“Lehrer werden ist nict schwer, Lehrer sein da gegen sehr”. Menjadi guru itu mudah tapi menjalankan tugas sebagai guru sangatlah berkebalikan.
Demikian orang-orang Jerman mematri filosofi itu dalam keseharian. Ya, menjadi guru memang cukup diraih dengan bersekolah (memiliki ijazah) guru. Namun sebaliknya, menjalankan tugas sebagai guru tidak bisa hanya sampai di situ. Sebab guru yang digugu dan ditiru adalah pelita yang bercahaya merah jingga.
Guru adalah matahari yang memberi terang tanpa meminta kembali. Guru adalah purnama yang benderang cemerlang menerangi malam yang gelap gulita. Dan karena itu, akan sangat mungkin bagi seorang guru untuk menjadi figur pemimpin dan pengayom yang dihormati dan dicintai para pengikutnya di mana dan kapanpun dia berada.
Untaian kata dalam baris-baris kalimat pada awal paragraf tulisan ini sangat tepat disematkan pada Drs. Bala Warat Gabriel, MM. Dialah guru dan pemimpin yang telah setia menjadi “pelita” yang menerangi malam nan gulita.
Bala Warat Gabriel lahir di Baobolak, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata pada 16 Nopember 1962. Baru lewat sehari, pria bersahaja itu merayakan hari jadinya yang ke-60. Peringatan hari jadinya kali ini juga menjadi penanda bahwa ia telah menempuh batas akhir masa tugas formal sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kisah hidup pria yang dikenal cerdas dan cekatan itu memang unik dan penuh warna. Terlahir dari keluarga petani kampung, Bala Warat menjalani masa kecil dalam situasi serba kekurangan. Makan kurang, pakai seadanya dan tinggal di rumah sangat sederhana.
“Situasi sulit dan serba kekurangan itulah yang justru memotivasi saya untuk sekolah. Sejak kecil saya belajar dengan tekun karena ingin meraih sukses,” ceritanya di awal percakapan kami.
Di SDK Baobolak, Bala Warat pertama kali menganyam harapan untuk meraih sukses itu. Setelah tamat SD, ia melanjutkan pendidikan ke SMPK St. Pius X Lewoleba dan kemudian ke SMA Suryamandala Waiwerang, Kabupaten Flores Timur. Masa-masa sekolahnya yang indah itu ia lalui dengan banyak kenangan. Yang pasti semangat belajar dan ketekunan menjadikannya sebagai “bintang” yang tak pernah tidak bersinar di sekolahnya.
Tekad yang kuat untuk belajar dan meraih sukses kembali ditunjukkan Bala Warat setalah ia tamat SMA. Kali ini, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang adalah pilihan terbaiknya. Di sana ia menaruh “hati” pada ilmu guru. Lebih khusus lagi guru Matematika. Ia ingin menjadi guru Matematika yang tidak hanya mengajar tetapi lebih dari itu mendidik dan mengayomi para muridnya.
Saat itu, ia bermimpi untuk dapat meyakini para muridnya bahwa Matematika itu menyenangkan dan bisa diaplikasikan dalam hidup nyata sehari-hari. Maka ia harus bergelut dengan buku dan semua hal terkait pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) bidang studi Matematika.
Oleh kecerdasan dan ketekunannya, sejak awal masa kuliah tersebut, ia memperoleh beasiswa dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) hingga tamat.
Tahun 1990, ia berhasil meraih gelar Doktorandus (Drs) setelah dinyatakan lulus ujian negara. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mengabdikan diri sebagai guru sejak tahun 1986 tepatnya setelah ia menyelesaikan semua tugas perkuliahan sambil menunggu jadwal ujian negara.
Tidak main-main. Sekolah tempat awal baginya untuk mengabdi bukanlah sekolah kaleng-kaleng. SMAK Syuradikara, Ende. Itupun bukan atas kemauan sendiri. Prof. Dr. Herman Embuiru, mantan Rektor Unwira, Kupang yang menentukannya. Iya, karena hal itu merupakan bagian dari kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai salah seorang penerima beasiswa KWI. Setiap penerima beasiswa tersebut diwajibkan untuk mengabdi di sekolah-sekolah swasta Katolik saat itu.
Syuradikara sejak lama sudah punya “nama besar”. Kebesaran dan keharuman nama Syuradikara di antara jajaran lembaga pendidikan menengah itu tak lepas dari tangan dingin para pengelolanya yang adalah kaum biarawan Katolik. Para pastor yang menjadi pemimpin yayasan di sana menerapkan standar yang tinggi bagi semua calon guru/guru yang mengajar di sekolah itu. Dan, Bala Warat adalah salah seorang yang patut diperhitungkan dalam urusan standarisasi tersebut.
“Syuradikara itu dari kata Syura dan Adikara. Artinya pencipta pahlawan utama,” ungkapnya mengenang masa-masa indah di Syuradikara dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau mau jujur, saya harus bilang bahwa Syuradikara adalah ibu saya. Di sana karakter awal saya terbentuk. Dan itulah yang mempengaruhi seluruh perjalanan hidup saya sampai sekarang dan pasti sampai akhir hidup saya,” lanjutnya dengan bibir yang tampak bergetar.
Berpuluh tahun ia berbakti di rumah pencipta para pahlawan utama itu. Ia tidak hanya disenangi para murid dan semua rekan kerja. Lebih dari itu, ia begitu dicintai.
“Setiap saya ulang tahun, para murid membuat kejutan dan menghadiahi saya barang-barang yang berharga. Di antaranya buku-buku kesukaan saya,” tuturnya mengisahkan.
Kebanyakan dari para muridnya kini telah sukses di berbagai bidang kehidupan. Beberapa di antaranya adalah drh. Mathias A.K. Beyeng, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Lembata, dr. Bernardus Yoseph Beda, mantan Direktur RSUD Lewoleba dan Christianus Rimba Raya, SE, MM, mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Lembata. Dari tangan dingin sang guru itu pula, tali toga mahaguru telah tersematkan pada seorang Prof. Philips de Rosary, M.Sc, Ph.D.
Tahun 1994, Bala Warat lulus menjadi ASN. Waktu itu, hanya dikenal dengan sebutan PNS. Harusnya ia dimutasi ke sekolah milik pemerintah (negeri). Namun atas permintaan pimpinan Syuradikara saat itu, ia akhirnya tetap mengabdi di sekolah katolik yang favorit itu. Bahkan, ia juga didaulat untuk mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral (STIPAS) dan Universitas Flores (Unflor), Ende.
Di Ende, Bala Warat tidak hanya menemukan jati dirinya sebagai seorang guru tetapi juga melengkapi raganya dengan “tulang rusuk” yang hingga kini kokoh berdiri bersamanya. Dialah Anastasia Abuk, kekasih hati yang selalu setia menjadi pendamping hidup sang guru.
Dari pernikahan mereka, lahir dua orang putri dan seorang putra. Putri sulung diberi nama, Maria A.B. Warat. Adiknya bernama Mariana Krista Warat. Sementara itu, putra bungsu mereka diberi nama Yosef Freinademetz B. Warat. Semua putri dan putra yang lahir dari rahim Anastasia ini telah sukses mengenyam pendidikan. Putri sulung, Maria adalah seorang sarjana ekonomi akuntansi yang sekarang bekerja sebagai ASN di Kabupaten Sumba Timur. Adiknya Mariana adalah seorang sarjana teknik sipil yang juga bekerja sebagai ASN di Kabupaten Sabu Raijua. Sedangkan putra bungsu, Fred adalah seorang sarjana teknik sipil yang bekerja sebagai konsultan proyek dan sedang menyiapkan diri melanjutkan studi ke pasca sarjana. Maria dan Mariana telah menikah dan menghadiahi Bala Warat masing-masing dua dan tiga cucu. Sedangkan Fred hingga kini masih lajang. (Darius Baki Akamaking/bersambung)