi Muda. ***