Aksinews.id/Larantuka – Perjuangan tenaga kesehatan (Nakes) RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka untuk mendapatkan haknya atas dana klaim BPJS Kesehatan sebesar Rp. 5,6 miliar tampaknya masih panjang dan berliku. Pasalnya, Badan Anggaran DPRD Flores Timur hanya mampu ‘memaksa’ Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk mengalokasikan dana sebesar Rp. 2 miliar.
Setelah selesai pembahasan di tingkat Banggar DPRD, dan mendapatkan dukungan dari Gabungan Komisi Dewan, ternyata Pemkab Flores Timur masih mempersoalkannya. Pelaksana tugas (Plt) Sekda Flores Timur, Petrus Pedo Maran melayangkan surat kepada Ketua DPRD Flores Timur yang mempersoalkan kembali kesepakatan yang sudah dicapai.
Surat nomor: BKD/940/24/2022, dengan sifat sangat segera, seolah menganulir kembali beberapa hal sudah disepakati, termasuk soal penganggaran untuk membayar hak para Nakes dari klaim dana BPJS Kesehatan atas jasa pelayanan pasien Covid-19 tahun 2021 silam.
“Memaksakan pengalokasian anggaran untuk jasa tenaga kesehatan yang bersumber dari klaim jasa Covid-19 dipandang tidak mematuhi surat keputusan Gubernur NTT, Nomor: 900/287/PKUTS/2022 tentang Hasil Evaluasi Tentang Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur,” tulis Pedo Maran dalam suratnya kepada Ketua DPRD Flotim.
Ini yang menyulut kekisruhan. Pasalnya, DPRD Flores Timur sendiri sudah melakukan konsultasi dengan Kementerian Kesehatan RI selaku pihak yang mengucurkan dana klaim jasa pelayanan pasien Covid-19 di RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka. Kucuran dana itu melalui transfer ke rekening rumah sakit setelah BPJS melakukan verifikasi atas data-data yang disodorkan pihak rumah sakit.
Klaim pelayanan pasien Covid-19 untuk tahun 2021, baru dicairkan pada tahun 2022. Dan, pihak Badan Keuangan Daerah (BKD) Flotim “memaksa” rumah sakit untuk memindahkan dana tersebut ke rekening kas daerah. Dan, di kas daerah, dana ini dicatat dengan nomenklatur retribusi pelayanan rumah sakit. Boleh jadi, inilah pangkal soalnya. Nomenklatur dana klaim BPJS Kesehatan tidak muncul dalam postur APBD Perubahan 2022. Sehingga ketika pembahasan perubahan APBD 2022, muncul ketegangan antara DPRD dengan Pemkab Flotim. Sempat dianggarkan Rp 1 miliar, tapi lenyap saat asistensi di Biro Keuangan Propinsi NTT.
Dari sinilah, Nakes mulai melancarkan aksinya. Aksi terakhir, melakukan long march dari rumah sakit ke kantor bupati dan terakhir di gedung DPRD Flores Timur. Mereka hanya membacakan tuntutannya saja. Para Nakes malah minta perhatian Presiden Joko Widodo melalui Menkes RI atas kasus yang tengah mereka alami.
Wakil Ketua DPRD Flores Timur, Matias Werong Enay setelah menerima para Nakes yang melancarkan aksinya di Bale Gelekat Lewotana, menjelaskan bahwa proses pembahasan APBD 2023 sudah final. “Apapun langkah yang mereka ambil, apapun pembahasan bersama pemerintah, dan itu sudah kita anggarkan tahun 2023. Proses APBD harus final. Hari ini kata putus fraksi dan penetapan APBD, termasuk pada pembahasan anggaran tingkat III. Tingkat II sudah kemarin, yang mana laporan gabungan komisi, yang mana dalam laporan gabungan komisi itu tersirat tentang hak-hak nakes yang sudah kita sepakati bersama di dalam forum DPRD,” kata dia.
“Besarannya sesuai pembicaraan awal kemarin Rp 2 Miliar. Kalaupun berdasarkan pagu Rp 14 Miliar yang diterima itu Rp 5,6 Miliar, tetapi karena pembicaraan kemarin dengan pemerintah pada saat eksekusi itu harus menyesuaikan dengan ‘peraturan’, karena ini menjadi soal untuk pemerintah, tapi kita paksakan untuk mengalokasikan, dengan catatan pada waktu pembayaran nanti, pemerintah tentunya berlandaskan pada hasil audit dari BPKP,” terang Matias Enay.
Dia mengakui bahwa pemerintahan dan DPRD berbeda pandangan terkait hak Nakes ini. “Akan tetapi pihak DPRD tetap bersikukuh mempertahankan apa yang dikukuhkan dengan catatan kalau memang hasil audit BPKP memberikan opini bahwa 2022 tidak boleh bayar maka dengan sendirinya 2020, 2021 terjadi kesalahan dalam pembayaran. Dan, konsekuensinya kita tahu minta dikembalikan,” jelas Ketua DPC Partai Gerindra Flores Timur ini.
Pihak Nakes sendiri sudah mematok tanggal 15 Desember 2022 untuk realisasi pembayaran hak mereka atas dana klaim BPJS Kesehatan itu. Jika tidak direalisasikan, mereka mengancam akan membawa masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sementara, penjabat Bupati Doris Alexander Rihi malah meminta BPKP Perwakilan NTT untuk melakukan audit. Tidak dijelaskan obrik apa yang mau diaudit. Sebab, dana yang masuk ke rekening rumah sakit tidak dikelola rumah sakit. Uang itu justeru diplot untuk berbagai kegiatan pemerintah lainnya, termasuk biaya perjalanan dinas keluar daerah. (AN-02/AN-01)