Aksinews.id/Jember – Kalangan pengamat politik dari kampus rupanya belum sependapat untuk perpanjangan masa jabatan kepala desa. Diingatkan agar masa jabatan kepala desa tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Demikian warning yang disampaikan pengamat politik Universitas Jember, Jawa Timur, Hermanto Rohman, MPA merespons rencana revisi UU Desa untuk perpanjangan masa jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun.
Dalam kasus berbeda, kata Hermanto, masalah masa jabatan kades sudah pernah masuk dalam meja sengketa di MK.
Dalam amar putusan MK, salah satu titik tekannya adalah masa jabatan kepala desa, yakni selama 6 tahun dengan periodisasi paling banyak 3 kali masa jabatan sebagaimana diatur di Pasal 39 Ayat 2 UU 6/2014 tentang Desa.
“Hal itu merupakan perwujudan penyelenggaraan prinsip demokrasi sekaligus merupakan semangat pembatasan yang dikehendaki UUD 1945,” ujar Hermanto di Jember, Sabtu (21/1/2023), sebagaimana dikutip jpnn.com dari antara.
Semangat demikian, menurut Hermanto, dapat dicontoh dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodisasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Turunan semangat UUD 1945 itu juga tercermin dari pembatasan masa jabatan dan periodisasi masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
“Dalam putusan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021. Artinya, masa jabatan kepala desa juga semangatnya tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” tuturnya.
Hermanto menjelaskan ukuran demokrasi di desa yang paling mudah adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, penguatan peran kelembagaan di luar pemerintah dalam hal ini BPD kelompok masyarakat dalam kontrol pembangunan desa.
Kemudian, akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat terkait implementasi pembangunan desa. “Ukuran tersebut masih belum pernah ada evaluasi dan progres yang terukur dalam sembilan tahun UU Desa diterapkan,” ucap dia.
Menurut Hermanto, disetujuinya perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun tergantung kekuatan politik DPR dan sikap eksekutif, sekaligus menjadi isu politik yang menarik di tahun politik untuk dikapitalisasi oleh semua kepentingan politik.
Namun, dia mengingatkan bahwa hakikat pengaturan materi perpanjangan dalam UU juga tidak boleh lepas dari substansi materi UUD 1945.
“Kalau itu akan diakomodasi dalam revisi UU, maka akan rentan dan juga celah digugat dalam MK,” kata Hermanto. (*/AN-01)