Aksinews.id/Lewoleba – Para pegiat literasi Lembata merayakan Hari Ibu ke-94 secara sederhana dengan menggelar parade puisi, musik dan lagu untuk mama, dan bincang kritis soal perempuan Lembata. Mereka senada menilai persoalan yang melilit kaum perempuan di Lembata masih sama seperti yang diperjuangkan 94 tahun silam.
“Kita harus jujur mengakui bahwa persoalan yang dihadapi kaum perempuan Lamaholot – Lembata dalam pusaran budaya patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih superior, masih sama seperti yang diperjuangkan tokoh perempuan 94 tahun silam. Isu-isunya masih yang sama, soal pendidikan, kemerdekaan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan,” ungkap Yuliana Atu, aktivis Perempuan Fenomenal, saat tampil sebagai narasumber bincang kritis memperingati Hari Ibu, Kamis (22/12/2022) malam.
Dalam acara yang digelar di markas Pondok Perubahan itu, Yuliana Atu tampil bersama Maria Loka, Direktur LSM Permata. Dua aktivis beda generasi ini membedah topik ‘Perempuan Lembata dalam Pusaran Budaya Patriarki’.
Yuliana Atu menyebut, perempuan Lembata masih harus memperjuangkan hak-haknya dalam urusan publik. “Walaupun Lembata sudah punya peraturan daerah mengenai perlindungan anak dan perempuan, namun kasus kekerasan terhadap perempuan masih tetap tinggi,” ujarnya, prihatin.
Belis gading untuk perempuan Lamaholot Lembata atau gong untuk perempuan Edang, menurut dia, telah dipahami sebagai upaya memasung kebebasan perempuan dalam menjalankan peran publik. “Seolah-olah setelah dikasih belis, perempuan kehilangan hak-haknya untuk tampil dan berperan pada sektor publik, dan hanya mengurus urusan domestik, seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak dan lain-lain,” ujarnya.
Maria Loka menyodorkan dua kasus kekerasan terhadap perempuan yang sempat ditanganinya. Dimana, perempuan yang sudah bersuami mengalami tindak kekerasan tapi sangat sulit memperjuangkan haknya. “Saat dia baru menceritakan kasusnya kepada kami, saudara laki-lakinya sudah membentaknya dan minta dia untuk berhenti. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena keluarganya yang laki-laki saja tidak mendukung si ibu untuk untuk memperjuangkan keadilan,” ucap Maria Loka, prihatin.
Menurut Maria Loka, hampir setiap hari terjadi kekerasan dalam rumah tangga dengan ibu yang menjadi korban. Ya, “Kami selalu menerima telepon dari ibu-ibu yang curhat mengalami tindak kekerasan fisik dari suaminya. Tapi mereka tidak mau melapor karena kasih dengan anak-anak,” ujarnya, sedih.
Menariknya lagi, jelas dia, ipar-ipar perempuan dari suami sering menulis di media sosial menyindir istri-istri yang coba memperjuangkan hak-haknya. “Budaya patriarki sebetulnya baik, jika dijalankan dengan benar. Tapi, sekarang ini seolah-olah suami tidak pernah berbuat salah. Ada suami yang masih melakukan tindak kekerasan terhadap istri, padahal istri sudah merawat anak hasil hubungan gelap suaminya dengan perempuan lain. Ini benar-benar terjadi di Lembata,” ungkap Maria Loka, sedih.
Kedua narasumber ini senada, mengharapkan adanya kolaborasi berbagai elemen untuk terus mendorong pemberdayaan perempuan di Lembata. Ya, “Dibutuhkan kerjasama semua pihak, baik LSM, masyarakat, pemerintah, aparat kepolisian untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Sekarang ini perilaku menyimpang sudah terjadi pada anak usia remaja,” ujarnya, sembari mencontohkan adanya siswa SMP atau SMA yang hamil di luar nikah.
“Remaja kita saat ini sudah terjebak dalam pergaulan bebas. Ini mungkin dampak dari smartphone, android, apa-apa bisa dilihat di youtube, google. Anak korban kekerasan seks sudah berjatuhan. Kita butuh kerjasama semua pihak untuk mengatasi masalah ini,” tandasnya.
Maria Loka dan Yuliana Atu mengharapkan agar perempuan Lembata berani mengkapasitasi diri sendiri. Termasuk mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilihan umum 2024 mendatang. “Lembata ini jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Tapi, untuk pemilihan kepala desa saja, dari 144 desa, hanya satu desa yang dipimpin perempuan. Desa-desa lainnya, perempuan hanya menjadi pelengkap,” ujar Yuli.
Dalam dua kali pemilu terakhir, tak seorang perempuan pun yang terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Lembata. “Apakah perempuan tidak mampu? Tidak juga. Tapi, masih ada pandangan di kalangan masyarakat bahwa tugas politik itu urusan laki-laki bukan perempuan. Ini masalahnya. Bahkan, di pemerintahan pun terlihat, cuma satu orang yang jadi kepala dinas. Lurah juga hanya satu orang,” ucapnya.
Pada sesi tanya jawab, forum dibikin terkesima dengan kisah yang diceritakan Fince Bataona terkait perlawanan terhadap tradisi belis. Ia mengisahkan, bahwa sekitar 50-an tahun silam, seorang ibu nekad membawa pulang gading belis anak perempuannya gara-gara anaknya itu mengalami tindak kekerasan dari suaminya.
“Mama itu nekad junjung bawa pulang gading ke orang tua suami anaknya sebagai protes terhadap kekerasan yang dilakukan mantu terhadap anak perempuannya. Itu berarti, sudah pernah ada perlawanan perempuan Lembata terhadap tradisi ini,” tandasnya.
Maria Loka dan Yuliana Atu mengharapkan agar forum bincang kritis dapat terus digelar untuk menampilkan figur-figur perempuan. Paling tidak, melibatkan perempuan tidak sekedar menyiapkan urusan makan minum dalam forum diskusi, tapi aktif terlibat berdiskusi.
Acara ini menampilkan Jiel Punang dan kakaknya, Adit Punang membawakan lagu-lagu untuk mama. Jiel, siswa kelas 1 Sekolah Dasar tampak apik memainkan keyboard baik untuk menyanyi sendiri maupun mengiringi kakaknya Adit bernyanyi. Sedangkan, parade puisi menampilkan Darko King dari Taman Baca Moting Maung, Thomas Krispianus Swalar dari Loang, dan Ani Lamak alias Alam. Puisi-puisi yang dibacakan seluruhnya untuk ibu. (AN-01)
Kesannya bahwa urusan belis turut berkontribusi terhadap adanya kasus kekerasan terhadap perempuan… padahal ada atau tdknya kejadian kekerasan terhadap perempuan itu kembali kepada perempuan itu sendiri… seharusnya perempuan itu lembut, halus bukan lemah, sehingga perlu peningkatàn kompetensi dan pengembangan SDMnya sehingga mampu bersaing… banyàknya pemilih perempuan tdk serta merta banyak juga atau paling kurang ada keseimbangan di DPR karena justru sdh banyak perempuan yang sdh melek sehingga dapat memilah mana yang kompeten sehingga harus dipilih untuk duduk si singgasana.